Sejumlah Kejanggalan Dibalik Kabar “Plesiran” Gayus Tambunan

Berita mengenai “plesiran” mafia pajak nomor wahid, Gayus Tambunan, ke Kuala Lumpur, Singapura, dan Makau benar-benar membuat merah telinga kita. Sebelum ini, Gayus dikabarkan juga pernah melakukan “plesiran” ke Bali, dimana ia tertangkap kamera sedang menonton pertandingan final kejuaraan tenis.

Dengan penuh antusiasme media massa, bukan saja media elektronik tetapi juga cetak dan online, menyebar-luaskan berita ini ke penjuru negeri. Apa yang saya tangkap bukanlah keheranan atau kekagetan, melainkan rasa jijik dan muak.

Apakah segalanya serba kebetulan?

Isu “plesiran” Gayus ke sejumlah negara terkuak saat seorang warga Raffles Hills, Depok, Davina namanya, yang mengaku melihat seseorang yang memakai wig dan kacamata mirip Gayus pada 30 September 2010 lalu. Devina menuliskan pengalamannya ini di surat pembaca Kompas, Minggu 2 Januari 2011.

Dan, tidak beberapa lama kemudian, Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana mengunggah paspor atas nama Sonny Laksono di account Twitter-nya. Paspor ini memiliki foto yang sangat mirip dengan foto penyamaran Gayus saat nonton tenis di Bali.

Dan, segera setelah tersebar berita soal plesiran ini, sebuah account facebook pun memperlihatkan foto-foto Gayus saat berliburan di sejumlah tempat di mancanegara. Sungguh bukan kebetulan.

Saya bukan pendukung Gayus, tetapi saya menemukan kejanggalan di sini. Sejak awal, yaitu saat penangkapan Gayus Tambunan di Singapura, Denny Indrayana, yang juga merupakan orang kepercayaan presiden SBY, telah mengambil peran penting tetapi sangat janggal.

Mengenai kronologi penjemputan Gayus Tambunan di Singapura, Denny mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui secara pasti keberadaan Gayus di Singapura, tetapi ia telah dengan tidak sengaja menemukan Gayus saat sedang memesan makanan di Asian Food Court, Lucky Plaza.

Adalah sesuatu yang sangat aneh, dan sulit menyebut ini kebetulan saja, seorang mafia pajak nomor wahid seperti Gayus, yang sedang dicari-cari pihak kepolisian dan penegak hukum Indonesia, bebas berkeliaran mencari makan di Singapura. Saya menganggap bahwa kejadian di Asian Food Court itu merupakan awal dari sinetron “petualangan Gayus Tambunan”.

Kemudian, soal penggunaan wig yang sama antara saat plesiran di Bali dan pas foto paspor yang dibuat tanggal 5 Januari 2010. Kita tidak berbicara soal kisah mafia dalam film-film action, tetapi mungkinkah Gayus mempergunakan hanya satu jenis wig saja, dengan sebuah kacamata yang persis sama.

Sulit Dipercaya

Jumlah uang yang berada di rekening Gayus, sebagaimana sering diberitakan media, berkisar Rp28 milyar. Sementara mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji menyebut nilai kekayaan mantan pegawai pajak ini bisa mencapai Rp200 milyar.

Dengan jumlah uang segitu, adalah sangat sulit bagi saya untuk percaya bahwa Gayus berani menghabiskan seluruh uang itu hanya untuk plesiran, menyogok petugas rutan, menyuap petugas imigrasi, dan pejabat lainnya. Jika benar jumlah kekayaannya berkisar Rp200 milyar, maka itu akan sangat terbatas untuk berfoya-foya dan menyuap pejabat terkait.

Dalam bayangan saya, Gayus tentunya tidak terlalu bodoh untuk mengambil semua uang di brangkasnya dan kemudian dipakai untuk bersenang-senang, tanpa berfikir soal kehidupa diri dan keluarganya pasca dipenjara.

Pejabat Terkait Harus Mundur

Dan, kalaupun ternyata cerita mengenai plesiran ke luar negeri itu memang benar, maka seluruh pejabat puncak di bidang penegakan hukum harus mengundur diri, seperti Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.

Kejadian ini bukan sekedar menjelaskan mengenai buruknya penegakan hukum, tetapi sebuah tamparan keras terhadap pemerintah yang kemana-mana selalu mengaku bersih dan anti-korupsi.

Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa para pejabat itu malah berebut tampil di depan TV untuk membahas cerita memalukan ini. Lihat saja bagaimana Denny Indrayana seolah-olah tampil sebagai pahlawan setelah menggunggah paspor yang fotonya mirip Gayus.

Dan, terhadap Gayus sendiri, kita seharusnya berbicara mengenai sanksi yang berat, tidak sekedar pemiskinan. Saya sendiri punya bayangan mengenai sistim sanksi bagi koruptor, yaitu ganti-kerja. Di sini, para koruptor akan dipekerjakan di lapangan produksi tertentu tanpa diupah dan tanpa hak demokratis, yang mana masa kerja (sanksinya) disesuaikan dengan jumlah uang negara yang dikorupsinya. Tolak ukurnya adalah upah minimum pekerja/buruh.

Rejim berkuasa mengambil keuntungan di balik kasus ini

Dengan menonjolkan kekuatan Gayus, ada pihak tertentu yang mencoba menggunakan situasi ini untuk kepentingan politik pencitraan dan sekaligus untuk mengunci lawan-lawan politiknya.

Rentetan kejadian ini berusaha menempatkan Gayus sebagai mafia kelas kakap. Dengan mengungkap satu persatu kesalahan dan tipuan-tipuan Gayus, rejim berkuasa masih merasa pantas disebut “berkomitmen kepada pemerintahan bersih”.

Gembar-gembor mengenai reformasi birokrasi memang tidak kelihatan hasilnya, sehingga rejim pun berusaha memoles beberapa kejadian penting untuk dijadikan bukti bahwa pemerintah masih “punya komitmen”.

Disamping itu, karena Gayus memiliki keterkaitan dengan banyak pihak, termasuk aparat penegak hukum, pengusaha, dan politisi, maka kasusnya pun bisa berfungsi semacam “remote control” untuk mengunci gerak-gerik lawan politik.

“Sinetron Gayus Tambunan“ ini, seperti juga isu terorisme, bisa dimunculkan dan diendapkan kapan saja, terutama ketika ada kebijakan atau kesalahan pemerintah yang mendapat kritik luas dari masyarakat.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid