Liberalisasi – Mandegnya Arsitektur Tradisional

arsitektur merupakan cerminan atas budaya masyarakatnya, tentu saja ia tidak dapat menghindarkan dirinya terhadap perubahan-perubahan dan pergeseran nilai, masyarakat dunia terus akan melepaskan diri dari tradisi-tradisi, menuju pada sebuah tatanan yang lebih modern hingga saat itulah arsitektur tradisional akan “mandeg” dan digantikan oleh arsitektur kedaerahan yang modern.

Prolog

Prof. Arya Ronald, 1997 dalam bukunya: ciri-ciri karya budaya di balik tabir keagungan Rumah Jawa menulis bahwa Arsitektur memberikan penilaian tinggi terhadap artefak.  Artefak adalah sosok fisik bangunan tempat tinggal yang dimaksudkan oleh sekelompok komunitas masyarakat manusia berbudaya. Mereka perlu beranggapan bahwa bangunan itu bukanlah sosok benda mati semata. Berarti bangunan itu adalah sebagian dari hidup manusia itu sendiri bersama lingkungannya yang menaungi baik mikrokosmos maupun makrokosmos. Hidup manusia berbudaya antara lain memiliki sistem komunikasi yang secara bersama-sama diakui sebagai alat untuk melakukan hubungan moral dengan sesamanya secara sadar, berkembang selaras sepanjang masa hingga membentuk sistem yang ditradisikan. Sistem yang ditradisikan itu mengungkapkan bahwa artefak timbul sebagai salah satu alternatif dari urutan perkembangan rasa, karsa dan cipta, yang pada dasarnya telah ada secara naluriah dalam diri pribadi setiap orang yang terlahir dalam keadaan normal.

Bagaimanapun juga pergeseran budaya tidak dapat dihindarkan karena budaya itu sendiri merupakan pranata – pranata yang bersifat dinamis pada keselamatan dan kesejahteraan umat manusia – Rapoport, 1976.

Peran Arsitektur Tradisional

Dalam term arsitektur, baik itu arsitektur tradisional maupun arsitektur modern tentu sama – sama mengemban tugas pokok   yakni sebagai physical control, function frame, social milieu dan symbol milieu. Tentu saja, penyelesaian persoalan building task tersebut akan mendasarkan pada sebuah konsep budaya, semangat, kepribadian serta keragaman akan cara pandang terhadap lingkungan hidupnya dalam kelompok komunitas masyarakat tertentu. Bila konsep budaya, semangat, kepribadian dan cara pandang menjadi dasar pijakan utama dalam menyelesaikannya tersebut berakar pada sebuah tradisi pada sebuah komunitas kelompok masyarakat, suku bangsa atau bangsa tertentu, maka karya arsitektur yang dihasilkan tersebut dapat dikategorikan sebagai arsitektur tradisional.  Dengan kata lain, bahwa yang tergolong sebagai arsitektur tradisional itu merupakan karya arsitektur yang berakar pada tradisi – budaya suatu komunitas kelompok masyarakat, pada suku bangsa atau bangsa [ antropologi dan etnologi].

Ir. Budi Prihandoko. MTP, dalam sebuah makalah pada seminar di Pendopo Agung Mangkubumen tahun 1997 yang berjudul: Arsitektur Tradisional dan Globalisasi memberikan esai dan ulasan tentang pengertian tradisional yang lebih merujuk pada konteks tradisional dalam arsitektur itu mencakup:  Aspek bentuk, Struktur, Fungsi dan Cara Pembangunannya.

Tentu saja beberapa aspek – aspek tersebut satu sama lain akan saling berkaitan satu dengan lainnya. Dalam cakupan konteks ini jelas bahwa setiap corak ragam bentuk arsitektur tradisional itu memiliki sistem struktur tertentu, fungsi tertentu dan cara pembangunan tertentu.

Misalnya saja dapat kita lihat dari beberapa referensi bangunan arsitektur tradisional Jawa, Bangunan bentuk Panggang – Pe memiliki sistem struktur dan kegunaan yang berbeda dengan bangunan bentuk Kampung, Limasan, Joglo ataupun Tajug. Bangunan berbentuk Panggang – Pe itu sangat lazim digunakan sebagai wadah untuk menampung kegiatan – kegiatan yang bersifat perdagangan dan produksi, sedangkan bangunan berbentuk Kampung dan Limasan digunakan sebagai wadah untuk kegiatan – kegiatan bertempat tinggal. Bangunan berbentuk Joglo digunakan sebagai wadah untuk kegiatan pertemuan sedangkan bangunan berbentuk Tajug digunakan sebagai tempat peribadatan atau wadah untuk kegiatan yang bersifat sakral – religius.

Mitu M.  Prie dalam bukunya yang berjudul Pancaran Limasan juga memaparkan berkait keistimewaan terhadap sosok bangunan Limasan sebagai karya peradaban Arsitektur yang muncul sejak pada abad 8 – 9 Masehi itu secara luwes dalam bentuk dan fungsinya. Keluwesan bangunan berbentuk Limasan menjadikannya bisa digunakan sebagai bangunan yang bersifat sakral maupun profan atau bahkan sebagai perantara di antara keduanya.

Seiring kurun waktu beberapa dasawarsa perkembangan karya arsitektur di Indonesia, sering banyak dijumpai corak dan ragam bentuk – bentuk dari sebuah manifestasi wajah arsitektur tradisional itu.  Sering juga dimunculkan kembali oleh beberapa arsitek Indonesia dengan berbagai macam corak yang beragam sebagai sebuah unjuk kerja terhadap karya arsitektur modern meskipun dalam beberapa tahapan pengerjaan tersebut tanpa menggunakan lagi sistem struktur dan tata cara pembangunan secara tradisional. Hal ini merupakan contoh kecil dari wujud karya arsitektur tradisional yang telah dirangkai kembali dan dikembangkan ke dalam bentuk-bentuk arsitektur modern meskipun tanpa harus menggunakan sistem struktur dan cara pembangunan tradisional. Dalam objek tulisan ini, saya ingin menyodorkan beberapa objek arsitektur tradisional yang berada di Yogyakarta, Kemudian ditampilkan kembali dengan memunculkan kembali wajah

modern yang menjadi salah satu dasar pijakan utama penggunaan bentuk – bentuk arsitektur tradisional tersebut dimunculkan kembali ke dalam beberapa objek pengamatan tersebut untuk menunjukkan identitas nilai sebagai bagian dari satu kelompok komunitas masyarakat tertentu. Menurut Ir. Eko Prawoto, salah satu arsitek senior di Yogyakarta dalam wawancara yang berkaitan dengan beberapa ulasannya, juga memberikan pengejawantahan terhadap manifestasi bentuk – bentuk arsitektur tradisional yang belakangan ini sering dimunculkan kembali itu dipandangnya  masih   gayut dan belum  bisa  berbuat lebih banyak dalam merepresentasikan ethos budaya, serta kepribadian kelompok komunitas pada masyarakat tertentu. Menyitir ulasan dari Ir. Budi Prihandoko. MTP, menyebutkan beberapa alasan pelepasan sistem struktur dan cara pembangunan tradisional dalam beberapa karya arsitekturnya tersebut adalah: sistem struktur arsitektur tradisional dilihatnya sudah tidak begitu efisien, khususnya yang berkaitan dengan modular dan bahan strukturnya.

Seiring perkembangan teknologi dan rekayasa konstruksi, telah banyak ditemukan sistem struktur yang lebih sederhana dan efisien yang dapat merangkai berbagai macam bentuk – bentuk dari arsitektur tradisional itu sendiri. Seperti diketahui bersama, jika modular dan bahan struktur arsitektur tradisional itu menciptakan sistem struktur yang banyak menggunakan tiang sehingga dapat membatasi pemanfaatan akan efektititas ruangnya. Padahal jika meruntut dalam konteks kekinian pola kegiatan sekarang itu berkecenderungan lebih menuntut kepada besaran ruang yang luas dan bersifat multi fungsi.

Nah, dalam konteks lepasnya sistem struktur dan lepasnya cara pembangunan tradisional dari sistem arsitektur tradisional inilah yang telah menyebabkan hilangnya sebuah predikat sebagai penggolongan arsitektur tradisional, Dengan demikian jenis arsitektur tersebut tidak dapat digolongkan sebagai arsitektur tradisional. Akan tetapi lebih tepat jika digolongkan atau disebut sebagai  arsitektur  kedaerahan  [arsitektur  lokal]  misalnya:  Arsitektur  Jawa,  Arsitektur  Bali, Arsitektur Minangkabau, Arsitektur Toraja.

Liberalisasi – Mandegnya Arsitektur Tradisional

Pada sektor perkembangan teknologi dan rekayasa konstruksi, ternyata sudah mampu menghantarkan masyarakat dunia pada tatanan sistem masyarakat baru yang telah dapat memperpendek jarak – ruang sehingga berdampak pada pergeseran nilai – nilai dengan apa yang disebut  modernisme.  Mengutip   artikel  Prof.  Sarlito  Wirawan  dalam  Harian Kompas 1996 bahwa pada era globalisasi akan terjadi pergeseran nilai. Hal ini terjadi karena globalisasi telah memperpendek jarak dan menghilangkan batas – batasan antar negara di seluruh dunia sehingga sesuatu yang terjadi dan telah menjadi trend [MODE] di suatu negara akan dapat segera diketahui atau bahkan mungkin akan dapat untuk ditiru masyarakat seantero penjuru dunia.

Begitu pula apa yang dikemukakan oleh HAR Tilaar dalam Harian Kompas 1997: globalisasi akan dapat menentang identitas individu, budaya lokal dan nasional. Budaya lokal atau nasional akan  dihadapkan  dengan  budaya  pasar  bebas.  Sedangkan  pendapat  dari  Coen  Husain  Pontoh seorang aktivis pemerhati permasalahan perkotaan dalam wawancara di indoprogress.com yang mengutip pendapat dari David Harvey 2009, Filho and Johnston 2006 mengatakan bahwa esensi Neoliberalisme tidak lain adalah sebuah proyek yang bertujuan untuk merestorasi dan memperluas kekuasaan elite kelas kapitalis pada tingkat nasional dan global melalui kontrol, super – eksploitasi dan represi terhadap kelas pekerja di seluruh dunia. Dalam cakupan konteks ini, tentu saja juga akan berimbas pada sektor – sektor yang lain. Ambil satu contoh dalam sektor perekonomian – Ekspansi modal, produk teknologi industri bahkan para tenaga kerja akan masuk dari suatu negara ke negara lain dan dunia tentu saja akan menjadi pasar bersamanya. Jadi jangan heran jika suatu hari nanti akan ada Arsitek, Kontraktor, Developer [pengembang perumahan] dari suatu negara bisa dimungkinkan membuka praktiknya di negara lain.

Akibat adanya pergeseran dalam sektor ini tentu saja akan membuat persaingannya terasa semakin kompetitif sekali sehingga akan lebih mendorong kepada peningkatan efektifitas dan kualitas produksinya dari masing-masing negara. Hal ini juga akan berdampak pada terjadinya pergeseran identitas akan nilai – nilai sosial budayanya dan juga  pada  sektor  ekonomi karena  kondisi  ini  akan menuntut  masyarakatnya  untuk  terus  lebih kreatif, inovatif dan eksploratif di dalam menatap dan menata dunia ke arah tatanan peradaban yang lebih  modern.  Fenomena  ini  tentu  saja  secara  dialektis  juga  akan  diikuti  dengan  terjadinya pergeseran – pergeseran pada konsep yang melatar-belakangi terbentuknya karya arsitektur seperti konsep budaya, konsep ethos, konsep kepribadian dan konsep world view.

Konsep – konsep tradisional akan terus bergeser menuju pada tatanan konsep – konsep yang lebih praktis, efisien dan lebih modern karena terlalu cepat dorongan terjadinya arus perubahan dan pegeseran identitas yang terus menerus bergulir. Tentu hal ini akan menghambat munculnya  tradisi – tradisi baru untuk lebih membumi sebab satu tradisi baru tidak sempat untuk mentradisi karena tradisi itu akan segera bergeser dan terus tergantikan oleh tradisi yang lebih baru karena nilai – nilainya sudah dianggap lebih modern.

Berkaitan dengan kondisi tersebut, pola ini tentu saja akan mendorong perubahan pada tata cara dari unjuk kerja arsitektur dalam menyelesaikan beberapa persoalan – persoalan yang berkaitan dengan faktor – faktor fisik, kerangka fungsi, pranata sosial bahkan kepada lingkungan simbolnya. Tentu saja faktor efisiensi akan menjadi dasar pijakan yang paling utama dalam menyelesaikan kerangka fungsi tersebut. Konstruksi beton bertulang, konstruksi prefabrifikasi baja tentu saja akan mengganti sistem struktur dan konstruksi konvensionalnya,

Begitu pula yang terjadi pada sektor penyediaan perumahan dengan sistem Turnkey Project Management akan semakin banyak kita jumpai. Perubahan pada tata cara dan unjuk kerja inilah yang akan “memandegkan perkembangan arsitektur tradisional itu sendiri”. Meskipun perubahan unjuk kerja tersebut telah memandegkan perkembangan arsitektur tradisional,  tetapi nilai-nilai luhur dan falsafah yang terkandung dalam arsitektur tradisional itu akan tetap lestari. Arsitektur tradisional tentu saja akan tetap menjadi dasar pijakan referensi atau sebagai sumber inspirasi bagi perkembangan Ilmu Arsitektur yang baru dan bukan hanya sebatas untuk memperkaya corak ragam bentuk semata  tetapi juga secara lebih menyeluruh kontekstualnya. Arsitektur tradisional juga akan menjadi basis atau akar arsitektur lokal yang secara visual dari falsafah nilai yang terkandung di dalamnya akan terus selalu dibaca oleh para generasi – generasi penerusnya melalui jejak peninggalan – peninggalan pada setiap hasil karyanya.

Dalam term pembahasan ini, tulisan saya mencoba untuk membatasi lingkupnya dengan menyajikan sosok bangunan Arsitektur Tradisional Jawa yang masih ada sampai sekarang. Berpijak dari jurnal publikasi ilmiah yang ditulis oleh S. Ilmi Albiladiyah dengan judul Dalem Mangkubumen Kodya Yogyakarta dan Kompleks Makam Girigondo Temon Kulon Progo oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta tahun 1985 – 1986,  tulisan ini mencoba kembali untuk menyodorkan sebuah percontohan terhadap sosok karya arsitektur tradisional yang sampai sekarang masih ada korelasi dan relevansinya yang berada di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bangunan kompleks Dalem Mangkubumen ini jika dikorelasikan dari lingkup konsep dan karya arsitekturnya sampai sekarang ini masih tetap ada dan masih tetap terjaga keberadaannya. Fungsi bangunan pada kompleks Dalem Mangkubumen ini dulu adalah rumah yang diperuntukkan untuk Pangeran. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal,

Dalem Mangkubumen ini juga diperuntukkan untuk mendidik atau tempat belajar bagi Pangeran Adipati Anom sebagai putra mahkota kerajaan sebelum naik tahta menjadi Raja di Kraton Kasultanan Yogyakarta; bahkan sejarah awal   berdirinya   Fakultas  Kedokteran   Universitas  Gadjah   Mada  juga   pernah   menempati bangunan kompleks Dalem Mangkubumen ini sebagai tempat belajar mengajar bagi para peserta didiknya. Bangunan kompleks Dalem Mangkubumen sampai sekarang ini juga masih ada korelasi fungsi bangunan dengan fungsi awal didirikannya yakni masih tetap menjadikan fungsinya sebagai  tempat  untuk  belajar-mengajar  dalam  institusi  pendidikan  secara  formal  yang didirikan Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan X dalam Yayasan Mataram.

Epilog

Menelaah kembali dari uraian di atas, dapat kita petik pembelajaran yang sangat penting bahwa dalam era libelarisasi akan banyak memberikan dampak perubahan yang signifikan terhadap perilaku budaya dalam komunitas kelompok masyarakat. Akibatnya secara dialektis akan mampu  mendorong  pada  perubahan  tata  cara  dan  unjuk kerja  dalam  ranah  perkembangan arsitektur tradisional. Dengan kondisi seperti ini jelas akan memandegkan perkembangan arsitektur tradisional itu sendiri.

Meskipun perkembangan arsitektur tradisional itu mandeg,  landasan nilai – nilai arsitektur tradisional dalam berkepribadian pada suatu tradisi – budaya sebuah komunitas kelompok masyarakat akan tetap menjadi  dasar pijakan referensi atau sebagai sumber inspirasi atas pemikiran – pemikirannya yang masih sangat relevan untuk diterapkan apabila tidak ingin terhanyut dalam gelombang sistem kehidupan yang semakin mengglobal yang dalam cakupan term ini ada pada aspek tantangannya baik itu tantangan dari segala penjuru arah ataupun dari berbagai  anasir  –  anasir yang  dapat  mempertentangkan  lebih tajam  berbagai  kepentingan yang berbeda pada kekuatan yang berbeda – beda pula,  Dampaknya tentu akan dapat dikhawatirkan memberikan kemungkinan – kemungkinan rongrongan negatif.

Sebagai generasi penerus dari falsafah dan pemikiran – pemikiran luhur yang terkandung di dalam karya arsitektur tradisional sudah semestinya menjadikan  ini  sebagai langkah  keharusan  untuk  terus  memberi  kontribusi dalam jejak sejarah agar tetap menjaga, mengembangkan pengetahuan yang didapat lalu menyatukan olah pikir sehingga dapat responsif dalam menjawab persoalan – persoalan yang lebih kontekstual dan masih berakar pada sejarah masa lalu sebagai pertanggung jawaban sejarah untuk masa depan agar jejak karya arsitektur tradisional itu tetap menjadi khasanah peradaban nilai keagungan identitas dan ciri dari budayanya sendiri. Dengan bereskplorasi secara aktif, belajar untuk menggalinya secara lebih mendalam agar langkah ke depannya nanti menjadi  benteng pertahanan yang dapat melindungi dari berbagai macam rongrongan negatif dalam lingkungannya baik dalam skala mikro maupun makro. Dan satu hal yang terpenting adalah arsitektur tradisional tentu saja akan menjadi pijakan dasar dan sumber referensi bagi perkembangan ilmu arsitektur modern karena jejak peninggalan – peninggalan karyanya akan menjadi  monumen tonggak sejarah yang dapat menjelaskan  esensi nilai keluhuran dan keagungan identitas pada karya arsitektur baik itu pada masa lampau – kekinian maupun untuk karya arsitektur pada masa yang akan datang.

Oleh karena itu menjaga keberadaannya dan keutuhan peninggalan karya arsitektur tradisional adalah menjadi bagian yang sangat penting bagi perkembangan ilmu arsitektur itu sendiri.

Sebagai kata pengunci terakhir, saya kutipkan lagi tulisan Prof. Arya Ronald  bahwa di balik tabir sebuah karya arsitektur tradisional itu terdapat keagungan tersendiri yang mampu memberikan kejelasan hubungan antara budaya masa lalu – kini dan masa mendatang. Ibarat makan Buah Maja masih akan terasa manis sepanjang masa.

Noval Hanan Irianto .ST

Penggiat Arsitektur | Pendiri NDH Architectural Workshop | Tinggal pinggir desa Yogyakarta

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid