Pancasila Tidak Hadir Saat Pandemi?

Krisis yang dipicu oleh pandemi covid-19 bukan hanya menguji ketangguhan sistem kesehatan kita, daya tahan sumber daya kita, atau kompetensi pemimpin dan struktur politik kita.

Pada arena yang lain, krisis pandemi juga berhadap-hadapan dengan pandangan hidup dan nilai-nilai besar yang (diklaim) dianut oleh bangsa ini, yakni Pancasila.

Sudah lama Pancasila diagung-agungkan sebagai ideologi yang hidup (living ideology). Ada juga yang menyebutnya ideologi kerja. Dan entah sudah berapa seminar maupun risalah yang berseru-seru tentang pembumian Pancasila?

Sayang sekali, sejak kelahirannya hingga sekarang, Pancasila belum pernah benar-benar terwujud secara konkret dalam kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan negara.

Cara kita memperlakukan Pancasila, meminjam istilah Yudi Latif, seperti mengenakan baju kebesaran yang terbalik. Di satu sisi, konsepsi dan nilai-nilai Pancasila diakui dan dielu-elukan begitu tinggi sebagai gagasan yang sempurna. Di sisi lain, praktek politik dan penyelenggaraan negara justru memunggunginya[1].

Sekarang, berhadap-hadapan dengan situasi super-darurat akibat pandemi, kita menunggu perwujudan nyata Pancasila.

Saya kira, perwujudan nyata Pancasila itu bisa diperiksa dalam dua aspek: horizontal dan vertikal.

Aspek horizontal menyangkut kehidupan berbangsa, relasi antar warga negara, dan manusia dengan lingkungannya. Pada aspek ini, setiap warga Negara dituntut punya kesadaran, sikap, dan perangai yang dijiwai oleh Pancasila.

Aspek vertikal menyangkut penyelenggara negara. Ada dua hal yang bisa dilihat di sini. Satu, keteladanan menjalankan Pancasila dari para penyelenggara negara. Dan kedua, kebijakan yang terjiwai oleh nilai-nilai Pancasila.

Aspek Horizontal

Selama pandemi, kita menyaksikan gerakan solidaritas yang cukup kuat. Inisiatif untuk membantu sesama warga negara, saudara sebangsa, tumbuh di berbagai tempat di berbagai pelosok Negeri.

Mulai dari berbagi sembako, mendirikan dapur umum, mengorganisasikan produksi alat pelindung diri (APD), menyediakan tempat isolasi mandiri, berbagai informasi dan edukasi publik, menyediakan oksigen gratis, hingga menyediakan peti jenazah.

Di media sosial bertebaran informasi mengenai lokasi penyedia oksigen, layanan ambulance, layanan rumah sakit, penyedia obat, hingga layanan bahan makanan untuk pasien isolasi mandiri.

Ada aksi-aksi oleh individu secara spontan, ada juga aksi-aksi solidaritas yang sengaja diorganisasikan oleh individu, tokoh, komunitas, organisasi, hingga pelaku usaha.[2]

Luar biasanya, aksi-aksi solidaritas itu melampaui sekat-sekat suku, agama, ras, maupun daerah. Lewat media sosial dan aplikasi, gerakan itu kadang menghubungkan orang-orang yang saling tidak kenal untuk bersolidaritas.

Tentu saja, gerakan solidaritas tanpa batas itu, yang menolong sesama manusia tanpa melihat suku, agama, ras, dan daerahnya, merupakan perwujudan nyata nilai-nilai peri-kemanusiaan yang dianut oleh Pancasila.

Selain itu, kesediaan untuk saling mengulurkan tangan, saling berbagi, dan bekerjasama merupakan bentuk konkret dari intisasi Pancasila: gotong-royong.

Namun, harus diakui juga, tidak sedikit praktek-praktek yang memunggungi nilai-nilai Pancasila terjadi di kala pandemi. Mulai dari mereka sengaja mencari sensasi dengan mengumbar berita bohong dan informasi-informasi menyesatkan. Mereka yang mengambil untung di saat pandemi: para pelaku usaha yang sengaja menaikkan harga oksigen, APD, obat-obatan, dan-lain-lain, hingga berkali-kali lipat di atas harga sewajarnya.

Aspek Vertikal

Dalam menghadapi ancaman krisis besar, apalagi yang tak terduga, seringkali berlaku prinsip: lebih baik mendahului daripada terlambat sama sekali. Dalam menghadapi pandemi covid-19, prinsip ini harusnya berlaku.

Masalahnya, agar prinsip itu berlaku, hal mendasar yang mesti dimiliki pemimpin politik adalah kesadaran atau pengakuan akan adanya ancaman atau krisis itu sendiri. Mereka yang tak menyadari ancaman bisa terbawa pengaruh “normalcy bias” atau bias normal, yaitu bias kognitif yang membuat orang tak percaya atau meminimalkan potensi ancaman.

Dalam konteks Indonesia, hampir semua pemimpin politik kita mengidap penyakit “bias normal”, sehingga sejak awal meremehkan ancaman pandemi. Tak sulit untuk menemukan jejak digital pernyataan-pernyataan pejabat pemerintah yang meremehkan pandemi.

Bias kenormalan mempengaruhi cara pemerintah merespon bahaya pandemi. Saat dunia mulai kalan-kabut merespon pandemi dengan mengetatkan perbatasan dan melakukan pembatasan mobilitas, pemerintah Indonesia justru promosi pariwisata. Puncaknya, pemerintah mengucurkan Rp72 milyar untuk para influencer agar mempromosikan pariwisata.

Bayangkan, kalau pemerintah menyadari bahaya pandemi, lalu menggunakan waktu dan anggaran yang ada untuk menyiapkan bangsa ini menghadapi pandemi. Bayangkan kalau uang Rp72 milyar itu dipakai untuk memproduksi APD?

Bayangkan, gara-gara bias kenormalan, kendati kasus covid-19 pertama ditemukan pada 2 Maret 2020, tetapi penetapan pandemi covid-19 sebagai bencana nasional baru dilakukan pada 13 April 2020. Saat itu, jumlah kasusnya sudah tembus 3000 orang dan melintas di berbagai kota[3].

Bukti lain dari sikap meremehkan pandemi adalah bagaimana pemerintah mengorganisasikan diri dan birokrasinya dalam menghadapi pandemi. Mengingat pandemi adalah situasi darurat luar biasa, maka respon organisasi harusnya maksimum (perang total).

Harusnya Presiden yang langsung memimpin perang total ini, agar semua sumber daya bisa dikerahkan demi melawan pandemi. Sayang, itu tak terjadi. Presiden justru hanya membentuk kepanitian (ad-hoc)/task force, yaitu gugus tugas. Dan terbukti, gugus tugas itu kewalahan menghadapi pandemi.

Ketika pandemi makin menghebat, motto yang diperkenalkan oleh filsuf Romawi kuno, Cicero, “salus populi suprema lex esto” atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, yang kerap dikutip oleh penyelenggara negara kita, dari Presiden hingga pejabat-pejabat di bawahnya, juga tak berlaku.

Selama merespon pandemi covid-19, dari Maret 2020 hingga Agustus 2021, prinsip mengutamakan keselamatan rakyat kerap tersubordinasi oleh kepentingan menyelamatkan bisnis besar. Itu terbukti oleh keputusan pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja di masa pandemi, yang memicu orang-orang turun ke jalan untuk melakukan protes.

Itu terbukti pada kebijakan pembatasan sosial yang setengah-setengah. Itu terbaca dari sesat pikir membeda-bedakan mudik dan pulang kampung. Mudik memang dilarang, tetapi pulang ke kampung sebelum momen lebaran dibolehkan.

Puncak tertinggi dari keblinger itu adalah keputusan pemerintah menyelenggarakan Pilkada di tengah kurva pandemi yang belum melandai. Itu jelas-jelas menunjukkan: syahwat kekuasaan lebih tinggi dari keselamatan rakyat.

Respon pemerintah terhadap pandemi yang terkesan meremehkan, yang tertawan oleh kepentingan bisnis dan kebutuhan politik jangka pendek, berkontribusi menempatkan Indonesia dalam daftar negara dengan jumlah kasus terbanyak (lebih 4 juta kasus, urutan ke-13 di dunia) dan jumlah kematian terbanyak (lebih dari 132 ribu orang, urutan ke-7 di dunia).

Tentu saja, sikap pejabat yang meremehkan pandemi, yang diikuti dengan respon kebijakan yang buruk, yang menyebabkan kematian ratusan ribu warga negara, bukanlah contoh perwujudan Pancasila dalam penyelenggaraan Negara.

Kebijakan pembatasan sosial, baik PSBB maupun PPKM darurat, juga bermasalah karena tak menjamin hak-hak dasar warga negara. Mengurung warga di rumah, tanpa memastikan kebutuhan dasarnya, sama saja menggiring mereka dalam kematian lain: kelaparan. Ini jelas kebijakan yang tak berkeadilan sosial.

Harusnya, kalau merujuk UU nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, pemerintah memberlakukan karantina wilayah. Karantina membatasi aktivitas penduduk di suatu wilayah, tetapi juga sembari menjamin kebutuhan hidup dasar warga dan hewan ternak,

Politik anggaran untuk melawan pandemi juga terlalu kecil: hanya 4,2 persen dari PDB. Bandingkan dengan Jerman (33 persen), Jepang (21 persen), dan AS (12,1 persen)[4]. Itu pun, stimulus yang kecil tak semuanya jatuh untuk menolong mereka yang paling terdampak dan paling rentan.

Sekarang, mari kita lihat perangai para penyelenggara negara selama pandemi.

Di tengah situasi krisis, sikap yang mendasar perlu ditunjukkan oleh para penyelenggara negara adalah meninggikan empati.

Di banyak negara, ketika pandemi membuat banyak orang terpuruk, pemimpinnya menunjukkan empati lewat kebijakan memotong gajinya.

Baca juga: Inilah 10 Pemimpin Negara yang Potong Gaji untuk Respon Pandemi

Di Indonesia, meskipun pandemi telah membunuh ratusan ribu nyawa, membuat 75 persen rumah tangga mengalami penurunan pendapatan (riset SMERU, 2020), hingga membuat layanan kesehatan kita nyaris ambruk, tak satu pun pejabat tinggi negara yang bersedia memotong gajinya.

Pandemi tak menyalakan empati para pejabat. Yang terjadi justru sebaliknya: banyak pejabat memanfaatkan pandemi untuk kepentingannya.

Mari kita mulai dari korupsi bansos. Bayangkan, ketika rakyat menjerit lapar karena pandemi, bantuan yang harusnya bisa sedikit menolong mereka justru dikorupsi oleh pejabat bermental maling: Mensos Juliari Batubara dan rekan-rekannya.

Korupsi bansos bukan hanya menunjukkan betapa mengerikannya praktek korupsi di Indonesia, tetapi juga betapa buruknya penegakan hukum. Kejahatan Juliari hanya diganjar hukuman 12 tahun penjara. Bandingkan dengan kisah 2 orang rakyat jelata di Temanggung, Jawa Tengah, yang diancam penjara 5 tahun karena kedapatan mencuri kayu manis demi bertahan hidup.

Kemudian, lihatlah perilaku DPR yang terhormat, yang mendapat fasilitas isolasi mandiri khusus di hotel. Biayanya ditanggung oleh negara[5]. Sementara, pada saat bersamaan, banyak pasien covid tergetak di halaman rumah sakit atau tenda-tenda darurat karena tidak kebagian ruangan/tempat tidur perawatan.

Lihat juga kelakuan para pejabat tinggi negara yang merebut jatah vaksin Nakes (vaksin booster). Padahal, sesuai ketentuan, vaksin booster hanya diperuntukkan untuk Nakes yang berjuang di garis depan.[6]

Dan yang terbaru sekaligus memalukan, kelakuan Bupati Jember yang mengutip honor Rp 100 ribu untuk setiap jenazah pasien covid-19 yang dimakamkan.[7] Jahat sekali, bukan?

Ini belum menyebut satu persatu pejabat negara yang gagal memberi contoh baik saat pandemi berlangsung, seperti pejabat yang menggelar pesta/kerumunan saat kurva pandemi belum melandai.

Singkat cerita, dari berbagai kejadian di atas, bisa disimpulkan bahwa Pancasila belum hadir secara vertikal: tidak hadir dalam perilaku maupun kebijakan penyelenggara negara.

NUR ROHMAN, penulis, tinggal di Yogyakarta


[1] https://www.kompas.id/baca/opini/2021/06/03/pancasila-dalam-perbuatan/

[2] https://bunghattaaward.org/data-base-inisiatif-solidaritas-rakyat-bantu-rakyat/

[3] Merujuk pada data Wordometers, yang diakses pada 31 Agustus 2021

[4] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/12/30/jerman-paling-besar-gelontorkan-stimulus-ekonomi-covid-19

[5] https://megapolitan.kompas.com/read/2021/07/29/12551741/tarif-hotel-tempat-isoman-anggota-dpr-bisa-capai-rp-39-juta-ini?page=all

[6] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210826200542-20-685994/perkara-moral-booster-vaksin-pejabat-yang-melangkahi-nakes

[7] https://www.kompas.com/tren/read/2021/08/27/050600965/ketika-pejabat-dapat-honor-rp-70-juta-dari-kematian-pasien-covid-19

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid
Tags: