Memahami Keterbelahan

Beberapa bulan ini kegaduhan telah melanda dalam setiap perbincangan masyarakat warga. Ini bermula sejak penetapan Capres tertentu oleh salah satu partai politik. Saat itulah muncul wacana ‘politik identitas’ dan ‘identitas politik’.

Kemudian, pendeklarasian Capres lainnya lagi juga mengarah pada pembelahan masyarakat warga berdasarkan pro dan kontra terhadap wacana ‘petugas partai’ dan ‘petugas rakyat’. Terakhir, penetapan salah satu Cawapres yang muda usia makin menjurus pada pemisahan di masyarakat warga. Kita tidak bisa lagi menolak bahwa segregasi makin nyata terbentuk.

Masyarakat warga yang terbelah ini didasarkan pada persepsi yang muaranya adalah mendukung-menolak yang mencerminkan beda pilihan. Dari sini berkembang berbagai isu dan propaganda tajam, dari politik identitas ke politik dinasti, dari kekerabatan ke pengkhianatan, dari nepotisme ke intervensi UU. Kita pun memperdebatkan ini dan berputar tanpa henti.
Benarkah ini gambaran masyarakat warga yang terberai, atau ini hanya cermin sebagian kecil masyarakat – disebut elit dan pendukungnya – yang terbelah?

Keadilan

Keadilan itu penting. Masyarakat cenderung menyetujui hal ini. Tantangannya adalah, apa sebenarnya yang dimaksud dengan keadilan?

Di satu sisi, keadilan seringkali menyiratkan kesetaraan. Di sisi lain, keadilan berarti proporsionalitas, di mana seseorang harus diberi penghargaaan sesuai dengan kontribusinya, meskipun hal tersebut menjamin hasil yang tidak setara. Dua sisi inilah yang menyentuh banyak diskusi dalam masyarakat dan politik.

Hal penting pertama untuk dipahami adalah keadilan diukur dengan mempertanyakan seberapa relevan jika seseorang diperlakukan berbeda, atau apakah hak-hak tertentu seseorang tidak diberikan. Pertanyaan lainnya, apakah masyarakat setuju bahwa pembuatan undang-undang harus mengutamakan keadilan, apakah keadilan merupakan persyaratan paling penting bagi masyarakat secara umum, dan apakah salah jika anak-anak orang kaya yang bermartabat mewarisi harta dan reputasi, sedangkan anak-anak orang miskin tidak bisa.

Kita sangat peduli dengan keadilan. Tetapi yang dimaksud adil itu sangat terbuka untuk ditafsirkan. Dunia ini adalah pasar transaksional. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan kolaborasi demi kebaikan yang lebih besar agar bisa bertahan hidup. Kita semua sepakat ingin hidup di dunia tanpa bahaya dan kecurangan.

Kesetiaan

Kesetiaan pada awalnya dipupuk oleh nilai-nilai kekeluargaan sampai, yang terakhir, dipupuk oleh komitmen terhadap bangsa dan negara. Kemudian, perlu dipertanyakan apakah ada yang setuju bahwa seseorang perlu menunjukkan rasa cinta tanah air. Apakah kita setuju rasa kebanggaan dengan sejarah bangsa, dan apakah mereka harus setia kepada anggota keluarga (meskipun misalnya keluarganya penjarah dan penjahat). Selanjutnya, apakah menjadi pemain tim lebih penting daripada hanya mengunggulkan diri sendiri. Inilah yang disebut dimensi budaya kolektivisme.

Menjadi patriot bukanlah berarti pengkhianatan terhadap keluarga, kebalikan dari kesetiaan. Kebalikan dari kepedulian adalah kecurangan. Dengan premis ini, seseorang mendapat nilai tinggi berarti bermoral. Kedua hal ini jelas bergerak dari baik (kepedulian, keadilan) menjadi buruk (membahayakan, berbuat curang). Landasan kesetiaan, atau loyalitas, bukan lagi keseimbangan antara baik dan buruk, melainkan spektrum antara preferensi pribadi. Pandangan moral pribadi bukan sesuatu yang universal.

Pedoman Moral

Masyarakat kita bercirikan Bhinneka Tunggal Ika. Namun tidak perlu berpura-pura bahwa di tahun pergantian kepemimpinan nasional ini ada lapisan masyarakat tertentu yang terbelah membentuk perkubuan. Kita perlu berkomunikasi panjang lebar. Kita perlu terhubung kembali. Kita dapat meningkatkan rasa welas asih dengan mendefinisikan ranah moral.

Beberapa hal kiranya dapat digunakan untuk menciptakan pedoman moral yang luas dan bisa diterima semua pihak, antara lain: berkata jujur (kejujuran), bertanggungjawab atas tindakan dan konsekuensinya (tanggungjawab), menghormati kebebasan individu dalam menentukan pilihan (otonomi), menghormati perbedaan keyakinan, pendapat, dan gaya hidup (toleransi), melepaskan kebencian dan memberi maaf (pemaafan), bersikap rendah hati dan tidak menunjukkan kesombongan yang berlebihan (kerendahan hati), dan menunjukkan ketahanan dalam situasi krisis (kesabaran).

Semua hal di atas tidak tercakup dalam teori moral namun bisa menjadi penting bagi perilaku moral. Ini akan memungkinkan kita untuk menyadari preferensi masing-masing. Memang tidak sempurna tetapi memberi kita alat untuk memahami orang lain dan menghargai apa yang mereka yakini. Ini akan membantu kita mengurangi ketajaman polarisasi yang saling merugikan.

Merajut Kembali

Kita tidak perlu menolak adanya perbedaan pendapat dan kepentingan yang diberitakan massif di media. Namun kita tidak memahami bahwa jauh di pinggiran dan di pelosok pedalaman, kehidupan jelata tetap berjalan normal dengan segala dinamika rutinitasnya. Artinya adalah kita hanya memahami dunia melalui lensa pertemuan pengalaman kita. Kita tidak terbuka untuk pandangan dan pengalaman yang tidak sesuai dengan bingkai dan pengalaman kita. Padahal mereka yang tinggal di pinggiran dan pelosok itu adalah bagian mayoritas warga yang tetap tegak berdiri dan memberi hormat pada nasionalisme. Mereka tidak nèko-nèko.

Kita adalah spesies yang cerdas. Gunakanlah kecerdasan itu dengan menjadi makhluk pembelajar lagi. Saatnya untuk berhenti berfokus pada “kemenangan” dan berorientasi pada melakukan apa yang benar, bekerja sama untuk kebaikan umat. Jangan berhenti peduli tentang melakukan hal yang benar untuk masyarakat. Semuanya dimulai dengan belajar lebih banyak dan mencoba memahami.

Ir. Robertus J. Endradjaja, MBA. – Pengamat Pinggiran

Kredit foto: koleksi pribadi

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid