[Situasi Nasional ] Menuju Tatanan Baru: Masyarakat Adil Dan Makmur (1)

Dunia memasuki tahun 2020 dengan wajah yang agak murung.Sebab, tahun sebelumnya mewariskan terlalu banyak persoalan ekonomi dan politik.

Secara ekonomi, negara-negara kapitalis maju terperangkap dalam resesi. Ekspornya melambat, yang mempengaruhi kinerja manufakturnya.Bersamaan dengan itu, pengangguran merangkak naik.

Sementara negara berkembang, yang menggantungkan ekonominya pada ekstraktivisme (eksploitasi sumber daya alam untuk dijual mentah di pasar dunia), juga terpukul oleh jatuhnya harga komoditas.

Bersamaan dengan itu, pergolakan sosial dan politik meledak di berbagai medan. Sepanjang 2019, ada 24 negara yang dilanda oleh pergolakan sosial. Belum lagi, ketegangan antar negara hingga ancaman perang.

Namun, memasuki 2020, sesuatu yang tak terduga tiba-tiba hadir di depan mata. Virus korona, yang bermula di Wuhan, Tiongkok, pada penutup tahun 2019, beranjak cepat menjadi ancaman global.

Pandemi virus korona tak hanya mengurung warga dunia dalam ancaman kesehatan, tetapi juga menghadirkan krisis ekonomi berskala besar: depresi besar (great depression).

Pandemi menyingkap betapa ringkihnya sistem ekonomi sekarang. Namun, pandemi juga memaksa kita membayangkan tatanan dunia baru.

Pandemi ini, meminjam istilah Arundhati Roy, adalah satu pintu gerbang antara dunia lama dengan dunia baru. Kita dihadapkan pada dua pilihan: bertahan pada dunia lama atau melangkah menuju dunia baru.

Situasi Ekonomi

Jauh sebelum pandemi, ekonomi Indonesia memang sudah terseok-seok. Dari tahun ke tahun, neraca perdagangan terus-terusan defisit. Di penutup tahun 2019, defisit transaksi berjalan (CAD) nyaris menyentuh angka 3 persen (batas aman).

Sementara defisit anggaran (APBN) 2019 makin melebar ke angka 2,2 persen (dari PDB). Meski masih di bawah batas aman (3 persen) dari PDB, tetapi situasi ini telah memaksa negara menambah tumpukan utang.

Walhasil, hingga April 2020, utang pemerintah mencapai Rp 5.172 triliun. Jumlah itu setara dengan 31,78 persen PDB. Atau dua kali lebih besar dari total penerimaan negara pada 2019.

Di tahun 2014, utang pemerintah sebesar Rp 2.608 triliun. Artinya, selama hampir 6 tahun Jokowi memerintah, utang pemerintah bertambah Rp 2.564 triliun. Jadi, akumulasi utang selama 6 tahun terakhir hampir sama dengan akumulasi utang selama lebih 60 tahun lebih.

Semua tiang-tiang ekonomi yang goyah itu tak lepas dari struktur ekonomi kita yang memang sangat rapuh. Dua penyangga utamanya, yaitu industri dan pertanian, mulai melapuk.

Dari tahun ke tahun, industri pengolahan (manufaktur) makin tertatih-tatih. Di sepanjang 1990-an (sebelum krisis), pertumbuhan industri manufaktur selalu di atas 9 persen. Tetapi, di tahun 2019, manufaktur hanya tumbuh 4,68 persen.

Kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menyusut.Jika di tahun 1990an, kontribusi manufaktur masih di kisaran 30 persen. Maka sekarang, kontribusinya menyusut tinggal 19,8 persen.

Nasib pertanian tak lebih baik.Di tahun 1990an, kontribusi pertanian ke PDB masih 22 persen. Sementara, di tahun 2018, kontribusinya tinggal 12,8 persen.

Karena itu, ketika pertumbuhan ekonomi triwulan I 2020 hanya 2,97 persen, orang tak perlu kaget (banyak yang memperkirakan dampak pandemi harusnya baru terasa benar di triwulan ke-II). Sebab, sebelum pandemi saja, ekonomi memang sudah terseok-seok.

Nah, di tengah struktur ekonomi yang rapuh itu, datanglah pandemi virus korona, yang menghantam ekonomi nasional dari dua arah sekaligus: sisi produksi  (supply shock) dan sisi permintaan (demand-shock).

Pada sisi pasokan, pembatasan sosial telah mengganggu rantai pasokan (termasuk pasokan bahan baku) dan membatasi kehadiran fisik seseorang untuk bekerja di pabrik. Akibatnya, banyak pabrik tidak bisa beroperasi maksimum, bahkan tak sedikit yang berhenti berproduksi.

Pada sisi permintaan, pandemi memukul pendapatan masyarakat.Banyak usaha yang gulung tikar. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Akibatnya, banyak orang yang kehilangan pendapatan.

Kemenaker menyebut, per 12 Juni 2020, sudah ada 3 juta pekerja yang ter-PHK. Data KADIN menyebut angka 6 juta orang ter-PHK dan dirumahkan. Sementara data APINDO menyebut lebih tinggi lagi: 30 persen dari 50 juta pekerja formal atau 15 juta orang.

Pada masyarakat yang punya tabungan, khususnya menengah ke atas, tentu aktivitas konsumsi mereka juga berkurang. Selain karena lebih banyak di rumah, pola konsumsinya juga berubah: lebih mengutamakan kebutuhan yang pokok/esensial.

Krisis yang dipicu oleh pandemi ini sangat berbeda dengan krisis 1998.Pada krisis 1997/1998, pemicunya adalah krisis keuangan, yang berdampak pada nilai tukar rupiah dan likuiditas. Saat itu, yang paling dihantam adalah perbankan dan perusahaan besar.

Sementara UMKM tak begitu terpukul, sehingga sanggup menjadi penyangga ekonomi nasional. Dengan penyerapan tenaga kerja yang tak kecil, UMKM bisa menjadi penyelamat ekonomi nasional.

Situasinya berbeda dengan pandemi ini.Selain memukul sektor yang menuntut mobilitas orang lintas-wilayah, seperti industri pariwisata, biro perjalanan, dan perhotelan. Gangguan pada sisi produksi dan permintaan langsung memukul UMKM.

Data Kementerian UMKM menyebutkan, pandemi berdampak pada 47 persen UMKM. Data lain menyebut, 96 persen UMKM  terdampak oleh pandemi. Bahkan 75 persen diantaranya mengalami penurunan penjualan yang signifikan.

Tentu saja, jika UMKM yang terpukul, berarti situasinya bisa lebih gawat. Sebab, UMKM mewakili 99,99 persen unit usaha di negeri ini dan menyerap 97 persen tenaga kerja.

Pembukaan Ekonomi

Sejak awal, pemerintah memang tak mau mengorbankan ekonomi.Sebab, penurunan ekonomi bukan hanya soal krisis ekonomi, tetapi bisa memicu krisis politik.

Maka jalan keluarnya adalah pembukaan kembali aktivitas ekonomi (reopen economy). Pertanyannya, apakah pembukaan bisa langsung memulihkan ekonomi?

Pertama, pembukaan ekonomi belum tentu membuat aktivitas produksi berjalan lancar. Ketika ancaman virus masih berada di sekitar kita, sulit untuk mengharapkan aktivitas produksi berjalan maksimal.

Selain itu, belum semua negara sudah pulih kehidupan ekonominya, sehingga berpengaruh pada rantai pasokan bahan baku.

Tiongkok sendiri baru membuka ekonominya secara gradual karena kekhawatiran gelombang kedua pandemi covid-19. Padahal, mengutip Menteri Keuangan Sri Mulyani, sekitar 30-50 persen bahan baku industri plastik, tekstil, alas kaki, baja dan kimia bergantung pada Tiongkok.

Yang kedua, kalau pun aktivitas produksi sudah pulih, tetapi persoalan selanjutnya adalah: permintaan. Di satu sisi, ekspor belum bisa maksimal karena situasi ekonomi global belum pulih. Di sisi lain, permintaan domestik juga merosot akibat banyak orang kehilangan pendapatan.

Sebelum pandemi saja, daya beli rakyat sudah menurun. Pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) juga terus menurun, dari 15,1 persen di tahun 2011 menjadi 8,4 persen di 2018. Ini juga terbaca pada penjualan ritel yang turun.

Masalahnya, bukannya memperbaiki permintaan, negara justru membuat banyak kebijakan yang menggerus daya beli rakyat di tengah pandemi, seperti kenaikan BPJS dan lonjakan tagihan listrik. Belum lagi, ada rencana memotong gaji pekerja lewat PP Tapera.

Jadi, upaya memulihkan produksi, tanpa disertai usaha memperbaiki permintaan (ekspor dan domestik), tentu sulit diharapkan memulihkan keadaan ekonomi.

….(bersambung)

Photo credit: Photography Kehidupan (@KehidupanPhotography); sebelumnya foto ini dipublikasikan di EngageMedia.org.


Artikel ini merupakan dokumen Situasi Internasional dan Nasional yang diterbitkan oleh Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD).

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid