Ketika Partai Rakyat Demokratik (PRD) mengusung kampanye “Menangkan Pancasila”, banyak yang mengajukan pertanyaan, bahkan ketidaksetujuan.
Bagi mereka, sebagai Dasar Negara, Pancasila sudah final, ajeg, tidak berubah. Ada juga yang berpendapat, karena Pancasila masih dinyatakan sebagai Dasar Negara, maka sebetulnya sudah menang.
Menjawab pertanyaan itu, Sekretaris Jenderal PRD Dominggus Oktavianus mencoba merujuk pada pemikiran Bapak Bangsa sang penggali Pancasila, Bung Karno.
“Bagi Bung Karno, Pancasila itu meja statis sekaligus leitstar yang dinamis,” kata Dominggus dalam diskusi peluncuran Posko Nasional “Menangkan Pancasila” di kantor KPP-PRD, Rabu (20/9/2017).
Menurut dia, sebagai meja statis, Pancasila menjadi platform atau dasar bagi Negara Indonesia. Ibarat meja, dia menjadi dasar dari segala hal yang ada di atasnya.
Dalam konteks Indonesia, lanjut Dominggus, Pancasila menjadi meja statis bagi segenap bangsa Indonesia yang beragam suku, agama, ras dan adat-istiadat.
“Itu yang tidak berubah, ajeg, tetap, bahwa Pancasila merupakan dasar dari kita bernegara dan berbangsa,” jelasnya.
Namun, lanjut dia, Pancasila juga leitstar yang dinamis atau bintang pimpinan yang menuntun arah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita nasionalnya.
“Pancasila sebagai leitstar yang dinamis ini yang perlu didiskusikan dan dikaji lebih dalam, sehingga bisa membimbing kita ke arah yang tepat menuju cita-cita nasional, yakni masyarakat adil dan makmur,” jelasnya.
Dominggus menjelaskan, ketika Pancasila menjadi bintang penuntun arah menuju masyarakat adil dan makmur, kita perlu indikator-indikator atau semacam patok-patok penanda jalan untuk mengetahui bahwa kita sudah berada di arah yang tepat.
Dia mencontohkan, dalam bidang ekonomi, patok penanda jalannya adalah pasal 33 UUD 1945.
“Pasal 33 UUD 1945 sebetulnya sudah memberi dasar menuju masyarakat adil dan makmur,” tegasnya.
Pada kenyatannya, ungkap dia, sebagian besar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai hanya oleh segelintir korporasi-korporasi.
“Hanya 21 grup perusahaan sawit menguasai 5,1 juta hektar tanah. Sedangkan mayoritas petani Indonesia rata-rata hanya memiliki tanah 0,3 hektar. Ini tidak sesuai dengan arah pasal 33 UUD 1945,” ungkapnya.
Begitu juga cabang produksi yang strategis, seperti energi dan layanan publik, justru dikuasai oleh swasta. Layanan pendidikan dan kesehatan dijalankan melalui logika bisnis.
“Ini terjadi komersialisasi dalam sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Mereka mencari profit dalam layanan publik, seperti sekolah dan rumah sakit,” paparnya.
Menurutnya, jika berpatokan pada Pancasila sebagai leitstar, seharusnya layanan pendidikan dan kesehatan tidak diserahkan pada logika bisnis.
Lebih lanjut, Dominggus menyinggung soal skema pajak yang belum berkeadilan sosial. Menurutnya, pajak tertinggi untuk penghasilan di Indonesia hanya 30 persen.
“Di banyak negara, teruama di Skandinavia, pajak untuk penghasilannya ada di atas 60 persen. Sementara di Indonesia, pendapatan Rp 1 milyar ke atas itu hanya 30 persen,” ungkapnya.
Menurutnya, agar lebih berkeadilan sosial, skema pajak penghasilan terhadap pendapatan di atas Rp 1 milyar pertahun seharusnya sudah 50 persen ke atas.
Terkait perlunya patok-patok penunjuk jalan sesuai Pancasila sebagai leitstar, PRD mengajukan beberapa masukan:
Pertama, skema pajak progressif dan penegakan hukum terhadap kaum kaya yang mengemplang pajak.
Kedua, Reforma Agraria berbasis koperasi dan modernisasi untuk Kedaulatan Pangan.
Ketiga, peningkatan sumber daya manusia Indonesia melalui pemenuhan hak setiap warga negara terhadap pendidikan, kesehatan, perumahan, dan upah layak dan manusiawi.
Mahesa Danu
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid