Pasar Rakyat

“Pasar rakyat[1]” semakin dianak-tirikan oleh pemerintah. Tidak terhitung sudah berapa banyak pasar rakyat yang digusur, dan tempatnya kemudian digantikan oleh pasar modern yang berorientasi pada kapital swasta yang besar.  Seperti nasib Pasar Baru di Sikka, Nusa Tenggara Timur, yang rencanya akan digusur. Sebelumnya ada penggusuran pasar Terong di Makassar, pasar Koja di Jakarta, Pasar Keputren di Surabaya, dan lain sebagainya.

Padahal, dalam rekam jejak perekonomian nasional, pasar rakyat punya andil yang sangat besar, bukan saja dalam mengangkat perekonomian rakyat, tetapi juga memelihara interaksi sosial dan budaya di kalangan masyarakat.

Secara ekonomi, pasar rakyat paling banyak menampung produksi para petani dan usaha produksi kecil (UKM dan usaha rumah tangga). Selain itu, karena barang-barang yang dijual diakses langsung dari para produsennya, maka harga-harganya pun bisa dinegosiasi sesuai ukuran kantong rakyat biasa.

Selain itu, karena jumlahnya pasar rakyat lebih banyak, maka penyerapan tenaga kerjanya pun lebih besar. Menurut data yang dihimpun KPPU, saat ini ada 13.450 pasar tradisional di Indonesia yang jumlah pedagangnya mencapai 12,6 juta orang.

Dari aspek sosial-budaya, anda akan sangat mudah menemukan keakraban sosial diantara pedagang dan pembeli, ataupun antar berbagai kalangan masyarakat. Berbeda dengan pasar modern yang harga-harganya sudah dituliskan di barang dagangan, pasar rakyat justru memberikan ruang negosiasi harga antara penjual dan pembeli. Selain itu, pasar tradisional juga sangat memberi tempat kepada produk atau barang-barang bernilai budaya lokal.

Sekarang ini, karena pemerintah merestui liberalisasi ekonomi, maka pasar rakyat pun semakin terancam oleh ekspansi peritel raksasa modern, seperti Carrefour, Giant, Hypermart, 7-eleven,  Circle K, Lotte Mart, dan lain-lain.

Pertarungan di atas kertas saja menunjukkan bahwa peritel raksasa akan dengan mudah menyingkirkan usaha rakyat. Peritel modern didukung oleh modal yang lebih besar, fasilitas, tekonologi, dan ruang yang strategis, sementara pasar rakyat identik dengan kumuh, senrawut, dan bau kurang sedap.

Sementara di lapangan,  Menurut data yang diperoleh dari Euromonitor tahun 2004, hypermarket merupakan peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25 persen), koperasi (14,2 persen), minimarket (12,5 persen),independent grocers (8,5 persen), dan supermarket (3,5 persen). Selain mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka penjualan, peritel modern mengalami pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2,4 persen per tahun terhadap pasar tradisional.

Kalau pangsa pasar domestik dikuasai oleh peritel raksasa asing, maka produsen dalam negeri pun akan kena getahnya, dalam hal ini industri dalam  negeri, usaha kecil (UKM), dan sektor pertanian.

Kehadiran peritel asing juga sangat berkontribusi dengan membanjirnya impor barang dan jasa dari luar negeri. Sebagai jalan mengatasi kelebihan produksi di negeri asalnya, peritel asing seringkali menjadi “pipa pembuangan” kelebihan tersebut. Sekarang ini, jangankan produk-produk elektronik dan sejenisnya, ritel raksasa mulai menjejalkan berbagai jenis buah-buahan impor.

Situasi ini semakin diperparah dengan “kedurhakaan” pemerintah terhadap pasar rakyat, baik pemerintah pusat maupun daerah. Bukannya membenahi pembangunan dan pengelolaan pasar rakyat itu, pemerintah malahan seperti sengaja membiarkan pasar rakyat kian terpuruk, dan selanjutnya menjadi alasan untuk menggantinya dengan pasar modern yang dimiliki swasta atau modal besar.

Mengingat peran krusial pasar rakyat sebagai “jantung” ekonomi rakyat, sekaligus sebagai salah satu medium penjaga interaksi social-budaya, maka tidak ada alasan sedikitpun bagi pemerintah untuk mengabaikannya.

Untuk itu, pemerintah perlu menggelontorkan dana untuk membangun infrastruktur dan fasilitas modern di pasar rakyat ini, tanpa sedikitpun usaha untuk menyingkirkan pedagang kecil dan PK5.  Selain itu, guna menahan ekspansi merusak peritel raksasa, pemerintah harus tegas menerapkan proteksi, misalnya melalui zonasi, ataupun pelarangan peritel raksasa dan asing memasuki kabupaten, kecamatan, dan desa-desa.


[1] Di sini, kami tidak menggunakan label “pasar tradisional” yang sangat rancu, seolah-olah pasar rakyat tidak bisa bertransformasi menjadi modern.

[post-views]