Sejak masa pandemi covid-19 ini banyak orang mulai bicara tentang perubahan menuju dunia yang baru.Pandemi ini, sebagaimana disebutkan Arundhati Roy, merupakan pintu gerbang dari dunia di masa lalu ke dunia yang baru di masa mendatang.
Tapi bagaimana wujud dunia yang baru itu?Ada beragam pandangan tentangnya.Kita bisa mengklasifikasinya dalam dua pandangan besar. Pertama, yang melihat dunia baru hanya dalam bentuk reformasi-reformasi di sektor tertentu seperti investasi yang lebih besar dalam sistem kesehatan, signifikansi teknologi informasi dalam membentuk cara hubungan antar manusia, kecenderungan deglobalisasi pada sektor-sektor ekonomi tertentu, dan lain sejenisnya. Kedua, bersifat lebih ideologis dengan memandang dunia baru yang sama sekali berbeda secara fundamental dibandingkan sebelumnya, terutama dalam soal tatanan ekonomi politik.
Mengenai cara pandang yang disebutkan terakhir, ada tiga peristiwa sebagai tonggak penting dalam membaca perubahan-perubahan situasi internasional.
Pertama, krisis ekonomi kapitalisme global yang semakin dalam.
Kapitalisme global telah mengalami krisis sejak sebelum muncul pandemi beserta dampak-dampaknya. Tahun 2019 ekonomi dunia hanya tumbuh 2,3 persen. Beberapa negara bahkan mulai memasuki jurang resesi.Dengan situasi pandemi, tahun 2020 ini ekonomi dunia diproyeksikan tumbuh minus 3 persen. Perkiraan yang optimistik, seperti yang disampaikan IMF, menyebutkan pemulihan ekonomi dunia akan terjadi di tahun 2021 dengan kurva U (menurun tajam kemudian kembali naik tajam). Tapi sejumlah ekonom meramalkan depresi yang lebih dalam dan lama dengan bentuk L (menurun tajam untuk selanjutnya mendatar).
Di samping angka-angka yang menjadi pertanda dari kemunduran sistem ekonomi kapitalisme, pada lapangan ideologis terjadi juga pemblejetan terhadap tatanan ini.Pengalaman umat manusia dalam menghadapi pandemi covid 19 mengajarkan pentingnya solidaritas sosial ketimbang kompetisi antar individu, keselamatan ketimbang profit dari komersialisasi kesehatan, dan kepedulian pada lingkungan hidup yang berpotensi mendatangkan bencana apabila terus dieksploitasi demi profit belaka.
Kedua, lunturnya legitimasi politik sebagian besar rezim sayap kanan di dunia sebagai akibat cara penangan pandemi yang dinilai tidak kompeten.
Ada dua jenis pendekatan oleh pemerintah di berbagai negara terhadap situasi pandemi ini.Pendekatan pertama lebih berfokus pada keselamatan manusia. Pendekatan ini berupaya melakukan berbagai antisipasi seperti pembatasan aktivitas sosial, belanja perlengkapan medis dan persiapan tenaga kesehatan, sembari menstimulus secara besar-besaran sektor-sektor ekonomi dan belanja sosial. Negara mendukung penuh kebutuhan hidup penduduk ketika aktivitas ekonomi menurun.
Pendekatan kedua, pemerintah tetap berfokus pada aktivitas eknomi sembari meremehkan pandemi.Kepanikan baru nampak setelah wabah memakan korban yang semakin banyak. Sementara pemerintahan-pemerintahan populis kanan (atau ultra kanan), dalam banyak kasus bahkan mengabaikan sama sekali ancaman pandemi. Ini terjadi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat (Donald Trump), Brasil (Jair Bolsorano), dan India (Narendra Modi), ataupun di Hungaria. Ketika wabah semakin memakan korban dan mereka dipaksa untuk membuat keputusan pembatasan sosial ataupun lock down, pemerintahan-pemerintahan ini tidak sanggup memberikan jaminan sosial untuk kelanjutan hidup rakyatnya.
Situasi ini telah menyebabkan banyak dari mereka yang dinilai inkompeten sehingga mengalami krisis legitimasi. Di beberapa negara sampai melahirkan protes massa, baik dari rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya ataupun dari para pekerja medis yang tidak terjamin perlengkapan kerja maupun kesejahteraannya.
Ketiga, gerakan massa di Amerika Serikat diikuti dengan solidaritas global yang dipicu oleh kekerasan bernuansa rasial terhadap warga kulit hitam (Afro-Amerika), George Floyd.
Amerika Serikat diguncang oleh protes massa terbesar dalam setengah abad terakhir. Ratusan ribu orang turun ke jalan-jalan di puluhan kota untuk memprotes kematian George Floyd di tangan polisi Maneapolis. Kekerasan rasial aparat kepolisian terhadap warga kulit hitam telah seringkali terjadi sehingga melahirkan berbagai gugatan.Hingga di tahun 2013 sebuah organisasi solidaritas bernama Black Lives Matter (Nyawa Kulit Hitam Penting, sering disingkat BLM) didirikan oleh beberapa aktivis.Pembunuhan terhadap George Floyd menjadi berbeda, selain karena sudah terlalu banyak kejadian pembunuhan polisi terhadap warga kulit hitam dan beredarnya video (pembunuhan) di media sosial, alasan lainnya adalah karena terjadi di tengah pandemi.Opal Tometi, salah seorang pendiri BLM, menjelaskan bahwa pandemi—yang memaksa orang untuk di rumah saja—telah membuat mereka mempunyai kesempatan untuk berpikir dan selanjutnya putuskan berpartisipasi dalam berbagai aksi protes.Tometi juga menjelaskan bahwa tuntutan yang mengemuka kemudian tidak sekedar tentang reformasi hukum dan kepolisian, tapi juga menyangkut persoalan ekonomi.
Amerika Serikat telah menjadi episentrum baru wabah covid 19 dengan penderita mencapai lebih dari dua juta orang dan lebih seratus ribu meninggal dunia. Dari jumlah korban meninggal tersebut sepertiga di antaranya adalah warga kulit hitam, meskipun populasi mereka (kulit hitam) hanya lima belas persen dari penduduk AS. Artinya, warga kulit hitam mempunyai akses yang sangat buruk terhadap fasilitas kesehatan.
Akses buruk terhadap fasilitas kesehatan juga bermakna bahwa warga kulit hitam juga lebih rentan terhadap persoalan ekonomi. Terlebih, lock down di beberapa daerah membuat pingsan perekonomian mereka. Salah satu indikator penting adalah pengangguran yang meningkat tajam dari 3,4 persen di bulan Februari 2020 menjadi 14,7 persen di bulan April. Sementara pengangguran bagi warga kulit hitam mencapai lebih dari 16 persen.
Oleh karena itu, gerakan BLM kali ini tidak hanya semata persoalan rasial tapi juga persoalan kelas. Hal ini diakui oleh Rana Foroohar, redaktur pelaksana majalah Time, yang menggambarkan gerakan BLM yang mengangkat isu-isu ekonomi seperti upah yang lebih adil, student debt (utang pelajar), kondisi kerja yang lebih baik, tambahan anggaran untuk jaringan pengaman sosial, dan lain-lain. Dengan demikian gerakan BLM tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang kulit hitam, tapi telah menjadi gerakan yang lebih berwarna dengan tunutan yang lebih luas.
Kita belum tahu akan berapa lama gerakan ini bertahan atau kapan akan mencapai puncaknya. Pastinya peristiwa ini telah membentuk kesadaran baru di masyarakat Amerika Serikat. Dirobohkannya patung-patung yang dianggap merepresentasikan supremasi kulit putih menjadi salah satu aksi kebudayaan yang menjungkir-balikkan cara pandang masyarakat setempat terhadap sejarahnya sendiri. Wacana tentang format tata ekonomi baru sebagaimana yang dikampanyekan oleh mantan calon presiden Partai Demokrat, Bernie Sanders, yang banyak mendapat dukungan dari kaum muda AS, sepertinya telah memperoleh kembali momentum untuk diluaskan.
Catatan: Artikel ini merupakan dokumen “Situasi Internasional dan Nasional” yang dikeluarkan oleh Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD). Bagian pertama ini tentang situasi internasional. Sedangkan situasi nasional akan diposting per bagian pada hari-hari selanjutnya.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid