Melanjutkan Semangat ‘10 November 1945’

10 November 1945. Ahli-ahli sejarah mengingat peristiwa itu sebagai peristiwa heroik dan revolusioner. Pada hari itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan hebat kepada agressor/kolonialis yang baru saja tampil sebagai “pemenang” dalam perang dunia ke-II.

Tetapi sejarah 10 November 1945 bukan sekedar cerita heroik, bukan pula sekedar cerita tentang pengorbanan, tetapi juga tentang semangat mau merdeka sepenuh-penuhnya dari segala bentuk penjajahan. Berpuluh-puluh ribu orang rela menjadi tulang-belulang demi menghirup lebih banyak kemerdekaan. Tidak sedikit diantara mereka adalah rakyat jelata: tukang becak, bakul bakso, bakul tahu, penjual rombengan, dan lain-lain.

Kini, 66 tahun setelah proklamasi kemerdekaan dan peristiwa 10 November 1945, kita menghadapi situasi yang relatif sama: sebagian besar rakyat kita masih terbelenggu dalam kemiskinan, sebagian besar ekonomi nasional kita masih dikangkangi oleh asing, sebagian besar kehidupan ekonomi dan politik kita masih ditentukan oleh pihak asing dan bukan oleh bangsa kita sendiri.

Cita-cita proklamasi kemerdekaan, yaitu masyarakat adil dan makmur, makin menjauh dari pangkuan mayoritas rakyat Indonesia. Kata “merdeka” hanya menjadi slogan dan ungkapan kosong tanpa makna di tengah lautan rakyat yang tetap saja miskin dan terhisap. Peringatan hari pahlawan pun semakin berjarak dengan cita-cita mulia para pahlawan.

Bung Karno selalu mengatakan bahwa kemerdekaan hanyalah “jembatan emas” menuju masyarakat adil dan makmur. Karena itu, dengan mengikuti kata Bung Karno, tugas kita adalah membawa seluruh rakyat Indonesia meniti di atas jembatan emas itu menuju masyarakat adil dan makmur.

Tetapi analogi jembatan emas itu sendiri hanya merupakan penjelasan tentang sebuah proses, yaitu revolusi. Di dalam Indonesia merdeka, tugas kita adalah menjalankan atau melanjutkan revolusi itu, yaitu menjebol segala yang menghambat kemajuan dan membangun landasan untuk masyarakat masa depan.

Boleh dikatakan bahwa jembatan emas kemerdekaan itu sudah runtuh sekarang. Proses membangun masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik benar-benar terhenti di tengah-jalan. Penyebabnya adalah penghianatan para pemimpin atau penyelenggara negara yang sengaja menelikung dari cita-cita kemerdekaan.

Para pendiri bangsa, misalnya, menggariskan bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah pegangan hidup bangsa Indonesia dalam perjuangan mencapai cita-cita nasionalnya. Tetapi, dalam praktek kemudian, para pemimpin nasional sekarang justru mengabaikan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.

Para penyelenggara negara, dari sejak orde baru hingga sekarang ini, justru berpegang kepada faham dan sistem yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Orde baru kemudian mengundang kembali kolonialisme di Indonesia. Sementara pemerintahan pasca reformasi telah mengubah tatanan ekonomi dan politik Indonesia menjadi liberal.

Sejak kebangkitan kaum pergerakan hingga penyusunan konsepsi negara Indonesia merdeka ini, Indonesia masa depan sudah dirumuskan adalah masyarakat yang bisa saling bekerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama. Karenanya, hampir semua pendiri bangsa menentang neo-kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Sebab, semua sistem (stelsel) itu bertentangan dengan cita-cita Indonesia masa depan.

Oleh karena itu, untuk kembali kepada cita-cita proklamasi kemerdekaan dan semangat 10 November 1945, maka sudah saatnya kita membangkitkan semangat rakyat untuk melawan neo-kolonialisme dan kapitalisme.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid