Sejarah kerap dibaca secara sepotong-sepotong. Akibatnya, ada potongan sejarah tertentu yang seringkali terlupakan. Entah disengaja atau tidak. Termasuk pembacaan sejarah pertempuran heroik rakyat Indonesia di Surabaya melawan Inggris pada bulan November 1945.
Jika kita melihat kronik peristiwa ‘November 1945’ di Surabaya, ada empat momentum peristiwa yang saling terkait, yakni insiden bendera Hotel Yamato (19 September 1945), rapat raksasa Tambaksari (21 september 1945), pelucutan senjata tentara Jepang (29, 30 September, dan 1 Oktober 1945), pertempuran tiga hari melawan tentara Sekutu Inggris (28-30 Oktober 1945), dan pertempuran 10 November 1945.
Nah, biasanya, yang kerap diingat hanya Insiden Hotel Yamato, pertempuran tiga hari melawan Inggris yang menewaskan Brigjend AWS Mallaby, dan pertempuran 10 November 1945 itu sendiri. Padahal, ada satu momen peristiwa yang juga tak kalah pentingnya, yakni Rapat Raksasa di lapangan Tambaksari Surabaya tanggal 21 September 1945.
Rapat Raksasa di lapangan Tambaksari itu bukan hanya pertemuan massal belaka. Namun, seperti dijelaskan oleh Soemarsono dalam buku memoarnya Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, rapat raksasa itu diakhiri dengan ikrar kebulatan tekad “Merdeka atau Mati”. Artinya, rapat raksasa ini turut menyemai semangat pemuda dan rakyat Surabaya untuk rela berjuang mati-matian mempertahakan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Soemarsono sendiri hadir dalam momen itu. Saat itu ia menjabat pimpinan organisasi pemuda bernama Angkatan Muda Minyak Indonesia. Dalam Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, ia menceritakan sekilas latar belakang dan jalannya rapat raksasa bersejarah tersebut.
Menurut Soemarsono, sebelum tanggal 19 September 1945, Aidit datang ke Surabaya. Ia, antara lain, mengunjungi Soemarsono selaku tokoh gerakan pemuda di Surabaya. Saat itu Aidit adalah aktivis Angkatan Pemuda Indonesia (API), organisasi yang dibentuk oleh pemuda-pemuda revolusioner dari Menteng 31 Jakarta pada awal September 1945.
Saat itu, para aktivis Menteng 31 Jakarta sedang mempersiapkan Rapat Samudra di Lapangan Ikada Jakarta tanggal 19 September 1945. Rapat akbar tersebut dimaksudkan untuk membulatkan tekad rakyat Indonesia membela Proklamasi 17 Agustus 1945. Nah, Aidit selaku tokoh Menteng 31 mendesak Soemarsono agar juga mengorganisir Rapat Samudra serupa di Surabaya pada tanggal 19 September 1945.
Soemarsono menyanggupi usulan Aidit itu. Namun, dalam proses penyiapan Rapat Raksasa itu, Soemarsono sempat clash dengan Roeslam Abdulgani. Yang belakangan ini menjabat pimpinan Angkatan Muda Indonesia (AMI) di Surabaya. Bagi Roeslan, rencana menggelar rapat raksasa semacam itu bertemu dengan situasi yang tidak tepat. Ia khawatir rapat raksasa itu justru memicu bentrok dengan Jepang.
Mendengar sikap Roeslan Abdulgani itu, Soemarsono dan kawan-kawan pun terbakar amarah. Mereka pun menggelar semacam aksi demonstrasi saat Roeslan Abdulgani cs sedang menggelar rapat pengurus di sebuah gedung SMA. “Adakan rapat raksasa, ini tidak bisa ditolak oleh pengurus saja, kami menghendaki diadakan rapat raksasa, kami dari bawah,” kata Roeslan Widjajasastra, salah seorang pemuda dari gerakan bawah tanah kepada Roeslan Abdulgani. Roeslan Abdulgani pun tidak berkutik.
Namun, seperti diceritakan Soemarsono, agenda rapat raksasa yang sedianya digelar tanggal 19 September 1945 itu gagal terlaksana karena Insiden Bendera di Hotel Yamato. Alhasil, jadwal rapat akbar itu diundur hingga tanggal 21 September 1945.
Pada hari H, jumlah rakyat yang menghadiri Rapat Raksasa itu mencapai ratusan ribu orang. “Yang datang di Tambaksari itu ratusan ribu orang tumplek-blek. Membludak, belum pernah ada rapat sebesar itu,” kata Soemarsono menceritakan. Padahal, seperti diceritakan Soemarsono, proses sosialisasi rapat raksasa itu hanya dari mulut ke mulut dengan menggunakan corong.
Roeslan Abdulgani sendiri tidak hadir di rapat itu. Yang muncul justru Roeslan Widjajasastra. Menurut Soegiri DS dalam Spektrum Kemerdekaan Indonesia dan Demorkasi, awalnya Roeslan Widjajasastra ini adalah anak didik tokoh sosialis Djohan Sjahroezah. Roeslan Widjajasastra sempat ditempatkan Dewan Pimpinan Pusat Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Pada tahun 1950-an, Roeslan aktif di SOBSI dan menjadi kader Partai Komunis Indonesia (PKI).
Nah, saat Rapat Raksasa Tambaksari dimulai, Roeslan Widjajasastra inilah yang berpidato pertama. “Bung, biar saya yang bicara dulu, kalau ditembak oleh Jepang biar saya yang ditembak dulu. Bung sudah punya istri,” kata Roeslan Widjajasastra kepada Soemarsono saat meminta ijin untuk menjadi orator pertama.
Pembicara selanjutnya adalah Sapia, pimpinan dari Pemuda Indonesia Maluku (PIM) di Surabaya. Konon, tokoh ini pernah terlibat dalam pemberontakan kapal tujuh (Seven Provincien) di Surabaya tahun 1933. “Dia naik ke mimbar dan bicara penuh agitasi,” kenang Soemarsono.
Dan tak lama kemudian, giliran Soemarsono yang menyampaikan pidatonya di hadapan ratusan ribu orang itu. Ia mengutip pidato 1 Juni Bung Karno, yakni Pancasila. Tetapi Soemarsono menyebutnya dengan istilah “Lima K”, yakni Ketuhanan, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Kebangsaan, Kemerdekaan, dan Keadilan Sosial.
“Lima Sila ini kalau disatukan menjadi kepal, menjadi tinju untuk meninju imperialis, lawan-lawan bejat, lawan-lawan kemerdekaan, penjajah yang menjajah Indonesia. Ini kepal rakyat Indonesia yang bersatu!” kata Soemarsono.
Pidato Soemarsono mendapat tepukan bergemuruh. Rapat akbar berjalan sangat sukses. Lalu, di akhir rapat akbar, dibacakan ikrar kebulatan tekad untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan dengan semboyan “Merdeka atau Mati”.
Rapat Raksasa di Lapangan Ikada Jakarta pada tanggal 19 September 1945 dan Rapat Raksasa di lapangan Tambaksari Surabaya pada tanggal 21 September 1945 adalah rapat akbar terbesar dalam sejarah Republik Indonesia. Kedua rapat akbar raksasa itu berhasil memobilisasi dukungan, tekad, dan semangat rakyat Indonesia untuk membela dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Mahesa Danu (Disarikan dari buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah)
Keterangan Foto: Bung Tomo berpidato di depan rakyat Jawa Timur, 1950an. Dok. Keluarga. Sumber: Tempo
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid