Paman Dhoplang dan Hiruk-Pikuk Politik

Panta rhei kai uden menei

—Herakleitos

Dalam diamnya, diam-diam Paman Dhoplang gambuh atau paham akan suasana yang mengitarinya—meskipun ia sama sekali tak dapat menjelaskan secara terperinci berkaitan dengan apa hal itu (Paman Dhoplang, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Sebab, begitu fajar menyingsing, ia segera berangkat ke sawah. Ketika sehabis musim tanam, biasanya ia hanya endang-endang atau sekedar menjenguk untuk melihat perkembangan tanamannya. Se-pupuh tembang Dhandhanggula karya Susuhunan Kalijaga ia nyanyikan sebagai mantra penolak hama.

Sakabehing lara pan samya bali

Kehingama pan sami miruda

Welas asih pandulune

Sakehing braja luput

Kadi kapuk tibaning wesi

Sakehing wisa tawa

Sato galak lulut

Kayu aeng lemah sangar

Songing landhak guwaning mon lemah miring

Myang pakiponing merak

Sebelum waktu sarapan tiba pukul 08.00 pagi, biasanya lelaki paruh baya yang kerap memakai celana komprang hitam selutut itu singgah di sebuah ngebuh (terowongan kali untuk irigasi lahan pertanian), bercengkerama dengan kawan-kawannya sesama petani. Tak muluk yang mereka perbincangkan, hanya masalah seputar pertanian dan sesekali tentang situasi politik terkini yang jelas kalah penting dari bagaimana mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.

Bagi orang seperti Paman Dhoplang, karena faktor keterbatasan, hidup terkesan sederhana sekali, tanpa perencanaan terperinci, sekedar dijalani. Waktunya sarapan tiba, ia pulang dan lekas makan. Persis sebagaimana dahulu ketika sampai waktunya ia kawin, ia pun kawin, tanpa dapat memilah dan memilih siapa isterinya, tanpa berawal dari “cinta” laiknya para remaja bau kencur di era kini. “Witing tresna jalaran saka kulina,” kata bapak dan simbahnya dulu menasehati. Tak ada uang untuk sekedar merayakan dan berbagi kebahagiaan, orangtuanya mencarikannya seblakan, pinjaman dan akan dikembalikan ketika panen tiba. Begitu perkawinannya membuahkan hasil, tanpa runyam oleh pikiran yang muluk-muluk, ia mempersiapkannya dengan semampunya, sekedar melek atau berjaga malam, dan ketika waktunya tiba untuk sang isteri melahirkan, ia pun menjual hasil panenannya—atau ketika tak ada tanduan buat kebutuhan yang mendesak, ia pun mencari seblakan. Demikian seterusnya sampai ia mewariskan sebidang tanah untuk papan para anaknya kelak.

Seandainya saya hidup seruang dengan Paman Dhoplang, barangkali ia tak akan dapat menjawab secara pasti ketika saya mengajaknya untuk sedikit flashback dan bertanya bagaimana bisa sampeyan yang hanya sekedar bekerja di sawah, dimana hanya ketika 3 atau 4 bulan sekali baru mendapatkan penghasilan yang sedikit berlebih—itu pun ketika musim sungguh mendukung—dapat beranak-pinak dan, untuk ukuran di desa, memiliki kehidupan yang layak?

Setali tiga uang dengan hiruk-pikuk politik yang bagi orang-orang seperti Paman Dhoplang, yang banyak diam ketika para pembesar entah sekedar membual, berkeluhkesah atau sedang memotivasi diri sendiri dengan menjadikannya sekeping cermin (untuk tak menyebutnya “obat nyamuk”), jauh kalah penting dari upayanya mencukupi kebutuhan sehari-hari. Peristiwa semacam itu hanya sekedar pula untuk dijalani, tanpa sama sekali berharga untuk dipikirkan. Sebab, sebagaimana kehidupan yang selama ini telah ia jalani, entah siapa pun yang terpilih nantinya, begitu fajar menyingsing ia tetap beranjak ke sawah, singgah di ngebuh untuk bercengkerama, pulang begitu waktu sarapan tiba, dan demikian seterusnya. Dengan kata lain, bagi seorang Paman Dhoplang, hidup sungguh tak ubahnya seperti kantong bolong, apapun yang mengalir masuk tak ada yang singgah atau bahkan menetap—apalagi pantas diributkan mati-matian.       

Heru Harjo Hutomo, Penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik

Kredit foto: Sebastian Staines/Unsplash

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid