Agar Gerakan “Ayo Kerja” Lebih Membumi

Setiap momentum Hari Kemerdekaan seharusnya menjadi ajang untuk menggerakan bangsa. Seperti tahun ini, di peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-70, ada seruan “Ayo Kerja”.

Seruan Ayo Kerja sekaligus menjadi tema Hari Kemerdekaan tahun ini. Saya sangat bersetuju dengan tema itu: singkat, padat, dan jelas. Bandingkan dengan tema-tema Hari Kemerdekaan di tahun-tahun sebelumnya: panjang-panjang dan abstrak.

Memahami Ayo Kerja

Ayo Kerja bukan hanya slogan belaka. Pada 10 Maret lalu, di ujung barat Indonesia, di kota Sabang, Pulau Weh, Aceh, Presiden Jokowi mendeklarasikan Ayo Kerja sebagai sebuah pergerakan. Lebih tepatnya: Gerakan Nasional Ayo Kerja.

Jokowi menjelaskan, Ayo Kerja bukanlah pergerakan kecil, melainkan sebuah pergerakan besar untuk merombak sifat mendasar masyarakat kita. Dia pun mengutip pernyataan Bung Karno untuk memaknai pergerakan besar ini: “Ini adalah sebuah pergerakan menjebol mentalitas bangsa yang berada dalam keterjajahan, ketertindasan, ketidakadilan, ketidakmerdekaan serta membangun mentalitas baru sebagai bangsa yang merdeka 100 persen.”

Penjelasan Jokowi menyiratkan bahwa gerakan Ayo Kerja membawa misi sejarah yang juga besar. Misi sejarah itu adalah mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, yaitu membebaskan setiap manusia Indonesia dari berbagai bentuk ketertindasan dan keterjajahan, baik secara fisik maupun mental.

Jelaslah, Ayo Kerja harus dimaknai sebagai gotong-royong, yaitu pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama, untuk mewujudkan cita-cita merdeka 100 persen.

Pada titik itu, saya kira, kritik yang dilontarkan oleh Yusril Ihza Mahendra terasa tidak tepat.  “Ayo Kerja! Siapa yang gak mau kerja Om? Wong cari kerja susah. Yang udah kerja aja kena PHK,” ujar Yusril melalui akun twitternya.

Gerakan Yang Membumi

Di negeri ini, seringkali gagasan besar hanya berkumandang di langit retorika, tetapi tidak pernah memijak dunia kenyataan. Tidak usah jauh-jauh, lihat saja nasib gagasan besar yang diusung oleh Jokowi-JK, seperti Trisakti, Nawacita, dan Revolusi Mental, hampir semuanya menggantung di langit retorika.

Kita tidak mau gerakan Ayo Kerja mengalami nasib serupa. Untuk itu, saya mengajukan beberapa catatan agar gerakan ini bisa punya pijakannya di dunia nyata.

Pertama, sebagai sebuah pergerakan besar, Ayo Kerja harus menjebol penyakit-penyakit yang menghambat kemajuan negeri ini menuju kemerdekaan 100 persen, yaitu neokolonialisme, penyakit mental “minderwaardigheid-complex(penyakit selalu merasa rendah diri), dan alam politik liberal.

Neokolonialisme sangat nyata hari ini. Semisal dalam urusan politik, banyak sekali kebijakan politik, termasuk Undang-Undang, yang tidak lepas dari campur tangan asing. Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut ada 76 UU di negeri ini yang kental dengan campur tangan asing. Kabarnya, campur tangan itu melalui tangan tiga lembaga asing, yakni World Bank (Bank Dunia), International Monetary Fund (IMF) dan USAID.

Di lapangan ekonomi juga demikian. Saat ini ekonomi kita sangat bernuansa neoliberal. Ini tidak lepas dari campur tangan triumvirat lembaga kapitalis global: IMF, Bank Dunia, dan WTO. Awalnya, mereka menjerat leher kita melalui utang (debt trap). Lalu, mereka memaksa kita meneken paket kebijakan ekonomi yang mengusung tiga agenda utama neoliberalisme, yaitu: perdagangan bebas barang dan jasa, sirkulasi bebas kapital, dan kebebasan investasi.

Begitu juga dengan penyakit minderwaardigheid-complex. Penyakit warisan kolonialisme ini membuat bangsa kita, terutama sebagian besar pemangku kekuasaan, selalu merasa lebih rendah di hadapan bangsa luar. Akibatnya, mereka tidak pernah percaya dengan kemampuan sendiri dan tidak punya tekad untuk berdikari.

Sementara alam politik liberal, yang oleh Bung Karno disebut “free fight liberalism”, hanya menyuburkan pragmatisme, egosentrisme, politik uang, klientalisme, dan korupsi. Politik bukan lagi menjadi ranah untuk memperjuangkan kepentingan publik (Res Publica). Dalam situasi demikian, sulit sekali memanggil orang terjun ke politik demi memperjuangkan kepentingan bangsa dan kemanusiaan.

Kedua, gerakan ini perlu dimulai dari atas, yaitu di lingkungan para pemimpin dan seluruh aparatus negara. Prinsipnya: Regis ed exemplar, melalui teladan pemimpin rakyat diarahkan! Ing ngarsa sung tulada.

Masalahnya, sejak pemerintahan Jokowi-JK mengumandangkan Revolusi Mental, corak berpikir dan budaya kerja belum banyak berubah. Mereka tetap lamban, elitis, kolot, korup, suka dilayani, textbookthinkers, suka menjilat, dan lain sebagainya. Sementara aparatus bersenjata, yakni TNI dan POLRI, masih mempertontonkan perilaku sebagai centeng pemilik modal ketimbang melindungi dan mengayomi rakyat.

Ketiga, karena Ayo Kerja adalah pergerakan untuk merombak mentalitas bangsa, maka mobilisasi rakyat adalah kunci suksesnya. Sebab, perubahan mental manusia tidak jatuh dari langit, juga tidak terjadi karena titah penguasa. Manusia mengubah dirinya melalui praktek perjuangan, yaitu persinggungan antara aktivitas manusia dan lingkungan sosialnya.

Tetapi ada prasyarat agar rakyat bisa memobilisasi diri dan berpartisipasi. Satu, adanya jaminan kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Dua, adanya jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan dasarnya, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, sebagai basis pengembangan dirinya sebagai manusia. Tiga, adanya penciptaan ruang untuk partisipasi rakyat, misalnya melalui pelibatan rakyat dalam berbagai proses perumusan dan pengambilan kebijakan.

Saya kira, mobilisasi rakyat inilah intinya. Sebetulnya, pada Pilpres lalu, basis politik Jokowi ada di rakyat ini. Dia meraih dukungan rakyat yang cukup besar. Sayang, dukungan rakyat itu tidak diubah menjadi partisipasi politik.

Sekarang dukungan rakyat itu mulai membeku. Ini terjadi lantaran dua hal. Pertama, gaya kepemimpinan politik Jokowi yang cenderung teknoratis dan paternalisme negara, yang mengabaikan partisipasi rakyat dalam merumuskan dan memutuskan kebijakan. Kedua, situasi ekonomi yang memburuk, terutama akibat kenaikan harga BBM dan harga kebutuhan pokok, yang memukul langsung penghidupan rakyat di lapis bawah.

Tiga catatan di atas memang terkesan menyederhanakan. Tetapi, bagi saya, itu menjadi mutlak jika Jokowi ingin gerakan Ayo Kerja ini benar-benar bisa dibumikan di lapangan praktek dan berjalan di koridor yang tepat. Semoga gerakan Ayo Kerja tidak beringsut pergi seiring dengan berlalunya momentum peringatan Hari Kemerdekaan ke-70. Semoga!

Rudi Hartono, Pemimpin Redaksi Berdikari Online

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid