Salah Kaprah Membaca Perjuangan Kartini

Sejak ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1964, lalu hari kelahirannya diperingati sebagai besar nasional, sosok dan perjuangan Kartini tidak pernah sepi dari gugatan dan perdebatan.

Sayang sekali, banyak penggugat Kartini, termasuk banyak sejarawan, mengeritik Kartini terlepas dari konteks sosial-historisnya. Akibatnya, “pengadilan” mereka terhadap Kartini sangat berat sebelah dan tidak adil.

Pertama, Kartini dianggap hanya bisa curhat melalui surat untuk mengekspresikan protesnya. Kartini yang melawan dengan pena dan berlembar-lembar kertas, seringkali diperbandingkan dengan pejuang-pejuang yang melawan kolonalisme dengan mengangkat senjata seperti Tjut Njak Dhien dan Tjut Njak Meutia di Aceh maupun Martha Christina Tiahahu di Maluku.

Tentu saja, ada hal yang diabaikan oleh mereka yang menyuarakan kritik ini. Pertama, sebuah perjuangan tidak diukur dari senjata apa yang ia pakai, tetapi seberapa besar daya pengaruhnya dalam membangkitkan perjuangan kolektif untuk sebuah cita-cita bersama.

Selain itu, ketika Kartini mulai bergulat dengan pikiran-pikirannya, perjuangan bersenjata yang digerakkan oleh raja maupun tokoh-tokoh lokal sudah menemui kegagalan. Yang paling terakhir: Aceh takluk 1904, sedangkan Bali tahun 1906.

Kedua, mereka mengabaikan arti penting gagasan. Sukarno dalam pidato pembukaan Konstituante, 10 November 1956, menjelaskan dengan baik arti penting gagasan bagi perjuangan sebuah bangsa. Menurutnya, sebuah ide–yang didalamnya menggambarkan masyarakat masa depan yang dicita-citakan—menggerakkan massa rakyat untuk berjuang.

“Hanya ide-lah dapat membuat seorang manusia yang lemah merasa kuat dan berani; hanya suatu ide-lah dapat membuat orang rela berkorban, rela masuk penjara, rela dibuang, rela menaiki tiang gantungan, rela didrel dengan hati yang tabah,” katanya.

Apa arti penting gagasan Kartini?

Kartini lewat tulisan-tulisannya telah melahirkan ide-ide yang menuntun pada kemajuan. Dalam Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer menceritakan bagaimana sang pemula dalam kebangkitan nasional, Tirto Adhisuryo, sangat terpengaruh oleh ide-ide Kartini.

Surat-surat Kartini menjadi sangat terkenal, tidak hanya bagi kalangan gerakan perempuan, tetapi juga di kalangan gerakan nasional (Saskia E Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, 1999, hal 100).

Sekolah perempuan Kartini juga melahirkan tokoh-tokoh yang kelak berperan dalam gerakan feminis maupun nasionalis. Seperti sosok RA Soekidjah Ranoodimedja, salah seorang murid Kartini, menjadi bagian gerakan perempuan lewat Istri Sedari dan terlibat perjuangan kemerdekaan.

“Saya benar-benar anak gerakan Kartini,” katanya dalam wawancara dengan Saskie E Wierenga, 26-28 Februari 1983.

Gagasan Kartini adalah yang termaju di zamannya. Pram menyebut Kartini sebagai “pemula dari sejarah modern di Indonesia”. “Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia untuk pertama kali timbul di Demak, Kudus, dan Jepara..” tulis Pram.

Dialah yang pertama bicara pendidikan sebagai kunci bagi bangsa terjajah untuk mengejar kemajuan, sekaligus menghempaskan belenggu feodalisme dan kolonialisme. Dan tak sekedar mengumbar gagasan, dia mempraktekkannya lewat pendirian sekolah untuk perempuan.

Kedua, ada anggapan bahwa Kartini adalah proyek rekayasa sejarah oleh kolonialisme Belanda. Argumentasi ini pula yang digunakan oleh  Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, seorang guru besar di Universitas Indonesia, untuk menggugat kepahlawanan Kartini.

Pram sebetulnya sudah membantah anggapan ini di pengantar bukunya, Panggil Aku Kartini Saja. Menurutnya, anggapan itu lahir dari anakronisme historik, yaitu kesalahan penempatan tokoh atau peristiwa pada konteks zamannya.

Menurut Pram, pada periode awal, ide nasionalisme memang datang dari luar: barat. Dalam hal ini, penyerapan ide nasionalisme itu seringkali lewat pergaulan dengan barat. Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan pendalaman pengetahuan serta kesadaran, nasionalisme bangsa terjajah memisah dengan nasionalisme eropa.

Anakronisme sejarah ini juga yang kadang melahirkan pertanyaan begini: kenapa Kartini tidak membangun organisasi untuk memperjuangkan idenya?

Mereka tidak tahu, bahwa ketika Kartini meluapkan semua gagasannya lewat surat dan artikel di koran, zaman berorganisasi belum dimulai. Organisasi sebagai perkumpulan modern yang menghimpun manusia secita-cita belum dikenal zaman itu.

Zaman berorganisasi di kalangan bangsa terjajah baru terjadi tahun 1906, lewat kerja pikiran dan tenaga Tirto Adhisuryo yang mendirikan Sarekat Priaji, yang menjadi cikal bakal Sarekat Dagang Islamiyah (SDI) dan kemudian Sarekat Islam (SI).

Soal kedekatan antara tokoh-tokoh nasionalis awal dengan beberapa orang Eropa, seperti Kartini dengan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan Hindia Belanda zaman itu, merupakan sesuatu yang lazim.

Tentu kita tidak lupa, Tirto Adhisuryo punya kedekatanGubernur Jenderal Van Heutsz, orang yang terkenal kekejamananya saat “Perang Aceh”. Alimin dan Musso, dua bapak komunisme Indonesia, juga dianggap anak didikan Prof. Dr. Hazeu, seorang penasehat negara Jajahan Belanda. Sedangkan Haji Agus Salim, tokoh pergerakan Islam, punya kedekatan dengan Snouck Hurgronje. Begitu juga dengan HOS Tjokroaminoto yang dekat dengan D.A Rinkes, penasehat Gubernur Jenderal untuk urusan bumiputera.

Ketiga, banyak yang meremehkan Kartini, lalu merekduksinya sekadar pejuang hak-hak perempuan, tanpa serius membaca semua buah coretan tangannya. Padahal, pergulatan pikiran Kartini jauh lebih luas, mulai dari mengeritik feodalisme, kolonialisme maupun penyalahgunaan agama hingga ke soal pendidikan, kesenian, sastra, teknik batik, jurnalisme hingga penemuan teknologi.

HENING SARASWATI

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid