Ibrahim Yacoob, Orang Bugis dalam Perjuangan Kemerdekaan Malaysia

Ada banyak pejuang kemerdekaan yang tidak berleluhur di tanah yang diperjuangkannya. Ibrahim Yacoob, pejuang kemerdekaan Malaysia, adalah salah satu diantaranya.

Dia keturunan Bugis, tepatnya Bugis-Wajo, di Sulawesi Selatan, yang leluhurnya merantau ke Malaya sejak abad ke-19.

Ibrahim lahir di Pahang, Malaysia, tanggal 27 November 1911. Setelah tamat dari Sekolah Rakyat, dia melanjutkan pendidikan di sekolah guru Sultan Idris Training College (SITC). Kebetulan, SITC ini pusatnya pergerakan paling awal di Malaya.

Mirip dengan peran STOVIA di Indonesia, SITC ini yang melahirkan tokoh-tokoh pergerakan nasionalis Malaya yang paling awal. Koran-koran dari Indonesia, seperti  Seruan Rakyat, Pedoman Masyarakat, Pandji Islam, Bintang Islam dan Bintang Hindia, beredar luas di sekolah ini.

Dari situlah Ibrahim terpapar ide-ide pergerakan nasional. Ditambah lagi, pada tahun-tahun itu juga, pelarian politik dari Indonesia banyak yang bersembunyi di Malaya, seperti Jama­luddin Tamin, Tan Malaka, Alimin, dan lain-lain.

Di SITC, Ibrahim turut andil dalam berdirinya sejumlah organisasi pemuda, seperti Ikatan Pemuda Pelajar, Ikatan Semenanjung-Borneo, dan Belia Malaya.

Tahun 1927, ketika Sukarno mendirikan Perhimpunan Nasionalis Indonesia (PNI) di Bandung, kabarnya sampai ke murid-murid SITC, termasuk Ibrahim. Koran PNI, Fikiran Ra’jat, juga berhasil diselundupkan masuk ke sekolah ini. Dari Fikiran Ra’jat, Ibrahim belajar banyak isu-isu politik, ekonomi, dan sosial.

Tahun itu juga Ibrahim dan beberapa siswa SITC menjadi anggota PNI. Ketika di tahun 1929 Sukarno ditangkap oleh Belanda, Ibrahim dan kawan-kawan sebagai anggota PNI di luar negeri mengirim surat solidaritas.

Yang menarik, selain ikut PNI-nya Sukarno, Ibrahim juga sempat menjadi anggota Partai Republik Indonesia (PARI), partai yang didirikan oleh Tan Malaka dan Jamaluddin Tamin saat berada di pelarian.

KMM dan Cita-Cita “Indonesia Raya”

Sebetulnya, pergerakan bangsa Malaya terbelah dalam dua kecenderungan, yaitu nasionalis-feodal dan nasionalis-progressif.

Nasionalis feodal, yang digerakkan oleh raja-raja dan bangsawan, punya kecenderungan reaksioner dan rasis: mereka memperjuangkan Malaya untuk Melayu (Malaya for Malays). Padahal, pada kenyatannya, Malaya dihuni oleh banyak sekali etnis dan ras, yakni Melayu (48 persen), China (40 persen), India (10 persen), dan lain-lain (2 persen).

Sebaliknya, kaum nasionalis progressif–dalam hal ini Ibrahim Yaacob dkk–menghendaki “hak hidup bagi seluruh Rakjat jang tertindas supaja mendapat Kemerdekaan” (Ibrahim Yaacob, 1957).

Pada tahun 1937, Ibrahim dan kawan-kawan mendirikan organisasi bernama Kesatuan Melayu Muda (KMM). Organisasi ini berhaluan nasionalis progressif, anti-kolonial, dan anti-feodal.

Berdirinya KMM menandai momen penting sejarah politik Malaya, karena ini pertama kalinya kaum melayu yang anti-feodal, anti-Inggris, dan pro-Indonesia mengorganisir diri dalam sebuah organisasi politik (Byungkuk Soh, 2005).

Yang menarik, seperti dikatakan Ibrahim sendiri, KMM mengambil inspirasi dari organisasi kepemudaan di Indonesia, yakni Jong Java dan Jong Sumatera.

Selain itu, KMM menyatakan dirinya sebagai organisasi nasionalis yang menentang penjajahan Inggris. Dalam strategi perjuangannya, KMM mengadopsi strategi PNI, yakni non-koperasi terhadap pihak penjajah. Kemudian tujuan politiknya adalah memperjuangkan Malaya merdeka di atas kesadaran nasional yang luas dengan tujuan: mempersatukan Malaya kepada satu ikatan Indonesia-Raya, agar seluruh suku bangsa orang Melayu (Malay-races) mendjadi satu bangsa jang besar di Asia Tenggara (Ibrahim Yaacob, 1957).

Bagi Ibrahim, bangsa-bangsa yang meliputi Semenanjung Melayu (Malaya), Sumatra, Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan Filipina sebetulnya satu kesatuan. Kolonialis dari Eropa-lah yang memecah wilayah dan bangsa-bangsa itu sehingga terbagi-bagi.

Sekilas kalau kita lihat, cita-cita Indonesia-Raya ada kemiripan dengan cita-cita negara ASLIA-nya Tan Malaka. Bedanya, ASLIA meliputi juga Birma, Thailand, Vietnam dan sebagian wilayah Australia.

Di tahun 1941, karena aktivitas dan politik anti-kolonialnya, sejumlah pimpinan KMM ditangkap Inggris, termasuk Ibrahim Yaacob, Ishak Hj. Moham­mad, Mohd. Isa Mahmud, A. Karim Rasjid, Hassan Manan, Idris Hakim, Ahmad.Boestamam, dan lain-lain. Namun, begitu Jepang masuk, mereka dibebaskan.

Tahun 1942, KMM dilarang Jepang. Menghadapi pelarangan itu, KMM menjalankan dua strategi sekaligus: legal dan ilegal. Secara legal, pimpinan KMM bekerjasama dengan Jepang, tetapi sembari menjaga cita-cita kemerdekaan. Secara ilegal, mereka terlibat dalam gerakan anti-fasis bersama Partai Komunis Malaya (PKM) dalam Malayan Peoples Anti-Japanese Army (MPAJA).

Dalam kerja legalnya, Ibrahim menempuh cara-cara yang mirip dilakukan Sukarno, seperti membentuk milisi bersenjata menyerupai PETA. Di sini, Ibrahim menjadi Panglima PETA Malaya, dengan pangkat Letnan Kolonel. Ibrahim berharap, PETA bisa menjadi alat untuk melatih pemuda Malaya, agar bersiap membela tanah-airnya.

Bertemu Sukarno-Hatta

Di bulan Mei 1945, seiring dengan kemunduran militernya di segala front, Jepang mulai menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Kabar itu sampai juga ke telinga Ibrahim, yang segera membentuk organisasi Kesatuan Rakjat Indonesia Semenandjung (KRIS) dan menggencarkan propaganda “Indonesia Raya”.

KRIS ini yang dipersiapkan untuk menyiapkan Kemerdekaan Malaya dalam gabungan ‘Indonesia Raya”. Artinya, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia mengcakup juga Malaya. Cabang-cabang KMM, yang bergerak bawah tanah karena larangan Jepang, segera diubah menjadi KRIS.

Seiring dengan isu kemerdekaan Indonesia yang makin menguat, pada 8 Agustus 1945, KRIS sudah mengibarkan bendera merah-putih di Singapura. Sekaligus ikrar keinginan rakyat Malaya bergabung dalam “Indonesia Raya”.

Pada 9 Agustus 1945, tiga perwakilan pemerintah Indonesia, yakni Sukarno, Hatta dan Rajiman, berangkat ke Dalat, kira-kira 300 kilometer dari Saigon, tempat Panglima Angkatan Perang Jepang di seluruh Asia Tenggara Jenderal Terauchi berkantor. Mereka tiba di Saigon tanggal 12 Agustus 1945. Jenderal Terauchi menyatakan pemerintah Jepang di Tokyo mengizinkan kemerdekaan Indonesia.

Esoknya, ketika kembali ke Indonesia, mereka sempat singgah di Taiping, Perak, Malaya. Di sana Sukarno, Hatta dan Rajiman bertemu perwakilan KRIS, termasuk Ibrahim. Saat itu Ibrahim menyampaikan keinginan rakyat Malaya untuk bergabung dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Merespon keinginan Ibrahim, Sukarno bilang, “Mari kita ciptakan satu tanah air bagi seluruh tumpah darah Indonesia.” Kemudian ditegaskan oleh Ibrahim: “Kami orang Melayu akan setia menciptakan ibu negeri dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang- orang Melayu bertekad untuk menjadi orang Indonesia.”

Dan sesuai janji Jepang, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia direncanakan akhir Agustus 1945. Menyambut rencana Proklamasi itu, KRIS menyelenggarakan Kongres pada 16-17 Agustus 1945 di Kuala Lumpur.

Sayang, situasi berubah cepat. Jepang resmi menyerah tanggal 14 Agustus 1945. Sementara di Indonesia, karena desakan pemuda-pemuda revolusioner, Proklamasi Kemerdekaan berjalan lebih cepat, yakni 17 Agustus 1945. Dan wilayah diproklamirkan hanyalah bekas wilayah Hindia-Belanda.

Meski begitu, Ibrahim dan kawan-kawan tidak menyerah. Pada 19 Agustus 1945, Ibrahim dan beberapa pengurus KRIS terbang ke Jakarta untuk menemui Sukarno.

Tetapi keadaan sudah berubah cepat. Indonesia terlanjur sudah memproklamirkan kemerdekaannya tanpa Malaya. Sementara di Malaya sendiri, setelah kepergian Ibrahim, pimpinan KMM banyak tunduk pada MPAJA. Di sisi lain, MPAJA ini sangat percaya dengan janji Inggris yang segera akan memerdekakan Malaya.

Pada bulan September 1945, Inggris membentuk British Military Administration (BMA), yang menandai kembalinya kolonialisme Inggris di tanah Malaya. Kemudian, pada April 1946, Inggris membentuk pemerintahan boneka yang disebut Malayan Union. Lalu, pada tahun 1948, Malayan Union diubah menjadi Federasi Malaya.

Setelah ditinggal Ibrahim, aktivis KMM membentuk partai politik baru bernama Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM), yang tetap berhaluan nasionalis-progressif. PKMM juga tetap melanjutkan cita-cita menyatukan rakyat Malaya dalam Indonesia Raya.

PKMM membentuk organisasi massa, seperti Angkatan Pemuda Insaf (API), Angkatan Wanita Sedar (AWAS), GERAM, dan Barisan Tani Se-Malaya (BATAS). Kemudian, PKMM dan organisasi massanya membentuk sebuah payung bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA)—persis dengan nama organisasi yang dibentuk oleh Sukarno di jaman Jepang.

PUTERA aktif melawan Inggris. Bersama kekuatan politik yang lain, seperti AMCJA (All Malayan Council for Joint Action), PUTERA menentang pembentukan Federasi Malaya. Mereka menggelar pemogokan umum pada 20 Oktober 1947, tetapi gagal menghentikan pembentukan Federasi Malaya.

Federasi Malaya tetap disahkan akhir Januari 1948. Setelah itu, semua organisasi massa, termasuk PKMM dan ormasnya, dibubarkan dan dilarang. Tokoh-tokohnya ditangkap.

Sejak itu bekas aktivis PKMM bekerjasama dengan Partai Komunis Malaya (PKM) dalam perjuangan bersenjata melawan Inggris. Sejak itu pula gagasan “Indonesia Raya” meredup dan pelang-pelang hilang.

Berjuang di Indonesia

Setelah tiba di Jakarta pada 19 Agustus 1945, Ibrahim tidak kembali lagi ke Malaysia. Akhir Oktober 1945, dia bergabung dengan Markas Besar Tentara (MBT) Tentara Keamanan Rakyat di Yogyakarta.

Di Yogyakarta, dia berganti nama menjadi Iskandar Kamel Agastja. Beberapa kali menulis risalah terkait perjuangan rakyat Malaya dengan nama baru itu.

Sempat diberi tugas untuk membentuk Badan Intelijen seksi luar negeri, yang bertugas mengirimkan intelijen untuk membantu perjuangan PKMM di Malaya dan memasok senjata dari Singapura, Malaya, Rangoon, dan Manila.

Dia juga sempat ikut Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) di bawah pimpinan Dr Muwardi. Juga ikut gerilya TNI di daerah Solo dan Merapi. Hingga Agustus 1949, dia kembali ke Yogyakarta.

Setelah penyerahan kedaulatan tahun 1949, Ibrahim mengundurkan diri dari TNI. Kemudian bekerja sebentar di Kementerian Luar Negeri.

Tetapi cita-cita Ibrahim memerdekakan Malaya tidak pernah pupus. Pada 1950, dia mendirikan Kesatuan Malaya Merdeka (KEMAM) yang bergerak di bawah tanah untuk menyokong perlawanan anti-Inggris di Malaya.

Di waktu yang sama, dia juga berkiprah di PNI Jakarta Raya. Kemudian sempat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili Riau.

Pada tahun 1955, atas inisiatif Sukarno, Ibrahim dipertemukan dengan Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman yang sedang berkunjung ke Indonesia. Pertemua dua tokoh Malaya ini tidak menghasilkan kesepakatan. Tunku Abdul Rahman tetap ingin Malaya merdeka di bawah naungan Persemakmuran Inggris, sedangkan Ibrahim menghendaki Malaya merdeka di bawah naungan Indonesia Raya.

Ibrahim sangat anti-komunis. Karena itu, kendati loyal pada Sukarno, dia menentang ide Nasakom.

Kemudian, pada saat peristiwa G30S 1965 meletus, dia memihak Suharto untuk membasmi komunis. Sejak itu dia berpisah jalan dengan Sukarno. Tahun 1967, dia menjadi pengurus pusat partai Murba yang anti-Sukarno dan anti-PKI.

Di tahun 1970-an, Ibrahim menjadi menjadi anggota Majelis Pertimbangan Partai di Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang merupakan hasil fusi dipaksakan antara partai-partai nasionalis dan non-Islam.

Ibrahim meninggal pada 8 Maret 1978. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Jakarta.

Rudi Hartono

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid