Tuntutan “Defund the Police” Menggema Di AS, Apa Maksudnya?

Tuntutan “defund the polisi” menggema dalam aksi protes yang melanda Amerika Serikat sejak minggu lalu. Dan tampaknya, tuntutan ini mendapat dukungan sangat luas. Dari masyarakat sipil hingga politisi.

Sebetulnya, tuntutan ini sudah lama disuarakan oleh banyak aktivis. Namun, tuntutan ini baru menemukan momentum dan menggema sejak protes mengecam pembunuhan seorang Afro-Amerika, George Floyd, oleh polisi di Minneapolis, Amerika Serikat.

Apa artinya “defund the police”?

“Defund the police” secara harfiah berarti penghentian pendanaan terhadap polisi. Ini merupakan tuntutan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil di AS.

Intinya, mereka mengingingkan agar anggaran publik yang diperuntukkan pada kepolisian dan lembaga pemasyarakatan dikurangi. Lebih baik, anggaran itu dialihkan untuk memperkuat layanan publik yang lain.

Bagi mereka, anggaran negara untuk “keamanan publik” lebih baik diperuntukkan untuk perumahan, kesehatan masyarakat, pendidikan, pembukaan lapangan kerja, dan program vital lainnya, ketimbang untuk anggaran kepolisian dan penegak hukum.

Di satu sisi, pengusung tuntutan ini yakin, jika layanan publik bisa diperbaiki, sehingga semua warga negara bisa mengakses kebutuhan dasarnya, maka kriminalitas juga akan berkurang.

Mereka yakin, anggaran sosial yang lebih besar untuk pemberdayaan warga akan mengurangi kondisi-kondisi yang memungkinkan kejahatan, seperti kemiskinan, pengangguran, penyakit mental, hingga tuna-wisma.

Di sisi lain, tuntutan ini juga bisa menjadi semacam tekanan kepada Kepolisian untuk mereformasi diri, agar benar-benar menjadi aparatus pelayan publik. Tidak lagi bertindak sewenang-wenang atas nama penegak hukum, seperti dalam kasus pembunuhan George Floyd.

Hanya saja, substansi atau target dari tuntutan ini beragam. Ada yang sekedar menuntut pengurangan atau pemangkasan, sementara yang lainnya menghendaki penghentian sama sekali.

Penyalahgunaan Wewenang

Washington Post, yang sejak 2015 mengumpulkan data tentang penembakan berujung kematian (fatally shooting) oleh kepolisian, menunjukkan bahwa polisi AS membunuh hampir 1000 orang per tahun. Pada 2019 lalu, jumlahnya mencapai 1004 orang.

Tentu saja, angka itu mengerikan. Bandingkan dengan Inggris. Tiap tahunnya, polisi Inggris melakukan “fatal shooting” di kisaran 3 hingga 6 kasus per tahun.

Sementara di negara Skandinavia, seperti Denmark, Islandia dan Swiss, nyaris tidak ada kasus “fatal shooting” setiap tahunnya.

Ironisnya, berdasarkan data yang dikutip dari The Treatment Advocacy Centre,  satu dari empat orang yang dibunuh oleh polisi itu mengalami sakit mental yang parah.

Lebih ironis lagi, orang miskin dan kelompok minoritas (seperti afro, hispanik/latino) yang paling rentan menjadi korban kekerasan polisi. Kasus penembakan berujung kematian terhadap warga kulit hitam dua kali lebih banyak dibanding kulit putih.

Seberapa banyak anggaran kepolisian AS hari ini?

Dalam empat dekade terakhir, anggaran kepolisian di AS naik tiga kali lipat. Sekarang sudah mencapai 115 milyar dollar AS (sekitar Rp 1.600 triliun).

Masalahnya, merujuk ke data FBI, angka kejahatan sudah menurun drastis sejak 1990an. Penurunannya hingga 54 persen sejak 1993 hingga 2018. Seharusnya, kalau kejahatan sudah menurun, sumber daya kepolisian perlahan-lahan bisa dikurangi.

Masalahnya lagi, anggaran yang fantastis ini tidak sebanding dengan belanja untuk sektor lain. Di Atlanta, misalnya, 13 persen (251,7 juta USD) anggaran operasionalnya  diperuntukkan untuk Kepolisian, sementara hanya 3 persen (59.9 juta USD) untuk pengembangan komunitas dan pemeliharaan taman.

Di Chicago, 17,6 persen (1,5 milyar USD) anggarannya untuk kepolisian, sementara 5,4 persen (450 juta USD) untuk urusan perencanaan dan pengembangan kota—meliputi perumahan yang terjangkau, kesehatan publik, dukungan untuk keluarga, dan transportasi umum.

Namun, anggaran sebesar itu tidak sebesar dengan kerja polisi menyelesaikan kasus. Tahun 2019, kepolisian Minneapolis hanya menyelesaikan 56 persen kasus pembunuhan. Di Baltimore, di tahun yang sama, dari 347 kasus homicide, hanya 32 persen yang tuntas.

Dalam kasus lain, seperti perkosaan, kondisinya tak lebih baik. Tahun 2017, Polisi hanya menuntaskan investigasi 32 persen kasus perkosaan.

Ironisnya, dalam investigas kasus kejahatan ini, polisi AS kerap bias ras. Laporan New York Daily News memperlihatkan, polisi menyelesaikan 86 persen kasus homicide yang korbannya kulit putih, tetapi hanya 45 persen untuk korban yang berkulit hitam dan 56 persen untuk korban hispanik.

Kalau kepolisian dihapuskan, Akankah kejahatan meningkat?

Para pengusung kampanye ini meyakini, jika anggaran lebih banyak ke pemberdayaan sosial dan perbaikan kualitas hidup, maka kejahatan akan menurun.

Mereka bicara berbasis data. Tahun 2016, laporan dari Dewan Penasehat Ekonomi Gedung Putih (era Obama) menunjukkan, kenaikan upah akan mengurangi 3-5 persen kejahatan.

Lalu, kenaikan upah sebesar 10 persen untuk orang yang tidak berpendidikan tinggi akan mengurangi kejahatan di kisaran 10-20 persen.

Tahun 2016, laporan dari Sentencing Project, sebuah kelompok advokasi dan penelitian terkait sistem pemenjaraan di AS, mengakui bahwa pemenjaraan berdampak pada penurunan kejahatan sebanyak 25 persen sepanjang 1990an hingga 2016.

Namun, menurut lembaga itu, terapi terhadap pecandu narkoba, intervensi terhadap keluarga beresiko, program edukasi kreativitas lewat sekolah lebih berbiaya murah ketimbang pemenjaraan.

Intinya, bagi lembaga ini, pencegahan di hulu, dengan pendekatan yang tepat, bisa lebih efekti dan hemat ketimbang pendekatan di hilir berupa penegakan hukum dan pemenjaraan.

Argumentasi itu ada benarnya. Di negara-negara dengan tingkat kemakmuran yang lebih baik dan masyarakat yang relatif setara, seperti Swiss, Denmark, Norwegia, Swedia, dan New Zealand, tingkat kejahatannya sangat rendah.

Bukan Penghapusan, tetapi Menata Ulang…

Banyak yang berpendapat, “Defund the Police” bukan berarti menghilangkan kepolisian, tetapi menata ulang.

Hanya saja, soal menata ulang ini, ada banyak versi. Ada versi yang moderat, yang mengusulkan beberapa praktek buruk dalam kepolisian, seperti menghilangkan penggeledahan/pengangkapan tanpa pemberitahuan (no-knock warrant).

Ada yang mengusulkan penghilangan gaya dan perlengkapan ala militer pada kepolisian. Yang lain berpendapat, penggunaan polisi hanya untuk kasus kejahatan yang berat.

Tahun 2014, setelah penembakan terhadap Michael Brown oleh polisi berkulit putih, ada dorongan agar polisi ditempeli kamera di badannya. Dengan begitu, semua aktivitasnya akan terpantau. Ternyata, sebuah riset terhadap 2000  orang polisi menunjukkan, penempelan kamera di badan polisi tidak berhasil menghalanginya melakukan penyalahgunaan wewenang.

Tapi, ada juga kelompok aktivis yang mendorong diskusi lebih jauh. Misalnya, mereka mengajak kita untuk membayangkan ulang konsep keamanan publik yang lebih demokratis dan humanis.

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid