Menggugat Hukum Perburuhan Yang Tak Berkeadilan

Akhir-akhir ini perjuangan kaum buruh dalam menuntut hak-haknya marak terjadi. Diantaranya, mereka menggelorakan tuntutan revisi Undang-Undang (UU) nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial (PHI).

Tuntutan yang berawal dari aksi memperingati Hari Buruh Sedunia 2015 di Jawa Timur itu mendapat respon dari Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dan saat ini sedang dalam proses Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Evaluasi berupa kritik atas aturan bermunculan tak hanya dari pihak gerakan buruh, tetapi juga para akademisi dan anggota legislatif. Banyak yang menyebut aturan yang dianggap diskriminatif ini sarat dengan kepentingan asing. Ada juga menganggap aturan ini sebagai manifestasi dari agenda neoliberalisme yang menghilangkan peran negara dan menyerahkannya pada pasar.

Dasar Kritik atas UU No.2 Tahun 2004

UU No.2 tahun 2004 berisi aturan tentang proses dan tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara buruh dengan pengusaha. Secara menyeluruh, alur proses penyelesaian perselisihan dijabarkan dari proses bipartit, konsiliasi/arbitrase, mediasi, hingga ke pengadilan hubungan industrial.

Sepintas lalu, kita melihat seolah aturan di atas sudah mengatur secara menyeluruh soal proses penyelesaian PHI, kenapa harus direvisi? Jawaban atas pertanyaan di atas dapat dijelaskan dalam sisi aturan maupun realitas yang dialami oleh pekerja dalam setiap sengketa. Ada beberapa point yang harus menjadi bahan evaluasi aturan tersebut?

Pertama, UU No.2 tahun 2004 memberikan proses penyelesaian perkara yang sangat panjang dan berbelit-belit bagi buruh. Apalagi jika kasusnya sampai ke Mahkamah Agung, waktu yang dibutuhkan bisa tahunan.

Kedua, buruh yang terkena PHK umumnya mengalami kesulitan ekonomi. Ketika pada saat yang sama buruh harus mengurus gugatannya ke PHI, hampir pasti buruh berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi harus mencari nafkah buat keluarga, dan di sisi lain harus memperjuangkan hak melalui pengadilan. Karena itu, wajar jika buruh memilih jalur konfrontatif, seperti boikot dan mogok, karena negara tidak hadir dalam kasus yang dihadapinya.

Ketiga, ancaman PHK yang menjadi stigma negatif bagi buruh berstatus kontrak dan outsourcing. Dalam banyak kasus, ketimbang menempuh proses panjang dan berbelit-belit, mereka memilih pasrah bekerja di bawah hak-hak normatifnya yang dilanggar.

Keempat, selain persoalan waktu dan tenaga, buruh yang membawa kasusnya ke PHI juga harus mengeluarkan biaya. Padahal, mereka sudah tidak bekerja. Di sisi lain, mereka juga harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Terlebih jika kasusnya sampai ke Mahkamah Agung.

Kelima, aturan ini melemahkan peran negara, dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja, dalam menangani kasus ketenagakerjaan. Disnaker tidak punya peran dalam pengambilan keputusan. Otoritasnya sebagai dinas urusan ketenagakerjaan hanya sebagai mediator dalam perselisihan industrial sebelum dibawa ke PHI. Hal ini sejalan dengan konsepsi neoliberal yang ingin memangkas peran negara. Termasuk dalam mengurusi tenaga kerja.

Revisi Harus Bervisi Keadilan Sosial

Rencana revisi UU No.2 tahun 2004 ini seharusnya menjadi  titik balik dalam sistim perburuhan Indonesia. Namun, jika tidak dikawal oleh gerakan buruh, boleh jadi revisi ini hanya bersifat “tambal sulam”, bukan mengatasi akar persoalan yang ada.

UU ini adalah salah satu bukti neoliberalisme menjadi sistem yang dianut oleh indonesia saat ini. Dan upaya menciptakan pasar tenaga kerja yang murah menjadi dalih kenapa ruang buruh untuk memperjuangkan hak-haknya dipersempit.

Padahal, di era Bung Karno kita mengenal UU No.22 tahun 1957 yang memberi peran negara yang dominan dalam penyelesaian perselisihan industrial. Dalam UU itu, negara membentuk Panitia Penyelesaian Perselisihan dari pusat hingga daerah. Orang2 yang menjadi anggota panitia ini berhak memutuskan siapa yang benar dan salah, sedang pengadilan hanya menindaklanjuti dengan memberi pengesahan hukum.

Hubungan industrial yang berkeadilan sudah seharusnya dijalankan oleh pemerintaha saat ini. Buruh harus menjadi bagian penting yang harus dilindungi oleh negara, bukan dilemahkan sehingga pengusaha superior dalam perselisihan industrial. Untuk itu, tata hukum perburuhan harus dirombak agar sejalan dengan cita-cita Pancasila dan UUD 1945. Hukum yang “tajam ke bawah, tumpul ke atas” sangat melukai nilai keadilan sosial.

Bagi saya, seperti juga ajaran Bung Karno tentang sosio-demokrasi yang menghendaki keadilan politik dan ekonomi, maka hukum pun juga harus menjadi keadilan ekonomi. Hukum tidak berdiri di ruang kosong. Hukum harus berpihak pada keadilan sosial. Jadi, bukan hanya soal hukum yang menjamin proses penyelesaian perselisihan yang cepat, murah, dan gampang, tetapi sebuah hukum perburuhan yang melindungi dan membela hak-hak kaum buruh.

Muhamad Ikbal A Ibrahim, Ketua Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Sulawesi Tengah dan Wakil Sekretaris Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik (KPW – PRD) Sulawesi Tengah

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid