Ekonomi Hijau Versus Pasal 33 UUD 1945

Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB Rio+20 sudah usai. Banyak pesimisme yang muncul menanggapi hasil pertemuan itu. Salah satunya adalah konsep ekonomi hijau (green economy). Banyak yang mengaku bingung dengan konsep baru ini.

Bagi penggagasnya, konsep ekonomi hijau ini diciptkan untuk memberantas kemiskinan, mempersempit jurang perbedaan, dan membuat masyarakat lokal lebih sejahtera. Selain itu, ekonomi hijau mempromosikan pembangunan berkelanjutan, yang tentu saja tidak terpisah dengan faktor sosial dan lingkungan. Pendek kata, mereka menjanjikan kapitalisme yang ramah lingkungan.

Bisakah kapitalisme ramah lingkungan? Dalam kapitalisme, tujuan produksi adalah untuk mendapatkan keuntungan. Dan, bagi kapital, manusia dan alam hanyalah alat untuk mencapai tujuan tersebut. Manusia membutuhkan lingkungan yang sehat. Dan, karena itu, ia butuh kondisi alam yang terpelihara. Sedangkan bagi kapitalisme, alam—seperti juga manusia—hanya alat untuk menggali untung.

Di sinilah berpangkal pesisisme akan kapitalisme yang ramah lingkungan itu. Menuru Pablo Solon, duta besar Bolivia di PBB, dengan konsep ‘ekonomi hijau’, kapitalisme hendak menyertakan alam sepenuh-penuhnya sebagai bagian dari kapital. Katanya, kapitalisme tidak hanya memprivatisasi barang-barang yang didapat dari alam (semisal kayu yang didapat dari hutan), tetapi malahan ingin memprivatisasi fungsi dan proses alam itu sendiri. Inilah esensi dari ekonomi hijau.

Kapitalisme sedang berfikir untuk mencari ruang akumulasi baru: mereka ingin mengubah fungsi dan proses alam sebagai komoditi. Juga, memprivatisasi keanekaragaman hayati, air, tanah, pertanian, laut, perikanan dan sebagainya. Dalam program REDD, misalnya, mereka ingin memanfaatkan fungsi hutan, yakni menyerap dan menyimpan karbondioksida, sebagai sesuatu yang bisa diperdagangkan.

Ekonomi hijau menjanjinkan modernisasi hijau kapitalisme, namun tanpa logika dasar kapitalisme: akumulasi kapital dan persaingan. Ada logika menyesatkan di dalamnya: ekonomi hijau menganggap pertumbuhan ekonomi tidak berkontradiksi dengan upaya melindungi lingkungan. Pertanyaannya: bisakah nafsu serakah untuk terus-menerus menggali keuntungan bergandengan tangan dengan penghormatan terhadap alam dan kehidupan seluruh makhluk hidup?

Indonesia sendiri sudah bersiap menjalankan konsep ekonomi hijau ini. Konon, konsep ekonomi hijau ini sudah diadopsi dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia). Sebelumnya, Indonesia sudah menjadi bagian dari pelaksanaan REDD (Reducing Emissions through Deforestation and Forest Degradation/Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan).

Presiden SBY sendiri sudah berulang kali berbicara tentang “pertumbuhan dengan keadilan”. Namun, apa yang terjadi, proses pembangunan ekonomi kita menciptakan ketidakadilan yang luar biasa: kemiskinan, pengangguran, perampasan tanah rakyat, dan lain-lain. Bisakah privatisasi, liberalisasi investasi, liberalisasi perdagangan, dan penghapusan subsidi menciptakan kemakmuran?

Kita lihat, di bawah payung “liberalisasi investasi”, tidak sedikit hutan, tanah kaya tambang, kawasan laut, perairan, sumber air minum, dan lain-lain yang jatuh ke tangan swasta. Ini juga membawa dampak-dampak langsung: perampasan tanah rakyat, pengusiran massa rakyat dari lahan dan mata-pencaharian, kekerasan, dan lain sebagainya. Rakyat juga dipaksa membayar mahal pemenuhan kebutuhan dasarnya, seperti listrik dan air minum, karena sumber daya tersebut sudah dikuasai swasta.

Tradisi sejarah masyarakat Indonesia sebetulnya kaya dengan penghargaan terhadap alam. Mereka tahu batas-batas apa yang harus diambil dari alam untuk diolah bagi pemenuhan hidupnya. Akan tetapi, di situ juga terlahir tanggung jawab untuk mempertahankan kelestarian alam tersebut. Makanya, jangan salah, masyarakat adat kita sangat tahu cara menghormati dan memperlakukan alam.

Juga, jika kita menengok sejarah pendirian Republik ini, sudah ada politik perekonomian yang sangat demokratis dan pro-lingkungan. Itulah pasal 33 UUD 1945. Prinsip dasar dari pasal 33 UUD 1945 adalah demokrasi ekonomi. Ditegaskan, perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Jelas sekali, logika kapital—menggali keuntungan sebesar-besarnya—tidak diperkenankan di sini.

Dengan demokrasi ekonomi, tuntunan untuk mengelola kekayaan alam adalah kemakmuran bersama. Di situ berlaku azas kolektivisme dan solidaritas dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut. Di situ, pada akhirnya, juga muncul tanggung-jawab untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam tersebut.

Kita tak butuh kerakusan berjubah “ekonomi hijau”. Yang dibutuhkan, seperti yang dicita-citakan pendiri bangsa, sebuah sistem ekonomi yang menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran bagi seluruh rakyat. Sebuah sistem ekonomi, yang karena itu, berbasiskan kolektifisme dan solidaritas. Mari tegakkan kembali pasal 33 UUD 1945!

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid