Parpol dan Garis Politik

Rapat paripurna DPR, Selasa (22/2/2011) telah memutuskan untuk memblokir usulan hak angket pajak. Salah satu penyebab kegagalan hak angket pajak ini, meskipun bukan yang paling utama, adalah berbelotnya salah satu partai oposisi, yaitu Gerindra, yang memilih sehaluan dengan partai pendukung pemerintah dalam persoalan pajak ini.

Kritik pun bersahut-sahutan menyasar Gerindra. Bagi sebagian pengeritik, sikap partai Gerindra yang tidak mendukung usulan hak angket sama saja dengan berbaris bersama dengan partai pemerintah, bahkan sebuah penghianatan terhadap garis politiknya sebagai oposisi.

Perlu kita ketahui, bahwa sejak orde baru berkuasa hingga sekarang ini, politik aliran sudah lama dimatikan seiring dengan proses de-politisasi dan de-idelogisasi. Sudah lama sejak Soeharto ideologi parpol dibuat tunggal. Jika dijaman Soeharto seluruh parpol disuruh mengabdi kepada penguasa, maka di jaman demokrasi liberal ini semua partai disuruh mengabdi kepada pragmatisme (baca di sini).

Sudah lama pula pemilahan berdasarkan spektrum politik seperti nasionalis, agamais, dan sosialis dihilangkan dalam ruang politik di Indonesia. Meskipun masih ada yang mengibarkan bendera nasionalisme dan agamais, tetapi kenyataan politik di lapangan belum tentu demikian. Karenanya, kita tidak bisa memetakan sikap partai politik di Indonesia berdasarkan garis lurus, tetapi ada baiknya menilai dari langkah dan tindakan-tindakan politiknya.

Akan tetapi, ketika menjelang pemilu 2009, yakni saat pertentangan antara proyek kepentingan nasional berhadap-hadapan secara langsung dengan proyek imperialisme, maka sebagian partai pun mengibarkan kembali bendera nasionalisme dan bahkan anti-imperialisme. Partai pendukung Megawati-Prabowo-lah yang paling terang mengibarkan nasionalisme dan anti-imperialisme. Sayang sekali, PDIP dan Gerindra gagal melanjutkan proyek anti-imperialisme ini pasca pemilu.

Dalam kasus paripurna soal hak angket pajak itu, ini bukan pertama kalinya partai oposisi lompat pagar masuk halaman kubu pemerintah; ataupun bukan pertama kalinya partai pendukung pemerintah meloncat masuk kubu oposisi. Sebelumnya, PDIP pun sempat ramai dikabarkan sudah dirangkul oleh partai demokrat untuk masuk kekuasaan, meskipun berkali-kali ditampik oleh ketua umumnya, Megawati SP. Sementara PKS yang terang-terangan mendukung pemerintah dan punya menteri di dalam kabinet, dalam lapangan praktek tidak jarang mengambil posisi berhadapan dengan pemerintah: di parlemen dan ekstra-parlemen (KAMMI).

Pertama, perlu untuk terus mengingatkan kepada partai-partai oposisi di parlemen, terutama karena mereka menggunaan sentimen kemandirian nasional, agar tidak mengambil tindakan politik pragmatis: mencari jalan aman untuk mencari kekuasaan di pemilu 2014.

Kedua, perlu untuk terus-menerus menelanjangi tindakan dan langkah politik neoliberal partai politik di parlemen di satu sisi, sedangkan di sisi lain kita juga harus menyerukan persatuan nasional dengan kekuatan politik (partai dan individu) di parlemen yang bersepakat untuk menghajar imperialisme.

Ketiga, ada tidaknya partai-partai yang berposisi pro-imperialis dan anti-imperialis juga dipengaruhi oleh seberapa kuat kampanye anti-imperialisme bertiup. Semakin kuat tiupan propanda anti-imperialisme, maka semakin terang pula partai-partai itu akan mengambil sikap. Dengan demikian, mengorganisir persatuan anti-imperialisme tidak bisa mendikotomikan parlemen dan ekstra-parlemen, tua dan muda, nasional atau daerah, dan lain-lain.

Rumus kita adalah: mempersatukan semua kekuatan yang bisa dipersatukan, untuk melawan imperialisme, dalam hal ini pemerintahan yang merepresentasikan kepentingan imperialisme di Indonesia: pemerintahan SBY-Budiono.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid