Hasil pemilihan umum (Pemilu) Meksiko, yang berlangsung tanggal 1 Juli lalu, seolah menjadi tanggul yang menghalau pasang politik kanan yang tengah berlangsung di Amerika latin sejak 5 tahun terakhir.
Kandidat dari sayap kiri, Andrés Manuel López Obrador, memenangkan pemilu dengan perolehan suara cukup signifikan: 53 persen. Dia menjungkalkan kandidat yang diusung oleh dua partai tradisional yang sudah berabad-abad silih berganti memerintah Meksiko, Partai Aksi Nasional (PAN) dan Partai Revolusioner Institusional (PRI).
López Obrador, yang ejaan namanya sering disingkat AMLO, berusaha menghadirkan alternatif yang progressif terhadap kepemimpinan politik lama yang korup dan neoliberal.
Banyak yang menyebut AMLO sebagai nasionalis-kiri. Beberapa menyebutnya “demokratik sosialis”. Sementara The Guardian menyebutnya “veteran kiri”. Sedangkan media-media arus utama di barat menyebutnya “populis”.
Dari PRI ke PRD
AMLO lahir dari keluarga pedagang di Villa de Tepetitán, Tabasco, Meksiko, pada 13 November 1953. Dari 1972-1976,dia belajar ilmu politik di perguruan tinggi paling bergengsi di Meksiko, National Autonomous University of Mexico (UNAM).
Tahun 1976, setelah lulus dari UNAM, dia bergabung dengan Partai Revolusioner Institusional (PRI). Partai yang lahir pasca revolusi Meksiko tahun 1920-an, sebagai aliansi longgar antara sektor yang progressif dan pengusaha liberal untuk melembagakan proses revolusioner. Awalnya, ideologi PRI didefenisikan sebagai nasionalis sekaligus sosialis.
Lázaro Cárdenas, Presiden Meksiko dari 1934-1940 dari PRI, mengklaim dirinya sebagai sosialis. Sewaktu berkuasa, dia menasionalisasi minyak, menjalankan reforma agraria, menjamin hak-hak pekerja dan mereformasi pendidikan agar lebih sekuler.
Di PRI, AMLO bergabung dengan sayap nasionalis-kiri. Dia mengasosiasikan dirinya sebagai pengikut garis politik Lázaro Cárdenas . Karena itu, sebagai aktivis kiri PRI, AMLO perhatian terhadap isu petani, buruh dan masyarakat adat.
Di tahun 1980-an, PRI makin ke kanan: semakin merapat ke Amerika Serikat dan sektor bisnis, semakin meninggalkan garis politik Cárdenas-isme. Di sisi lain, PRI makin tidak demokratis, baik secara internal maupun eksternal.
Saat itu, AMLO berusaha menghalau pergeseran itu, tetapi berbuah kegagalan. “Dari saat itu, saya berkesimpulan bahwa PRI jauh dari harapan,” kenang AMLO.
Di saat bersaman, faksi nasionalis kiri yang dipimpin oleh Cuauhtémoc Cárdenas, anak dari Lázaro Cárdenas, membentuk “Faksi Demokratik”. Belakangan, karena perbedaan garis yang tak terdamaikan, Faksi Demokratik keluar dari PRI dan membentuk partai baru, Partai Revolusi Demokratik (PRD).
AMLO dan mendukung Cárdenas dan faksinya. Dia keluar dari PRI, lalu menjadi bagian dari PRD. Tak lama kemudian, dia menjadi pimpinan PRD di Tabasco.
Menjadi Radikal Bersama PRD
Tahun 1990, AMLO muncul di televisi nasional setelah memimpin perlawanan rakyat melawan perusahaan minyak milik negara, Petróleos Mexicanos (PEMEX) yang merusak lingkungan.
Tahun 1994, dengan menggunakan kendaraan PRD, dia maju sebagai calon Gubernur di Pilkada Tabasco. Dia berhadapan-hadapan dengan kandidat yang diusung oleh PRI, Roberto Madrazo, yang didukung oleh kekuatan modal, media mainstream, dan oligarki.
AMLO kalah karena dicurangi. Dia dan pendukungnya tidak terima, lalu menggelar perlawanan. Salah satunya, dia memimpin long-march sejauh 1000 kilometer menuju Ibukota Mexico City untuk memprotes kecurangan Pilkada sekaligus menuntut perbaikan sistim pemilu.
Sejak itulah nama AMLO muncul di panggung politik nasional. Karena itulah, pada 1999, dia ditunjuk sebagai Presiden PRD.
Tahun 2002, dia berhasil merebut jabatan Kepala Pemerintahan Distrik Federal—semacam Walikota–di Mexico City, setelah unggul di Pilkada dengan suara 38,3 persen. Selama menjabat Walikota, dia membuat banyak terobosan, mulai dari bantuan sosial untuk kelompok rentan (kaum paling miskin), mensubsidi tarif kereta bawah tanah, perumahan rakyat, dan berhasil menata kota.
Karena prestasinya membangun kota, dia menduduki posisi Runner-Up di World Mayor Prize dunia tahun 2004. Di ujung jabatannya, kinerjanya diakui oleh 80 persen warga Mexico City.
Tahun 2006, AMLO melangkah ke politik nasional. Dia maju sebagai calon Presiden dari PRD. Sayang, karena dicurangi, AMLO kalah. Dia hanya kalah dengan selisih 0,58 persen dari pesaingnya dari partai kanan Partai Aksi Nasional (PAN), Felipe Calderón.
AMLO tak terima dicurangi. Pendukungnya menggelar mobilisasi umum. Sekitar 350.000 pendukung AMLO menduduki Zócalo Plaza selama berbulan-bulan, untuk memprotes kecurangan pemilu sekaligus menuntut penghitungan ulang.
Karena merasa menang, AMLO mendeklarasikan diri sebagai Presiden sah dan membentuk kabinet bayangan. Sayang, tanpa legitimasi formal, pemerintahan bayangan hanya nama di atas kertas. Apalagi, setelah pengadilan menganggap tuduhan AMLO tidak disertai bukti kuat.
Tidak patah semangat, tahun 2012, AMLO maju lagi sebagai Capres. Tetap dengan kendaraan PRD. Dan sekali lagi, dia tersungkur. Dia kalah dari kandidat PRI, Enrique Peña Nieto. AMLO menuding Peña Nieto membeli suara pemilih.
Oposisi yang Konsisten
Meski berulangkali kalah, AMLO tetap jadi oposisi yang konsisten.
Seperti di tahun 2008, ketika koalisi sayap kanan di Kongres, yaitu PAN dan PRI, memaksakan privatisasi perusahaan minyak negara PEMEX. AMLO dan anggota parlemen pendukungnya yang tergabung dalam Koalisi Progressif melakukan perlawanan keras.
Hal serupa dilakukan di tahun 2013, ketika Peña Nieto melakukan hal yang serupa. AMLO berada di garis depan penentang agenda neoliberalisme Peña Nieto, terutama di sektor energi. Dia juga menentang kesepakatan perdagangan bebas North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang merontokkan ekonomi dan kedaulatan nasional Meksiko.
Mendirikan MORENA
Filsuf Jerman Karl Marx pernah bilang: sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, selanjutnya lelucon. Dan begitulah jalan politik PRD.
Makin ke mari, PRD semakin bergeser ke kanan. Puncaknya, pada 2012 lalu, PRD ikut meneken Pakta untuk Meksiko (Fact for Mexico). Pakta untuk Meksiko adalah kesepakatan tiga partai terbesar di Meksiko, PRI, PAN dan PRD (mewakili 90 persen kursi di parlemen) untuk mendorong agenda neoliberal, termasuk di sektor pendidikan dan energi.
AMLO kecewa berat pada PRD. “Aku tinggalkan PRD karena pemimpinnya menghianati rakyat. Mereka ikut Peña Nieto dan meneken Pakta untuk Meksiko, yang tak lebih dari Pakta melawan Meksiko. Aku tidak bisa tinggal di partai yang menyetujui kenaikan pajak dan harga bensin naik tiap bulan,” kata AMLO.
Beruntung, pada 2012, AMLO sempat membentuk gerakan sosial bernama MORENA, singkatan dari Gerakan Regenerasi Nasional. AMLO kemudian mengubah MORENA menjadi partai politik 2014, sekaligus dipersiapkan sebagai kendaraan politik untuk pemilu 2014. Namun, kendati menjadi kendaraan elektoral, MORENA tetap dipelihara sebagai “partai gerakan”.
Kelahiran disambut baik oleh banyak kaum kiri dan kaum progressif, tetapi ada juga yang skeptis. Yang optimis melihat Morena sebagai partai masa depan yang bisa membawa kaum kiri ke dalam kekuasaan. Sebaliknya, mereka yang skeptis menganggap Morena sebagai “partai borjuis”.
Menghentikan Neoliberalisme?
Selama tiga dekade lebih, neoliberalisme menjadi pendekatan tunggal untuk ekonomi Meksiko. Mulai dari liberalisasi keuangan, perdagangan hingga investasi. Juga privatisasi aset dan layanan publik.
Neoliberalisme tidak hanya mendongkrat kemiskinan, tetapi juga konsentrasi kekayaan di tangan segelintir elit. Menurut Oxfam, kekayaan 10 orang terkaya setara dengan akumulasi kekayaan 50 persen orang termiskin.
Ditambah lagi, pada tahun 1994, Meksiko mengikuti agenda perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA). Sejak itu, ekonomi Meksiko tidak pernah tumbuh di atas 1 persen. Tingkat kemiskinan di tahun 2012 sebesar 52,3 persen, tidak berbeda jauh dengan tahun 1994 sebesar 52,4 persen.
“NAFTA menghancurkan kehidupan orang Meksiko yang tak terhitung jumlahnya,” kata Hobson, seorang aktivis Amerika yang pernah tinggal lama di Meksiko, seperti dikutip Reese Erlich di Leftist Landslide in Mexico di portal berita non-profit Common Dream, 2 Juli 2018.
Selain persoalan ekonomi, Meksiko juga dihunjam oleh korupsi yang mengakar dalam sistim politiknya. Di tahun 2016, Meksiko di peringkat 123 dari 176 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Ini berjalan beriringan dengan tingkat kekerasan akibat persaingan geng-narkoba. Sejak 2006, lebih dari 200.000 orang terbunuh oleh perang narkoba. Kemudian 30.000 orang dihilangkan. Yang teranyar, pada 2014, hilangnya 34 orang pelajar dari Ayotzinapa. Hingga sekarang, nasib mereka belum diketahui.
AMLO, yang dianggap “mesiah” oleh sebagian rakyat Meksiko, digantungi harapan untuk bisa menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Dan jelas itu tidak gampang.
Menghadapi neoliberalisme, AMLO menjanjikan kebijakan sosial dan peran negara yang lebih besar dalam ekonomi. Dia berjanji menaikan upah minimum, menciptakan 400.000 pekerjaan per tahun, serta pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat.
Untuk mengatasi ketimpangan, AMLO menjanjikan pajak yang lebih tinggi bagi korporasi dan kaum kaya. “Korporasi besar dan orang kaya di negeri ini harus membayar pajak lebih banyak,” kata AMLO, seperti dikutip teleSUR.
Sejumlah persoalan
Tentu saja, jika ingin mendorong perubahan radikal, AMLO berhadapan dengan tiga partai tradisional yang mendominasi politik Meksiko, yaitu PRI, PAN dan PRD.
Dan jangan lupa, Meksiko berbatasan langsung dengan Amerika Serikat. Tentu saja, AS akan sulit mentoleransi perubahan yang terlampau radikal di halaman belakangnya.
Persoalan lain ada di dalam koalisi pengusung AMLO sendiri. Kita tahu, untuk maju ke pemilu 2018, MORENA beraliansi dengan partai buruh yang kiri dan partai konservatif Social Encounter Party (ESP). ESP menentang aboris, perkawinan sejenis dan LGBT. Tentu saja, cara pandang konservatif ESP akan menghalangi upaya AMLO dan Morena dalam mendorong demokrasi dan kesetaraan sosial.
Hubungan AMLO dengan kelompok kiri yang lain, termasuk Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN), juga tidak selalu harmonis. EZLN sendiri sudah mengumumkan sikap tidak mendukung AMLO. Meskipun AMLO berjanji akan memberlakukan perjanjian San Andres, yang diteken oleh pemerintah dan EZLN pada 1996.
Namun, jika melihat hasil pemilu, ada dukungan besar dan melimpah terhadap AMLO. Dukungan sosial yang dahsyat ini bisa menjadi modal politik bagi AMLO dan MORENA untuk mendorong perubahan mendasar di Meksiko. Semoga.
Raymond Samuel
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid