[Situasi Nasional ] Menuju Tatanan Baru: Masyarakat Adil Dan Makmur (2)

Artikel ini merupakan bacaan Situasi Internasional dan Nasional yang diterbitkan oleh Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD). Kami publikasikan di sini sebagai bahan diskusi. Artikel ini ditayangkan per bagian. Bagian pertama bisa dibuka di sini. Sedangkan bagian kedua bisa diakses di sini.

Politik Pandemi

Perang melawan pandemi, kata sejarawan Yuval Harari, membutuhkan kepemimpinan politik.Agar ada aksi bersama, kerjasama, dan kepercayaan publik.

Namun, persis di situlah compang-camping respon pemerintahan Jokowi terhadap pandemi ini.

Pertama, terjadi kekacauan koordinasi: antar lembaga berjalan sendiri-sendiri, daerah-daerah bergerak sendiri, dan antar pejabat saling ralat pernyataan.

Penyebabnya, Jokowi tak memimpin langsung, melainkan dalam bentuk ad-hoc (Gugus Tugas) yang dikepalai oleh Kepala BPNPB. Kerja utamanya di tangan BPPNB, sementara posisi lembaga lain (kementerian, TNI, Polri, dan lembaga lain) hanya koordinasi dan pengintegrasian orang.

Bandingkan dengan negara lain. Di Tiongkok, misalnya, Presiden XI Jinping yang memegang langsung komando tertinggi, sedangkan Perdana Menteri yang memimpin lapangan. Padahal, yang ditangani serius hanya satu: Wuhan.

Kedua, masih kuatnya polarisasi politik, terutama antara Jokowi versus Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta).Maupun faksionalisme elit, baik di pusat maupun daerah, jelang Pilkada 2020 dan Pemilu 2024.

Rivalitas tak kentara antara Jokowi versus Anies membuat pemerintah pusat terkadang tidak nyambung dengan pemerintah DKI Jakarta.Situasi yang mirip terjadi di Jawa Timur, antara Gubernur versus Walikota.

Ketiga, ada keragu-raguan dalam mengambil keputusan. Penyebabnya, Jokowi lebih mendengar suara politisi dan pengusaha ketimbang suara ahli kesehatan. Akibatnya, kepentingan politik dan ekonomi yang memimpin, bukan kepentingan kesehatan rakyat.

Meskipun WHO sudah menetapkan ancaman virus korona sebagai pandemi sejak 11 Maret 2020, pemerintahan Jokowi butuh satu bulan kemudian untuk memutuskan virus korona sebagai bencana nasional lewat Kepres 12/2020.

Lalu, sekalipun kasus pertama di Indonesia sudah terindetifikasi sejak 2 Maret, dan setelah itu jumlahnya terus bertambah, butuh satu bulan bagi pemerintah untuk memutuskan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Itu pun berjalan setengah hati.

Di atas kertas, dengan jumlah penduduk usia di atas 65 tahun sebanyak 44 juta jiwa, kualitas kesehatan masyarakat yang buruk (punya penyakit bawaan), dan dukungan infrastruktur kesehatan yang tak memadai, pilihan satu-satunya bagi Indonesia adalah pembatasan sosial/fisik.

Namun, pembatasan sosial yang ketat, seperti lockdown atau karantina wilayah, akan memukul ekonomi dan bisnis sangat keras. Pelaku usaha tentu tak suka dengan ini (termasuk oligarki di belakang Jokowi).Pertumbuhan ekonomi pun bisa melorot.

Situasi inilah yang membuat pemerintahan Jokowi tampak ambigu. Sehingga, pemerintah terpaksa mengambil jalan moderat: PSBB. Itu pun, di lapangan, ternyata PSBB berdampak keras pada ekonomi.

Sehingga, atas desakan dan lobi-lobi pengusaha (seperti diungkap laporan TEMPO pada 30 Mei 2020), pemerintah mempercepat berakhirnya PSBB. Lalu memulai reaktivasi ekonomi (yang dibungkus dengan bahasa yang bagus: new-normal).

Baca juga: Situasi Internasional: Pandemi Dan Dorongan Menuju Tatanan Dunia Baru

Keempat, tak terpungkiri, agenda oligarki tampak sangat kuat di periode kedua Jokowi ini. Mulai dari politik balas-budi (mengakomodasi jejaring oligarki dalam Kabinet dan jabatan-jabatan khusus) hingga kebijakan ekonominya.

Kepentingan oligarki ini berkelindan dengan agenda liberalisme ekonomi ugal-ugalan. Tentu saja, ada persaman kepentingan diantara keduanya: akumulasi laba tanpa rintangan, tanpa batas.

Tak mengherankan, meski derita rakyat sudah naik seleher sejak pandemi, agenda ekonomi untuk memuaskan oligarki dan liberalisme ugal-ugalan tetap jalan. Mulai dari pembahasan RUU Cipta Kerja, pengesahan revisi UU Minerba, Perppu nomor 1 tahun 2020, hingga Perpres nomor 66 tahun 2020 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan.

Yang terjadi, pemerintah memanfaatkan bencana pandemi ini untuk keuntungan oligarki: mulai dari bancakan dana stimulus (Kartu Pra-Kerja dan sejumlah insentif untuk dunia usaha) hingga regulasi yang menguntungkan pengusaha.

Gejala Politik Otoritarian

Di hampir semua belahan dunia, pandemi telah memanggil peran negara yang besar (bringing back big-government) untuk mengeluarkan negara dari krisis besar.

Namun, kembalinya peran negara ini mengambil dua kecenderungan: pertama, negara hadir dalam bentuk negara kesejahteraan, yang membentengi rakyat dari dampak pandemi; dan kedua, negara hadir dalam bentuk negara otoriter, yang membungkam semua suara-suara kritis semasa pandemi.

Sayang sekali, pemerintahan Jokowi mengikuti kecenderungan yang kedua: menjadi semakin otoriter. Di masa Jokowi, pasal-pasal kuno yang tak relevan dengan demokrasi, seperti makar dan penghinaan Presiden, dihidupkan lagi.

Di masa Jokowi, UU ITE lebih intensif digunakan untuk memotong lidah orang-orang yang berpendapat di media sosial. Catatan SAFE NET dan Amnesty Internasional menunjukan, penggunaan UU ITE untuk membungkam kebebasan berpendapat naik dari 74 kasus pada masa pemerintahan SBY (2009-2014) menjadi 233 kasus pada pemerintahan Jokowi (2014-2019), atau naik lebih dari tiga kali lipat.

Data lain Amnesty International memperlihatkan, dalam rentang  Oktober 2014 hingga Juli 2019, sudah ada 241 orang yang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas atau pemerintahan Jokowi. Tak sedikit dari mereka adalah ibu rumah tangga.

Situasinya kian mencemaskan di masa pandemi ini.Di satu sisi, kita dipertontonkan dengan ketidakcakapan pemerintah dalam mengatasi pandemi. Di sisi lain, mulut kita dibungkam dan tak dibolehkan mengeritik.

Pertama, ada Perppu 1/2020 yang memberi imunitas kepada pelaksana Perppu (KKSK, Kemenkeu, OJK, LPS, Bank Indonesia, dll). Kebijakan-kebijakan mereka dianggap bukan objek gugatan yang bisa diajukan ke PTUN.

Kedua, menguatnya pembatasan kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat. Ada Telegram Kapolri terkait patrol siber untuk memantau penyebar kabar bohong dan penghina Presiden/Pejabat Negara.

Ketiga, adanya teror dan intimidasi terhadap sejumlah aktivitas diskusi publik, baik yang digelar di luar maupun di dalam kampus.

Belakangan, ada modus baru untuk membungkam diskusi atau orang yang kritis: doxing (penyebaran informasi pribadi di media sosial), disusul teror dan intimidasi, akun medsos diretas, lalu difitnah.

Meredupnya Politik Pencitraan

Pandemi Covid-19 ini mampu membongkar dan menelanjangi pemerintahan di banyak negara dalam banyak bidang. Misalnya, mengungkap kelemahan mulai dari tata kelola kesehatan masyarakat hingga perlindungan terhadap hak dasar selama pandemi.

Di tingkat global, populis kanan terbukti amburadul dalam menghadapi pandemi. Dari Donald Trump di AS, Jair Bolsonaro di Brazil, Victor Orban di Hungaria, Narendra Modi di India, hingga Rodrigo Duterte di Filipina.

Amburadulnya respon politisi populis kanan itu agak-agak mirip dengan Indonesia: kepemimpinan yang ambigu, mengabaikan suara sains dan ilmu pengetahuan, mengutamakan penyelamatan ekonomi ketimbang keselamatan rakyat, dan lain-lain.

Di Indonesia, populisme dibentuk dengan gimik politik: agar tampak bekerja, si politisi ikut mengatur lalu lintas, menyapu di jalanan, hingga meminggirkan pohong tumbang; agar tampak tegas, ia mengamuk dan marah-marah di depan bawahannya; agar tampak merakyat, dia mendatangi dan merangkul si miskin.

Tetapi pandemi menunjukkan, pemimpin semacam itu terbukti kewalahan menghadapi penyebaran virus. Mereka tidak punya strategi dan perencanaan yang efektif dan terukur. Manajemen organisasinya kacau balau. Pandemi menyingkap ketidakmampuan mereka untuk memimpin di tengah krisis.

Potensi Krisis Politik

Respon Jokowi yang buruk terhadap pandemi telah memicu ketidakpuasan yang meluas.

Survei Indikator Politik menunjukkan penurunan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi yang signifikan. Dari 70,8 persen di bulan Februari 2020 menjadi 56,4 persen di bulan Mei ini.

Tingkat kepuasan ini bisa terus meningkat. Pertama, jika pemerintah tidak kunjung berhasil mengendalikan (flattening the curve) penyebaran covid-19. Kedua, jika pemerintah tidak mengantisipasi dampak ekonomi akibat pandemi, terutama lonjakan PHK dan kemiskinan.

Di beberapa negara, kombinasi antara kegagalan pemerintah mengatasi dampak pandemi bertemu dengan meningkatnya ketidakpuasan sosial telah memicu krisis politik, seperti di Brazil, Ekuador, Amerika Serikat, dan Perancis.

Potensi krisis politik itu makin terbuka jika pembelahan politik, baik di masyarakat maupun di elit, terus dipanas-panasi.Gonjang-ganjing politik belakangan hari, dari isu PKI hingga RUU haluan ideologi Pancasila, menunjukkan hal tersebut.

Baca juga: [Situasi Nasional ] Menuju Tatanan Baru: Masyarakat Adil Dan Makmur (1)

Pelajaran dari Pandemi

Saat pandemi terjadi, masing-masing bangsa sibuk mengamankan kepentingan bangsanya sendiri: dari urusan pangan, kebutuhan dasar, hingga finansial. Nyaris tak ada solidaritas. Kecuali yang ditunjukkan oleh Kuba, Tiongkok, dan Iran.

Padahal, hampir setengah abad yang lalu, kita diberitahu tentang dunia yang beranjak menjadi sebuah perkampung global, tak ada lagi batas-batas bangsa, bahkan konsep bangsa akan menjadi artefak sejarah.

Ini memberi pelajaran berharga tentang perlunya menjadi bangsa yang berdiri di kaki sendiri (berdikari).Cita-cita Bung Karno dulu, yaitu Trisakti (berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian secara budaya), menjadi sangat relevan sekarang ini.

Pertama, kita tak bisa lagi menggantungkan kebutuhan perut rakyat, dalam hal ini pangan, kepada bangsa lain. Kita harus menegaskan ulang visi politik pangan kita: berdaulat dalam urusan pangan.

Kedua, kita harus memperkuat industri dalam negeri, untuk mengurangi ketergantungan dari luar. Mulai dari ketergantungan bahan baku, penolong, barang modal, hingga barang jadi.

Ketiga, pengelolaan kesehatan rakyat tidak boleh lagi beroentasi komersil dan diserahkan kepada swasta. Terbukti di masa pandemi, sistem kesehatan yang komersil tidak bisa digerakkan untuk menolong rakyat.

Tak bisa lagi, kebutuhan obat-obatan dan peralatan medis kita digantungkan pada impor.Potensi bangsa kita harus digerakkan untuk membangun kemandirian nasional dalam urusan obat-obatan dan peralatan medis.

…(bersambung)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid