Lika-Liku Divestasi Saham Freeport

Amanat  Undang-undang Nomor 4 tahun 2009  tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang mewajibkan perusahaan tambang asing mendivestasikan sahamnya kepada pihak nasional telah ‘mengganggu’ ketenangan perusahaan tambang asing yang beroperasi di negeri ini.

Apalagi ditambah dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.24/2012 yang mewajibkan perusahaan tambang asing mendivestasikan minimum 51%  sahamnya kepada pihak nasional. PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang asal Amerika Serikat, merupakan salah satu perusahaan yang terganggu ketenangannya oleh adanya kewajiban ini.

Seperti yang sudah dinyatakan secara resmi diakhir tahun lalu, Freeport hanya ikhlas melepas 20% sahamnya kepada pihak nasional. Angka ini tentu jauh dibawah angka minimum yang diamanatkan Peraturan  yang ada. Hingga sekarang, sikap Freeport itu tidak berubah.

Sementara itu, pihak pemerintah tetap menghendaki Freeport mendivestasikan sahamnya lebih dari 20%. Namun, anehnya pemerintah tidak mewajibkan Freeport melepas 51% sahamnya seperti yang diamanatkan oleh peraturan, tetapi hanya meminta 30%. Dalam sebuah acara diskusi publik yang diselenggarakan Indonesia Resources Studies  di Jakarta awal April lalu, Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)  R. Sukhyar mengatakan kepada pers bahwa angka 51% itu adalah angka maksimum. Padahal, jelas sekali tertera dalam PP No.24/2012, bahwa 51% merupakan angka minimum.

Peraturan Pemerintah No.24/2012

Pasal 97:

(1)  Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman  modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi  wajib  melakukan  divestasi  sahamnya  secara  bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya  paling sedikit 51 %  (lima puluh satu persen) dimiliki  peserta Indonesia.

(2)  Divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada peserta Indonesia yang terdiri atas  Pemerintah,  pemerintah  daerah  provinsi,  atau  pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMO,  atau badan usaha swasta nasional.

Alasan lain dari “kemurahan hati” pemerintah itu adalah besarnya biaya investasi yang dikeluarkan Freeport  karena perusahaan tersebut menggarap  proyek penambangan bawah tanah. Ini juga merupakan sebuah alasan yang rancu karena PP No.24/2012 mengamanatkan divestasi saham minimum 51% tanpa memberikan kompensasi apapun bagi perusahaan manapun.

Untuk diketahui, saat ini pemerintah Indonesia hanya memiliki 9,36% saham di PT Freeport Indonesia. Sementara selebihnya yakni 90,64% saham dimiliki oleh induk usaha Freeport Indonesia,  Freeport McMoran Copper & Golden Inc. Perusahaan tambang tembaga terbesar ketiga didunia ini mulai  beroperasi di tambang terbuka Grasberg,  Mimika, Papua  sejak tahun 1967, seiring dengan mulai berkuasanya rezim Soeharto.

Freeport beroperasi dibawah naungan UU Pertambangan No.11/1967 yang berbasiskan pada rezim kontrak karya (KK). Dalam skema ini, posisi pemerintah Indonesia dan perusahaan kontraktor adalah sejajar.  Kontrak yang dibuat dalam rezim KK juga harus dianggap sebagai produk hukum bersifat spesial atau lex specialis yang tidak  bisa ‘terjamah’ oleh aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sejak kelahirannya hingga kini, telah muncul 8 generasi KK dengan perusahaan KK tercatat sebanyak 37 perusahaan. Freeport sendiri termasuk dalam KK generasi pertama.

Divestasi saham Freeport sebenarnya telah diatur dalam klausul KK yang mereka sepakati. Ketika  KK Freeport diperpanjang pada tahun 1991, yang berarti memasukkan Freeport pada KK Generasi V,  pada Pasal 24  KK tersebut  mewajibkan Freeport  melakukan divestasi  dalam dua tahap. Tahap pertama adalah melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36% dalam 10 tahun pertama sejak 1991. Kemudian kewajiban divestasi tahap kedua dimulai tahun 2001, ketika Freeport  harus menjual sahamnya sebesar 2% per tahun sampai kepemilikan nasional menjadi 51%.

Untuk kewajiban divestasi tahap pertama sudah dilaksanakan. Sebanyak 9,36% saham Freeport telah dijual kepada PT Indocopper milik Grup Bakrie. Namun belakangan saham Indocopper itu dibeli kembali oleh Freeport Mc Moran.

Adapun untuk kewajiban divestasi tahap kedua urung dilaksanakan karena pada tahun 1994 pemerintahan Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20/1994. Di dalam peraturan tersebut, saham anak usaha dari perusahaan asing boleh dimiliki oleh pihak asing hingga 100%. Berlakunya peraturan ini menjadi ‘angin segar’ bagi Freeport untuk mangkir dari kewajiban divestasi. Maka, saham pihak nasional di Freeport pun masih tetap ‘kerdil’ hingga kini.

Freeport kerap berlindung dibalik alasan KK yang bersifat lex specialis untuk menghindar dari kewajiban divestasi minimum 51% saham seperti yang diamanatkan PP No.24/2012. Padahal, sejatinya azas lex specialis  hanya berlaku pada dua produk hukum yang formatnya sama, seperti antara peraturan pemerintah dengan peraturan pemerintah atau antara UU dengan  UU. Sementara KK bukanlah produk hukum yang setara dengan UU atau peraturan pemerintah, sehingga dengan sendirinya azas lex specialis tidak  berlaku bagi kasus Freeport ini. Dengan kata lain, Freeport harus tunduk pada peraturan yang berlaku di Indonesia.

Yang juga perlu diingat,  proses divestasi ini merupakan bagian dari proses renegosiasi kontrak karya yang terdiri dari enam point, yakni luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara baik pajak maupun royalti, kewajiban divestasi, hilirisasi di dalam negeri, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan domestik. Proses renegosiasi ini bertujuan merubah seluruh perusahaan KK, termasuk Freeport, menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sebagai  dampak dari pemberlakuan UU Minerba. Ganjalan dalam proses divestasi ini otomatis menjadi ganjalan bagi proses renegosiasi yang seharusnya sudah tuntas pada tahun 2010, sesuai amanat UU tersebut.

“Kemurahan hati” pemerintah yang memberikan peluang bagi perusahaan asing semacam Freeport dalam ‘mengangkangi’ regulasi yang dibuat oleh pemerintah sendiri merupakan contoh kegagalan rezim SBY-Boediono  dalam memulihkan kedaulatan negara atas sumber daya alamnya. Merosotnya perolehan suara Partai Demokrat selaku ‘gembong’ utama rezim SBY dapat memberikan peluang bagi pergantian rezim serta berlanjutnya proses pemulihan kedaulatan ekonomi secara lebih progresif. Inilah ‘pekerjaan rumah’ pemerintahan baru mendatang.

Hiski Darmayana, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia  (GMNI)  dan Jurnalis  Pertambangan

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid