Tahun 1952, saat peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan ke-7, Presiden Sukarno menyampaikan banyak kekhawatiran. Terutama terkait situasi ekonomi, politik dan keamanan yang merundung Republik muda yang baru merdeka.
Republik muda ini belum sembuh dari luka-luka yang diwariskan oleh ratusan tahun kolonialisme. Juga luka-luka yang disebabkan oleh 4 tahun revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan dari agresi kolonial Belanda.
Disamping itu, Republik muda ini diguncang sejumlah pemberontakan bersenjata. Ada pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di kepulauan Maluku. Ada gerombolan DI/TII yang ingin mendirikan “Darul Islam” di Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Ada gerombolan Bambu Runcing yang mengacau Jakarta. Kemudian ada gerilyawan kiri Merapi-Merbabu Complex (MMC) di sekitar pegunungan Merapi dan Merbabu. Ditambah pemberontakan Andi Azis di Makassar.
Tetapi, terlepas dari berbagai persoalan itu, ada masalah besar yang lebih mengkhawatirkan Sukarno, yakni krisis yang bisa mengancam eksistensi Republik Indonesia.
Di pidato itu Sukarno membeberkan 5 krisis yang mengancam keberlangsungan Republik Indonesia, yaitu: krisis politik, krisis alat-alat kekuasaan Negara, krisis cara berpikir, krisis moril, dan krisis gezag.
Krisis politik terjadi ditandai dengan kondisi politik yang terus gaduh, tidak pernah stabil, dan semakin banyak orang yang tidak percaya pada jalan demokrasi.
Krisis alat-alat kekuasaan Negara terjadi manakala mesin-mesin dan aparatusnya tidak bisa berfungsi efektif. Malahan terjadi pemborosan dan korupsi.
Krisis cara berpikir terjadi manalaka sebagian besar manusia Indonesia, terutama penyelenggara Negara, kehilangan daya pikir untuk menyelesaikan atau menjawab berbagai persoalan. Pikirannya mandeg dan cenderung status-quo. Padahal, untuk berkembang maju, bangsa ini butuh pikiran progressif, inovatif, dan solutif.
Krisis moral mengacu pada turunnya semangat patriotik dan kesadaran nasional setiap anggota bangsa, terutama para penyelenggara negara dan aparatusnya. Mulai dijangkiti penyakit ego-sentris dan kepentingan yang berorentasi sempit.
Dan yang paling dikhawatirkan Sukarno adalah krisis gezag atau turunnya wibawa Negara: ditunjukkan pada ketidakpercayaan banyak warga terhadap penyelenggara Negara, lembaga-lembaga Negara, dan simbol-simbol Negara lainnya. Tak ada lagi kepatuhan secara sukarela terhadap otoritas dan hukum-hukumnya.
Pertanyannya, apakah krisis-krisis itu juga menghinggapi Indonesia sekarang ini?
Yang jelas, politik Indonesia hari-hari ini sangat gaduh dan penuh umbaran caci-maki. Persaingan politik para elit telah mempolarisasi rakyat kita sangat tajam. Bukan karena alasan ideologis maupun visi politik, melainkan karena loyalitas membabi-buta pada elit masing-masing.
Ditambagi lagi, kehadiran para pendengung (buzzer) di media sosial, yang menyeret diskusi-diskusi politik kita pada urusan suka dan tidak suka, banjir kabar bohong, dan serangan ad-hominem.
Semakin banyak Warga Negara yang tak lagi menggantungkan harapan pada politik. Institusi-insitusi politik, baik partai politik, lembaga perwakilan, maupun kekuasaan eksekutif, makin kehilangan kepercayaan. Dalam banyak Survei, parpol dan parlemen selalu mendapat tingkat kepercayaan terendah.
Pemilu bukanlah lagi sarana berdemokrasi, tetapi berubah menjadi pasar politik tempat para oligarki bertransaksi: politisi mana dan partai mana yang cocok untuk dibeli, yang bisa mewakili dan menjalankan agenda-agenda ekonomi mereka.
Maka, pernyataan Prof Jeffrey Winters, bahwa hampir 100 persen dana kampanye parpol di Indonesia berasal dari kantong para oligarki, bukanlah rahasia umum.
Alat-alat kekuasaan Negara juga kehilangan legitimasi. Ada bertumpuk-tumpuk kekecewaan terhadap alat kekuasaan negara, baik terhadap legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Dalam banyak kejadian, lembaga-lembaga itu kerap menjadi “perpanjangan tangan” kepentingan segelintir orang (oligarki), ketimbang rakyat banyak. Ditambah lagi, lembaga-lembaga itu belum terbebas dari penyakit korupsi, elitisme, dan patrimonial.
Namun, yang cukup mengancam dan mulai tampak hari ini adalah krisis gezag. Kekecewaan terhadap Negara yang berlapis-lapis, dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, membuat orang banyak tak lagi menaruh kebanggaan pada otoritas, baik politik maupun hukum. Tidak ada lagi kewibawaan Negara dan aparatusnya.
Krisis gezag itu, misalnya, mengejawantah pada meluasnya aksi “main hakim sendiri”. Ini menunjukkan bahwa orang tidak percaya lagi pada pengadilan sebagai tempat menyelesaikan sengketa atau masalah hukum. Juga tidak percaya bahwa hukum bisa memberi putusan yang adil.
Juga makin banyak yang tidak percaya pada demokrasi. Penyebabnya, sejak reformasi hingga sekarang, demokrasi liberal yang berlaku di Negara ini gagal mengartikulasikan aspirasi dan kehendak rakyat.
Demokrasi ini hanya menjadi sarana bagi oligarki untuk mengawinkan politik dan kepentingan bisnis mereka.
Ironisnya, kekecewaan terhadap demokrasi ini telah ditunggangi oleh kelompok “abad pertengahan” untuk menyuarakan penolakan terhadap demokrasi, sembari memuja-muja teokrasi dan absolutisme.
Ketidakpercayaan terhadap demokrasi sangat berbahaya, sebab memberi tempat pada penggunaan kekerasan, bahkan fasisme, untuk tampil di gelanggang politik.
Tentu saja, krisis-krisis itu ada penyebabnya. Bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba, apalagi takdir ilahi.
Penyebabnya, kehadiran Negara lebih banyak dirasai menyuguhkan kekecewaan ketimbang kebahagian dan harapan. Pada banyak warga Negara, mimpi bernegara tak lagi menyuguhkan harapan kebahagiaan. Yang kerap hadir di depan mata mereka: UU yang melucuti hak-hak warga negara, tindakan sewenang-wenang aparat Negara, korupsi, penggusuran dan perampasan hak milik warga negara, pajak yang tak berkeadilan, dan penghancuran ruang hidup atas nama investasi.
Mimpi yang dijanjikan ketika Negara ini diperjuangkan, yaitu masyarakat adil dan makmur, makin menjauh. Manakala kekayaan nasional hanya di kuasai oleh segelintir tangan. Seperti ditunjukan oleh banyak data, 1 persen orang terkaya di Indonesia mengusai 49 persen (hampir separuh) kekayaan nasional. Ketika rasio gini Indonesia berlari cepat dari 0,29 di tahun 1990an menjadi 0,38 di tahun 2019.
RUDI HARTONO
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid