Bung Karno dan Jembatan Sungai Musi

Jembatan Sungai Musi, atau yang kini dikenal sebagai Jembatan Ampera, memang sangat identik dengan kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Jembatan ini bisa dikatakan menjadi salah satu ikon kota Palembang, seperti halnya Sungai Musi yang dilintasi.

Selain sebagai ikon Palembang, jembatan ini juga memiliki fungsi yang sangat vital dalam transportasi di Pulau Sumatera. Selain sebagai penghubung antara dua wilayah kota Palembang yang dipisahkan oleh aliran Sungai Musi, jembatan ini berfungsi pula sebagai jalur transportasi darat yang menghubungkan  Pulau Jawa dan Provinsi Lampung  dengan Provinsi Jambi, Riau hingga Aceh. Jalur yang menggunakan jembatan ini dikenal sebagai Jalur Lintas Timur Sumatera.

Demikian vital nya fungsi jembatan ini kini, hingga menggugah minat penulis untuk menelaah latar belakang sejarah pembangunannya. Dan ternyata, fakta sejarah menunjukkan bahwasanya andil Bung Karno dalam pembangunan jembatan ini sangatlah besar.

Jembatan Bung Karno

Dalam artikel berjudul “Kisah Jembatan Bung Karno” yang ditulis oleh seorang peminat sejarah sekaligus pengusaha, Anton D.H. Nugrahanto, terkuak fakta bahwasanya pemikiran untuk membangun sebuah jembatan diatas aliran Sungai Musi telah ada sejak masa kolonial Belanda.

Di tahun 1906, muncul gagasan untuk menyatukan seberang Ulu dan seberang Ilir kota Palembang yang dipisahkan oleh aliran Musi dengan membangun sebuah jembatan.

Ide ini kembali mencuat pada tahun 1924, ketika kota Palembang dipimpin oleh seorang Residen bernama Le Cocq de Ville. Sang residen pun berangkat ke Batavia guna meminta bantuan Gubernur Jenderal Dirk Fock demi merrealisasikan ide tersebut.

De Ville menunjukkan rancangan jembatan yang dibuat oleh seorang arsitek sekaligus temannya kepada Fock. Sang Gubernur Jenderal pun sepakat dengan rancangan itu. Lalu, empat tahun kemudian, tersiar kabar bahwa jembatan tersebut akan dibangun, meskipun Fock sudah tak lagi menjabat Gubernur Jenderal. Namun rencana itu batal karena Hindia Belanda turut terkena dampak  resesi dunia atau krisis Malaise di tahun 1929. Ketika itu, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menghentikan sementara seluruh proyek raksasa, termasuk jembatan Sungai Musi.

Ternyata, hingga pemerintahan Hindia Belanda runtuh ketika Jepang menginvasi nusantara tahun 1942, pembangunan jembatan itu belum juga terrealisasi. Barulah ketika Indonesia merdeka, tepatnya dipertengahan tahun 1950-an, pembicaraan mengenai hal tersebut dibuka kembali.

Pada tahun 1956, dalam sebuah rapat Parlemen Daerah Peralihan Awal (DPRD) untuk Kota Palembang, muncul kembali usulan untuk membangun Jembatan di atas Sungai Musi. Rapat pun menyepakati usulan tersebut dan diputuskanlah agar seluruh jajaran pemerintahan kota Palembang bekerja untuk membangun jembatan yang kemudian dinamakan Jembatan Musi itu.

Pasca keluarnya keputusan DPRD tersebut, para pemimpin Palembang dan Sumsel pun segera membicarakan hal itu dan akhirnya dicapailah kesepakatan untuk mengumpulkan modal awal bagi pembangunan jembatan itu. Hingga tahun 1957, pemerintah daerah berhasil mengumpulkan modal awal sebesar Rp. 30.000, yang tentu saja belum cukup untuk dapat membangun sebuah jembatan yang kokoh hingga tuntas.

Maka, para pemimpin Palembang dan Sumsel seperti Gubernur Achmad Bastari, Penguasa Perang Daerah Kolonel Harun Sohar, Walikota Ali Amin serta pengusaha lokal bernama Indra Caya yang tergabung dalam Tim Pembangunan Jembatan Musi pergi ke Jakarta guna menemui Bung Karno.

Para tokoh Sumsel tersebut kemudian berbicara dengan Bung Karno perihal rencana pembangunan jembatan Musi beserta progressnya hingga  saat itu. Mendengar hal itu, Bung Karno sangat sepakat.  Bahkan, ia berkata bahwa dirinya ingin membangun sebuah jembatan yang bukan saja mampu membangunkan kekuatan ekonomi rakyat, tapi juga jembatan yang mampu menggugah daya sadar rakyat serta bisa menjadi lambang dari kota Palembang.

Jembatan itu harus aman, harus memberikan rasa aman kepada yang menggunakannya, jangan sampai dibangun lantas roboh, dibangun lantas roboh…dibangun lantas roboh….itu pernah terjadi di Belanda, makanya orang Belanda sangat hati-hati jikalau sedang membangun Jembatan, hitungannya teliti,” ujar Bung Karno  seperti dikutip oleh Anton dalam artikelnya.

Dari fakta sejarah ini, terlihat bahwa pemikiran mengenai aspek keamanan dan kesinambungan  sebuah ‘karya’ infrastruktur telah dikemukakan oleh Bung Karno saat itu, yang kemudian menemukan relevansinya di masa kini ketika  banyak terjadi peristiwa kerusakan bangunan atau sarana infrastruktur publik akibat watak korup yang menjangkiti birokrasi.

Kemudian, anggota tim mendiskusikan masalah rancangan dan pendanaan jembatan dengan Bung Karno.  Pada kesempatan itu, Bung Karno menegaskan agar para tokoh Sumsel itu tidak merisaukan masalah pembiayaan karena hal itu akan ditanggung oleh pemerintah Pusat. “Yang penting bagaimana agar rakyat Palembang mampu mendapatkan kebanggaannya sekaligus meningkatkan kesejahteraannya lewat pembangunan Jembatan ini,” tegas Bung Karno.

Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk mendanai pembangunan jembatan Musi dengan dana Pampasan Perang dari pihak Jepang kepada Indonesia yang totalnya mencapai  200 juta dollar, sebagai ganti rugi akibat penjajahan yang dilakukan Jepang terhadap Indonesia ketika Perang Pasifik.  Di tahun 1960, Pemerintahan Bung Karno berhasil memperoleh 20 juta dollar dari Jepang sebagai  tahap pertama pembayaran pampasan perang tersebut. Maka, dimulailah perrencanaan pembangunan Jembatan Musi secara matang ditahun itu juga.

Jembatan ini dirancang oleh arsitek Jepang, karena Bung Karno mengerti kepandaian orang Jepang dalam  membangun sebuah jembatan kokoh di wilayah yang secara geologis rawan gempa seperti Sumatera. Bung Karno pun menginstruksikan  sang arsitek  untuk membangun boulevard di kedua sisi jembatan, serta meminta agar jembatan itu bisa bertahan selama lebih dari seratus tahun. Pada tahun 1962, pembangunan jembatan pun dimulai, yang ditandai dengan peletakkan batu pertama oleh Bung Karno.

Diperlukan waktu tiga tahun guna menuntaskan pembangunan jembatan vital terssebut. Pada tahun 1965, jembatan itu pun tuntas dibangun dan rakyat Palembang menamai jembatan tersebut sebagai “Jembatan Bung Karno”. Hal itu merupakan manifestasi rasa terima kasih warga Palembang kepada Bung Karno yang telah berjasa membangun jembatan yang nantinya menjadi ikon dan kebanggaan rakyat Palembang tersebut.

Pengabaian Jasa

Tak lama setelah jembatan Bung Karno berdiri, gejolak politik menghantam Indonesia sejak Oktober 1965 sebagai buah dari pertentangan ideologis yang kian meruncing di masyarakat. Pergolakan politik diseluruh tanah air, termasuk Palembang, membuat Bung Karno dan kelompok politik kiri (PKI) tersudutkan oleh situasi. Demonstrasi yang menjalar diberbagai tempat  yang awalnya menyuarakan tuntutan pembubaran PKI pun kian hari kian mengarahkan ‘bidikannya’ kepada Bung Karno selaku sekutu politik PKI selama Demokrasi Terpimpin.

Kekuatan-kekuatan anti PKI yang didukung oleh militer (AD) dan negara-negara Barat pun menganggap Bung Karno adalah pemimpin yang harus segera dilikuidasi kekuasaannya, baik kekuasaan politik maupun simbolik. Salah satu bentuk dari likuidasi secara simbolik adalah pengubahan nama bangunan atau sarana publik yang awalnya menggunakan nama ‘Bung Karno’. Salah satu ‘korbannya’ adalah Jembatan Bung Karno di atas Musi yang  diganti namanya menjadi “Jembatan Ampera”.

Untuk diketahui, Ampera yang merupakan singkatan dari  “Amanat Penderitaan Rakyat” merupakan slogan politik yang kerap disuarakan para aktivis demonstran anti PKI dan anti Bung Karno ditahun 1966, yang kemudian dikenal sebagai ‘Angkatan 66’. Selain Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), Ampera menjadi sebuah istilah yang sangat lekat dengan kelompok angkatan 66 yang anti Bung Karno dan pro Orde Baru. Bahkan, kabinet pertama yang dipimpin oleh Letjen Soeharto selaku ketua Presidium juga dinamakan Kabinet Ampera I.

Pengubahan nama jembatan Bung Karno menjadi jembatan Ampera ini tiada lain merupakan upaya rezim Orde Baru untuk mengabaikan jasa Bung Karno dalam proses pembangunannya. Hal ini juga dilakukan Orde Baru terhadap Gelora Bung Karno  di Jakarta, yang dirubah namanya menjadi Gelora Senayan (namun telah dikembalikan namanya menjadi Gelora Bung Karno ketika  Gusdur berkuasa  ditahun 2001).

Upaya pengembalian nama Bung Karno sebagai nama jembatan sungai Musi ini pernah dilakukan pada tahun 2001, ketika peringatan 100 tahun Bung Karno diperingati secara semarak diseluruh tanah air. Sebagian pihak, terutama kalangan PDI Perjuangan Sumatera Selatan, mengusulkan kepada pihak pemerintah provinsi dan DPRD agar mengubah nama jembatan Ampera menjadi jembatan Bung Karno kembali. Namun usulan ini ditolak dengan alasan usulan itu bernuansa politis. Selain itu, sebagian mantan aktivis angkatan 66 juga menolak usulan tersebut.

Bagi sebagian pihak, nama  mungkin bukanlah hal yang penting. Namun ketika kita bicara soal jasa seorang pahlawan yang berupaya dinafikan melalui  pengubahan  nama sebuah jembatan yang ia bangun demi perbaikan taraf hidup rakyatnya, maka hal itu  harus dikoreksi.  Adalah ironis, ketika ada beberapa negara  asing  menamai jalan protokol di ibukotanya dengan nama  ‘Soekarno’ yang menandai kekaguman dan penghargaan mereka  terhadap jasa sang Proklamator, negeri ini justru masih mendiamkan ‘manipulasi’ nama sebuah jembatan yang menunjukkan masih ‘tunduknya’ kita pada  manipulasi sejarah yang ‘diproduksi’ oleh  rezim tiran komprador asing.

Hiski Darmayana, Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan alumni FISIP Universitas Padjadjaran

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid