[Situasi Nasional ] Menuju Tatanan Baru: Masyarakat Adil Dan Makmur (Selesai)

Artikel ini merupakan bacaan Situasi Internasional dan Nasional yang diterbitkan oleh Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD). Kami publikasikan di sini sebagai bahan diskusi. Artikel ini ditayangkan per bagian. Bagian pertama bisa dibuka di sini, bagian kedua bisa diakses di sini. Sedangkan bagian ketiga di sini.

Menuju Tatanan Dunia Baru

Pandemi telah menyingkap banyak retakan-retakan besar dalam kehidupan berbangsa kita, dari ekonomi, politik, maupun sosial-budaya.

Mulai dari rapuhnya struktur ekonomi kita, tumpukan utang luar negeri, polarisasi politik yang membelah bangsa kita, politik yang dikendalikan oligarki, hingga bangkitnya sektarianisme yang mengancam kehidupan berbangsa kita.

Pertanyaannya, apakah retakan-retakan itu cukup ditambal dengan perubahan-perubahan kecil (reformasi)?

Tentu saja, tidak.Ketimpangan tidak mungkin bisa dihilangkan dalam kerangka kapitalisme. Oligarki politik tak bisa dilemahkan jika tak bergandengan dengan upaya mendorong redistribusi kekayaan agar lebih berkeadilan sosial.

Karena itu, kita butuh sebuah tatanan dunia baru, yang lebih demokratis, manusiawi, dan berkeadilan sosial. Sebuah tatanan dunia yang dulu dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita: masyarakat adil dan makmur.

Sebetulnya, kita sudah punya basis pijakan sekaligus penuntun arah menuju tatanan dunia baru itu, yakni Pancasila. Seharusnya, pendiskusian soal “new-normal”bukan sebatas soal teknis: norma baru kesehatan di tengah pandemi.

Lebih penting dari itu, soal menghadirkan nilai-nilai Pancasila sebagai norma-norma baru untuk membawa bangsa dan negara ini keluar dari pandemi dan menuju tatanan dunia baru.

Untuk memperjuangkan tatanan dunia baru, kita memang harus melakukan perombakan mendasar:

Pertama, kita harus merombak struktur ekonomi kita agar lebih berdikari dan berkeadilan sosial. Tentu saja dengan membenahi industri dan pertanian kita.

Mendorong industrialisasi nasional

Tak bisa ditunda lagi, pemerintah harus punya peta jalan yang jelas menuju industrialisasi. Dan itu, seperti dijelaskan Bung Hatta, bukan sekedar membangun pabrik di mana-mana, tetapi soal mengubah struktur pertanian kita, dari agraria menjadi berbasis industri.

Satu, industrialisasi nasional harus dimulai dari pengembangan industri olahan, terutama hasil SDA (hutan, pertanian, perikanan, tambang, dsb). Dengan begitu, ekspor Indonesia bukan lagi bahan mentah, tetapi bahan hasil olahan yang punya nilai tambah lebih tinggi.

Dua, industrialisasi nasional harus berpijak pada pembangunan dan penguatan industri dasar, seperti logam dasar dan petrokimia, sehingga mengurangi ketergantungan industri dalam negeri pada bahan baku impor.

Tiga, ketersediaan infrastruktur penopang industri, seperti energi (gas dan listrik) dan sistim transportasi yang menghubungkan kawasan industri dengan pelabuhan.

Empat, memperkuat riset dan alih-teknologi untuk meningkatkan daya saing, produktivitas, dan nilai tambah hasil produksi industi dalam negeri.

Membangun kembali pertanian dalam negeri

Sektor pertanian, yang menjadi tumpangan hidup bagi 28 persen penduduk negeri ini, harus dibenahi kembali. Apalagi, jika mengingat pesan Bung Karno, soal pangan adalah soal hidup dan matinya sebuah bangsa. Tanpa kedaulatan pangan, omong kosong kemandirian nasional.

Pertama, liberalisasi impor pangan, termasuk yang didengunkan oleh RUU Cipta Kerja, harus dievaluasi. Sudah sejak awal 2000-an, ketika impor pangan menghancurkan harga produk pangan dalam negeri, sektor pertanian seperti mati suri.

Kedua, melaksanakan serius reforma agraria, yang sasaran intinya mendistribusikan penguasaan dan pemanfaatan tanah/lahan agar berkeadilan sosial. Agar petani gurem dan tak bertanah (landless peasant), yang jumlahnya sekitar 80 persen dari jumlah petani Indonesia, bisa mendapat akses terhadap tanah dan menjadi lebih produktif.

Ketiga, memperbaiki kualitas tenaga kerja di sektor pertanian. Data menyebutkan, 72,5 persen petani Indonesia berpendidikan maksimal SD. Sudah begitu, mayoiritas petani Indonesia berusia 45 tahun ke atas.

Akses pendidikan, baik formal maupun non-formal, perlu diperluas di desa-desa. Hanya dengan begitu, proses adaftasi dan inovasi teknologi di pertanian bisa bergerak maju.

Keempat, memberi dukungan modal dan teknologi, agar meningkarkan daya saing dan produkvitas hasil produksi petani dalam negeri.

Kelima, investasi di sektor pertanian lebih baik diprioritaskan ke pengolahan hasil pertanian. Selain untuk mengamankan akses pasar, juga untuk menambah nilai tambah hasil produksi petani, sehingga meningkatkan kesejahteraan petani. Ini juga untuk menautkan pertanian dan industrialisasi.

Memperkuat Koperasi dan UMKM

Pertama, negara memberi dukungan permodalan untuk UMKM, baik saat memulai usaha maupun untuk pengembangan. Selama ini, UMKM kesulitan mengakses permodalan dari bank karena adanya syarat creditworthiness yang berat.

Untuk persoalan permodalan ini, negara perlu membuat terobosan. Misalnya, negara membentuk bank khusus, semacam Grameen Bank, yang mengkonsolidasikan dan menyalurkan modal untuk UMKM.

Kedua, negara memberikan dukungan untuk mengurangi beban produksi.Misalnya, pemerintah mensubsidi penggunaan energi untuk UMKM, terutama gas, BBM dan listrik.

Ketiga, negara membantu akses pasar bagi UMKM. Pemerintah harus menjaga pangsa pasar UMKM di dalam negeri, misalnya mewajibkan (dengan kuota minimum) penggunaan/penjualan produk UMKM untuk pasar modern, perhotelan, industri, dan lain-lain. Selain itu, UMKM juga harus dibantu untuk memanfaatkan platform digital untuk jualan daring.

Pemerintah juga perlu memperluas pasar UMKM hingga keluar negeri melalui ekspor. Untuk diketahui, meski mewakili 99,99 persen unit usaha dalam negeri, kontribusi UMKM untuk ekspor hanya di kisaran 14,5 persen.

Perhatian yang sama juga harus diberikan pada koperasi. Bahkan, jika memungkinkan, UMKM yang berserak-serak diwadahi dalam koperasi.

Kedua, pembangunan ekonomi berkelanjutan yang punya perspektif sosial dan lingkungan.

Beragam virus yang menyerang manusia, dari SARS, MERS, Ebola, flu burung, zika, termasuk virus korona baru (SARS CoV-2) sekarang ini, dihasilkan oleh sistem ekonomi yang telah mengubah hutan menjadi pertanian berskala besar, agroindustri, pertambangan, kawasan bisnis, dan lain sebagainya.

Akibatnya, satwa liar—yang kerap menjadi inang beragam patogen—kehilangan habitatnya. Mereka juga kerap menjadi objek perburuan. Pada saat itulah, patogen-patogen itu bisa melompat ke manusia.

Tak hanya menyebabkan pandemi, model pembangunan ekonomi kapitalistik sudah membawa umat manusia bertatap muka langsung dengan krisis perubahan iklim. Dunia kita makin sering diterjang bencana, mulai dari kekeringan, banjir, kebakaran hutan, hingga badai besar.

Agar dunia masih punya masa depan, menjadi tempat yang nyaman untuk anak-cucu kita, maka model pembangunan ekonomi yang kapitalistik harus ditinggalkan. Kita perlu beralih pada model pembangunan ekonomi yang lebih ramah lingkungan.

Dan bagi kami, model pembangunan ekonomi yang digariskan oleh pasal 33 UUD 1945 sangat relevan, karena prinsipnya menganut demokrasi ekonomi. Dalam demokrasi ekonomi, bumi dan isinya tak lagi dimiliki oleh segelintir orang, melainkan oleh orang banyak (sosial). Tujuan produksinya pun bukan lagi untuk melayani keserakahan, melainkan kebutuhan manusia. Dengan begitu, tak ada lagi eksploitasi berlebihan yang melebihi daya dukung alam.

Ketiga, mendorong redistribusi kekayaan lewat pajak progressif.

Karena kita sedang berhadapan dengan ketimpangan, maka skema pajak kita perlu diperbaiki. Sebab, pajak juga merupakan instrumen penting untuk mengurangi ketimpangan, karena mendorong redistribusi kekayaan dan pendapatan.

Selama ini, skema pajak kita belum adil. Pendapatan senilai UMP DKI Jakarta, itu kena pajak 5 persen. Sementara pendapatan sebanyak apa pun (500 juta ke atas), platform tariff tertingginya hanya 30 persen.

Kelompok penghasilan dan tariff pajaknya harus diubah. Agar mereka yang lebih kaya, bisa menyetorkan pajak yang lebih banyak untuk pembangunan negeri.

Ketiga, pembangunan sumber daya manusia lewat pemajuan pendidikan dan perbaikan layanan kesehatan rakyat.

Negara harus memastikan pendidikan bisa diakses oleh seluruh warga negara, tanpa pengecualian dan tanpa diskriminasi.

Untuk itu, negara harus menghentikan praktek komersialisasi pendidikan. Semua sekolah publik (sekolah/PTN negeri) harus diselenggarakan dan dibiayai oleh Negara.

Negara juga harus memastikan layanan dan fasilitas kesehatan bisa diakses oleh seluruh rakyat. Untuk itu, negara perlu sistem jaminan kesehatan yang benar-benar  punya cakupan semesta (universal coverage).

Sejak November 2019 lalu, PRD sudah mengajukan konsep pengganti JKN-BPJS saat ini, yaitu jaminan kesehatan rakyat semesta (Jamkesrata).

Keempat, demokrasi politik yang berbasis partisipasi seluruh warga negara.

Sebagaimana ditegaskan oleh Konstitusi: kedaulatan berada di tangan rakyat (pasal 1 ayat (2)). Bagi kami, kedaulatan rakyat hanya akan terwujud jika ada partisipasi warga negara dalam kehidupan politik.

Partisipasi itu bukan sekedar ikut pemilu, tetapi juga keikutsertaan dalam merumuskan, mendiskusikan, dan memutuskan berbagai kebijakan politik. Mulai dari lingkungannya hingga kebijakan di tingkat pusat. Untuk itu, setiap perumusan kebijakan politik harus melalui proses musyawarah dan mufakat.

Agar partisipasi warga benar-benar hidup, maka negara perlu menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat.

Kelima, memperjuangkan kesetaraan gender; dengan memerangi kekerasan terhadap perempuan, mendorong kesetaraan di lembaga-lembaga politik, dan memastikan kesetaraan di tempat kerja.

(selesai)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid