Bung Karno: Saya Anti-Fasis!

Banyak yang menuding, terutama orang-orang Belanda, bahwa Bung Karno adalah kolaborator Jepang. Bahkan, sayap kanan Belanda menyamakan Bung Karno dengan Quisling, nama Perdana Menteri Norwegia yang berkolaborasi dengan kekuatan fasisme yang sedang menduduki negerinya.

Benarkah Bung Karno berkolaborasi dengan fasisme?

Ketika bahaya fasisme mulai mengintai Hindia-Belanda, hampir semua tokoh pergerakan rakyat bereaksi. Sebagian besar mengambil posisi anti-fasisme. Salah satunya adalah Bung Karno. Ia giat menerbitkan sikap politiknya itu melalui koran-koran pergerakan.

Pada tahun 1940, misalnya, melalui koran “Panji Islam”, Bung Karno menulis artikel berjudul “Indonesia versus Fasisme”. Di situ Bung Karno menulis pertentangan antara jiwa Indonesia dengan jiwa fasisme. Menurutnya, jiwa Indonesia adalah jiwa demokrasi, kerakyatan, sedangkan jiwa fasisme adalah anti-demokrasi dan anti-kerakyatan.

Lebih lanjut, Bung Karno mengurai falsafah hidup fasisme. Pertama, fasisme menolak persamaan hak bagi seluruh manusia. Kedua, fasisme mensubordinasikan kemanusiaan di bawah superioritas kebangsaan.

Falsafah fasisme itu, kata Bung Karno bertolak belakang dengan pandangan hidup kaum demokrat, kaum islam, dan kaum marxis. Bagi kaum demokrat, hak manusia adalah sama-rata. Lalu, bagi kaum Islam, manusia juga harus diletakkan sama-rata dan lebih penting ketimbang bangsa. Dan bagi kaum marxis, kesejahteraan manusia lebih penting ketimbang bangsa.

Pendek kata, menurut Bung Karno, perbedaan fasisme dengan tiga golongan lainnya (demokrat, islam, dan marxis) terletak sikap mereka terhadap “kemanusiaan”. Fasisme menolak kemanusiaan, sementara tiga ajaran tadi justru berpijak pada kemanusiaan.

Dalam tulisannya yang lain, Beratnya Perjuangan Melawan Fasisme, yang dimuat koran “Pemandangan” tahun 1941, Bung Karno mengulas asal-usul fasisme. Saya rasa, inilah point penting Bung Karno soal fasisme. Sebab, banyak orang salah kaprah soal fasisme; seolah-olah semua penguasa lalim dan kejam adalah fasistik.

Bung Karno, seperti juga kaum marxis, melihat fasisme tidak terpisah dari kapitalisme. Bagi Bung Karno, fasisme adalah penyakit kapitalisme yang sedang mengalami penurunan (krisis) atau kapitalisme monopoli. Bung Karno punya penjelasan kurang lebih begini: “ketika kapitalisme masih muda atau sedang berkembang, ia membutuhkan kebebasan di lapangan ekonomi dan, tentu saja, kebebasan politik. Karena itu, ia membutuhkan demokrasi parlementer. Namun, ketika kapitalisme mulai menurun (tua), juga perusahaan-perusahaan kecil dan menengah sudah dicaplok oleh perusahaan monopoli, maka yang dibutuhkan adalah “negara polisi” untuk menjaga kekuatan monopoli tersebut.

Nasionalisme yang anti-fasis

Banyak yang beranggapan, ideologi nasionalisme di manapun sangat dekat dengan fasisme. Anggapan ini sangatlah ahistoris dan mengabaikan kekhususan dalam perkembangan masyarakat.

Nasionalisme Indonesia, seperti juga di banyak negara jajahan lainnya, berwatak sangat progressif. Tidak hanya anti-kolonialisme, tetapi juga sangat humanis dan anti-kapitalisme. Hal serupa bisa kita lihat juga pada Sun Yat Sen dan Mahatma Gandhi.

Bung Karno sendiri sedari awal selalu membedakan nasionalisme di Eropa dengan nasionalisme di Timur. Di Eropa, katanya, nasionalismenya bersifat sangat agresif, karena didorong oleh nafsu kapitalisme untuk mengejar pasar baru, bahan baku, tenaga kerja murah, dan lahan baru bagi penanaman modal. Sebaliknya, di Timur, sangatlah progressif karena lahir dari perlawanan terhadap eksploitasi kolonial. Jadi, nasionalisme di Timur adalah antitesanya nasionalisme Eropa.

Bung Karno meracik jenis nasionalisme khas Indonesia, yakni sosio-nasionalisme. Yang menarik, sosio-nasionalisme ini bukan hanya anti-kolonialisme, tetapi juga sangat anti-kapitalisme dan humanistik. Sosio-nasionalisme-nya Bung Karno menghendaki masyarakat tanpa  l’exploitation de l’homme par I’homme (penghisapan manusia atas manusia) dan exploitation de nation par nation (penindasan bangsa atas bangsa).

Kenapa bisa begitu? Karena nasionalisme Bung Karno dibangun oleh analisa marxisme. Seperti dia bilang sendiri, “Marxisme itulah yang membuat saya punya nasionalisme berlainan dengan nasionalismenya nasionalis Indonesia yang lain, dan Marxisme itulahyang membuat saya dari dulu benci fasisme.”

Berkat bantuan teori marxisme, Bung Karno pun terang-benderang melihat akar dan asal-usul kolonialisme. Bagi Bung Karno, kolonialisme adalah manifestasi dari kapitalisme yang sedang membutuhkan pasar baru, bahan baku, tenaga kerja murah, dan tempat penanaman modal. Itulah yang membuat nasionalisme Bung Karno sangat anti-kapitalisme.

Kerjasama dengan Jepang

Dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno memberi bantahan terkait tudingan atas dirinya sebagai kolaborator Jepang.

Di situ dijelaskan, sebelum Bung Karno memutuskan menerima tawaran kerjasama dengan Jepang, dia, Bung Hatta, dan Sjahrir melakukan diskusi soal taktik. Diskusi selama tiga jam itu menghasilkan keputusan: taktik legal dan illegal.

Bung Karno dan Bung Hatta akan menjalankan taktik legal, yakni bekerjasama dengan Jepang, yang outputnya adalah menyiapkan gerakan rakyat, menyiapkan kader-kader pemimpin dan administratur untuk kelak Indonesia merdeka, dan tetap membakar semangat massa untuk kemerdekaan

Sementara taktik ilegal, yang akan dijalankan Sjahrir, lebih diarahkan pada aktivitas penyadapan berita dan kegiatan rahasia lainnya. Gerakan bawah tanah lainnya dilakukan oleh Gerakan Rakyat Antifasis (Geraf), yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin.

Bung Hatta juga menulis hal yang sama dalam buku Otobiografinya, Untuk Negeriku: Menuju Gerbang Kemerdekaan. Penjelasan Bung Hatta tidak berbeda dengan penjelasan Bung Karno.

Artinya, kerjasama Bung Karno-Hatta dengan Jepang hanyalah “taktik”. Selain itu, yang harus dicatat, taktik itu punya korelasi/keterkaitan dengan gerakan anti-Jepang di bawah tanah. Dan, menurut saya, kedua taktik ini punya kontribusi besar bagi perjuangan rakyat di kemudian hari.

Kapitsa M.S dan Maletin N.P, dua penulis Soviet yang menulis biografi politik Bung Karno, menulis, “walaupun secara formal melaksanakan perintah-perintah Jepang, namun kegiatannya, perjalanannya mengelilingi negeri ini, pidato-pidatonya, semua itu telah membangkitkan kesadaran nasional dan memperkuat keyakinan akan segera dicapainya kemerdekaan.”

Memang, dengan taktik “kerjasama” ini, Bung Karno berhasil menjalankan tujuannya sendiri, seperti pengorganisasian rakyat, melatih kecakapan pemuda/pemudi Indonesia, dan menyemaikan kesadaran anti-penjajahan. Bung Karno berhasil membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera), yang menghimpun banyak tokoh pergerakan, termasuk Bung Hatta dan Ki Hajar Dewantara.

Di kalangan pemuda, misalnya, Bung Karno membangun “Barisan Pelopor Istimewa”, yang merupakan bagian dari Djawa Hokokai, di mana di dalamnya terdapat pemuda-pemuda revolusioner: DN Aidit, Ir Sakirman, MH Lukman, Sidik Kertapati, AM Hanafie, dan lain-lain. Pemuda-pemuda inilah yang kelak memainkan peranan penting dalam menyiapkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Bung Karno juga, seperti diceritakan oleh Sidik Kertapati dalam “Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945”, Bung Karno dan Bung Hatta sering mengisi diskusi di grup-grup pemuda anti-fasis, khususnya di Angkatan Baru Indonesia.

Ketika pemuda-pemuda anti-fasis, yang dibina oleh grup Sjahrir, ditangkap dan disiksa Jepang. Bung Karno-lah yang datang membebaskan. Bung Karno juga yang membebaskan Amir Sjarifuddin, pemimpin gerakan anti-fasis saat itu, yang diancam hukuman mati. “Bebaskan dia (Amir) atau kalau tidak, jangan diharap lagi kerjasama dari saya,” kata Bung Karno kepada pemimpin Jepang.

Saya cenderung melihat, baik taktik legal maupun ilegal punya kontribusi besar bagi perjuangan rakyat. Taktik legal berkontribusi dalam mengorganisasikan massa, melatih kecakapan pemuda/pemudi, dan tetap menjaga kesadaran akan cita-cita kemerdekaan. Taktik legal ini sangat berkontribusi melahirkan “tenaga-tenaga” yang diperlukan untuk menjalankan Republik di masa awal. Sedangkan taktik ilegal berkontribusi besar dalam menjaga dan mengobarkan sentimen anti-fasisme di kalangan rakyat Indonesia.

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid