Tugas Kita: Bersatu, Kawal, dan Menangkan Cita-Cita Kemerdekaan Nasional!

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan alat demokrasi untuk mengartikulasikan kehendak politik rakyat sekaligus ruang untuk mempertarungkan konsep dan gagasan-gagasan politik para calon ‘nahkoda’ Republik ini.

Pada 9 Juli lalu, rakyat Indonesia ramai-ramai mendatangi tempat pemungutan suara untuk menentukan siapa nahkoda Republik untuk lima tahun kedepan. Sebelumnya, kurang lebih sebulan lamanya, rakyat sudah menyimak kampanye politik dua calon Presiden RI, yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo.

Pilpres sendiri berjalan damai. Proses pemungutan suara, yang berlangsung di 478.685 TPS di seluruh Indonesia, berjalan lancar. Tingkat partisipasi dan antusiasme pemilih, baik pada masa kampanye maupun di hari pemilihan, juga meningkat. Kita melihat, ada ekspektasi massa rakyat yang sangat besar bahwa Pilpres 2014 bisa melahirkan kepemimpinan nasional yang sesuai dengan kehendak rakyat.

Sayang, proses tersebut sedikit dicemari oleh tindakan para capres dan tim pemenangannya yang terlalu dini mengklaim kemenangan. Bahkan para capres sempat menggelar ‘deklarasi kemenangan’ secara sepihak. Padahal, klaim kemenangan itu hanya bersumber pada hasil hitung cepat (quick count) dari sejumlah lembaga survei dan lembaga independen.

Deklarasi kemenangangan yang terlalu dini dan sepihak itu tentu tidak tepat. Deklarasi tersebut telah mengangkangi otoritas lembaga resmi, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang memang diberi wewenang oleh Undang-Undang (UU) untuk melakukan penghitungan secara manual dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara hasil Pilpres. Bagi kami, demokrasi hanya bisa dirawat dan diperkuat kalau kita semua, termasuk para kandidat capres dan tim kampanyenya, tetap tunduk pada aturan main yang disepakati bersama. Selanjutnya, klaim kemenangan secara sepihak oleh kedua kubu capres tersebut juga berpotensi menyulut konflik horizontal di kalangan massa pendukung fanatik mereka.

Bung Karno berulangkali mengingatkan, Pemilu janganlah jadi arena adu kekuatan untuk menonjolkan politik egosentrisme, yakni politik yang menonjolkan kepentingan perseorangan, golongan, partai, suku, dan kedaerahan. Kalau hal itu terjadi, kata Bung Karno yang mengutip Abraham Lincoln, kita akan menjadi ‘a nation divided against itself’—sebuah bangsa yang terpecah belah karena gontok-gontokan dari dalam sendiri’.

Pemilu, bagi Bung Karno, hanyalah alat demokrasi untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan nasional, yakni masyarakat adil dan makmur. Pemilu hanyalah alat untuk ‘menjernihkan’ tuntutan-tuntutan rakyat. Pemilu juga hanya alat untuk memilih pemimpin dan perwakilan yang benar-benar setia dan berkomitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan. Jadi, kita harus membedakan mana alat dan mana tujuan; pemilu hanya alat, sedangkan tujuan kita adalah masyarakat adil dan makmur. Janganlah alat mengacaukan perjuangan mewujudkan tujuan.

Karena itu, Pilpres hanyalah sebuah alat demokrasi bagi rakyat untuk menunjuk kepemimpinan nasional yang berkomitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan nasional. Di situlah kesempatan rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi untuk ‘memurnikan’ atau mengajukan tuntutan-tuntutan mendesaknya kepada para calon pemimpin nasional. Di sini kita dituntut bisa mendefenisikan apa problem pokok bangsa kita dan menyusun tuntutan-tuntutan mendesak untuk menyelesaikannya.

Terkait pendefenisian problem pokok, menurut kami, kita sudah sampai pada keresahan bersama, yakni tergerusnya makna dan esensi kemerdekaan kita di berbagai lapangan berbangsa, terutama di lapangan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Kita mengalami apa yang Bung Karno dulu sebut sebagai ‘imperialisme modern atau neokolonialisme’, yakni proses penjajahan melalui penguasaan tidak langsung oleh negara-negara imperialis terhadap negara bekas jajahan di bidang ekonomi, politik, sosial-budaya, dan lain-lain.

Praktek imperialisme modern itu sangat nyata. Mari merujuk ke empat ciri imperialisme mondern sebagaimana dituturkan oleh Bung Karno, yakni: pertama, menjadikan Indonesia sebagai tempat penyedian bahan baku/mentah bagi indusri di negeri kapitalis maju; kedua, menjadikan indonesia sebagai penyedian tenaga kerja murah; ketiga, menjadikan Indonesia sebagai pasar penjualan barang-barang hasil dari berbagai industri di negeri kapitalis maju;dankeempat,menjadikanIndonesia sebagai tempat atau lapang usaha bagi penanaman modal asing.

Kalau kita cermati, empat ciri imperialisme modern itu persis dengan yang dialami oleh negeri kita saat ini. Hingga sekarang, negeri kita masih sebatas “penyedia bahan baku”, terutama yang berbasis sumber daya alam, untuk pabrik di negeri kapitalis maju. Hampir 70% ekspor kita masih berupa bahan mentah, seperti batu bara, bauksit, gas alam, minyak bumi, minyak sawit, karet, dan tembaga.

Selain itu, seiring dengan massifnya liberalisasi ekonomi, investasi asing mendominasi penguasaan dan eksploitasi SDA kita. Akibatnya,  sebagian besar keuntungan atau kekayaan yang dihasilkan oleh eksploitasi SDA itu mengalir keluar. Penguasaan asing terhadap SDA itu disertai pengusiran terhadap rakyat yang berdiam atau berusaha di atas wilayah tersebut.

Tak hanya itu, untuk memaksimalkan keuntungan bagi korporasi asing, terjadi mobilisasi tenaga kerja murah dan bersedia bekerja di bawah kondisi kerja yang buruk. Ini dilegalisasi dengan pengesahan UU ketenagakerjaan yang berazaskan “pasar tenaga kerja yang lentur”, yang mengesahkan penerapan sistim kerja kontrak dan outsourcing.

Belum cukup dengan itu, guna merealisasikan produksinya menjadi profit, imperialisme butuh pasar. Maka, sejak dalam beberapa tahun terakhir, pasar domestik kita dibuka selebar-lebarnya untuk menampung barang-barang impor dari negeri kapitalis maju. Ini juga termasuk di sektor pertanian. Akibatnya, sektor industri dan pertanian kita hancur lebur.

Imperialisme di lapangan ekonomi tidak mungkin berjalan tanpa dukungan politik. Karena itu, di bawah imperialisme modern ini, fungsi dan peran negara hanyalah untuk meniadakan resiko-resiko yang menghambat kepentingan investasi dan proses akumulasi kapital. Di sini negara neoliberal memainkan dua peran penting: pertama, menyiapkan regulasi untuk mendorong liberalisasi kepemilikan atas tanah tersebut; dan kedua, memberikan jaminan keamanan terhadap ekspansi kapital dan proses akumulasi kapital. Inilah yang menyebabkan negara kita kehilangan kedaulatan politik.

Lebih parah lagi, karena nafsu mengakumulasi profit, hampir semua layanan publik diprivatisasi. Termasuk layanan pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, cita-cita nasional kita untuk menyehatkan dan mencerdaskan bangsa menemui kegagalan.

Bagi kami, itulah problem pokoknya. Itulah yang menyebabkan kemiskinan, pengangguran, dan kemelaratan di mayoritas rakyat kita. Itu pula yang membuat kita gagal menggunakan potensi nasional kita, termasuk kekayaan alam, untuk kemakmuran dan kemajuan bangsa kita. Dan itu pula yang menyebabkan kita gagal mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur.

Karena itu, salah satu tuntutan mendesak kita adalah menghentikan praktik imperialisme modern itu. Dalam konteks pilpres ini, bentuk konkretnya adalah memperjuangkan lahirnya sebuah kepemimpinan politik nasional yang mau menomorsatukan kepentingan nasional di lapangan ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Atau singkat cerita, kita butuh pemerintahan nasional yang berlandaskan Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya.

Dan, syukurlah, dalam kampanye Pilpres lalu isu nasionalisme cukup menguat. Dua pasang capres yang bersaing, yakni Prabowo Subiato dan Joko Widodo, sama-sama mengusung retorika nasionalisme dengan berbagai polesannya. Gagasan-gagasan revolusi nasional, seperti Trisakti dan Revolusi Mental, juga diangkat kembali ke panggung politik nasional.

Nah, karena kedua capres sama-sama mengusung tema kemandirian nasional, maka tugas kita ada dua: pertama, mempertajam isu kemandirian yang dikampanyekan oleh para capres; kedua, mengawal dan memagari isu kemandirian itu agar tidak digembosi atau dilemahkan oleh isu-isu sekunder dan kampanye fitnah.

Sayang, dalam kampanye Pilpres lalu, apa yang diharapkan tidak berjalan mulus. Saling serang diantara kedua kubu capres, terutama di kalangan Tim Sukses dan pendukung fanatiknya, mengarah pada saling fitnah dan saling menjatuhkan. Namun demikian, kita juga patut mengapresiasi fakta, bahwa rakyat kita makin rasional dalam menyikapi berbagai kampanye berbau SARA dan fitnah.

Kita harus menyadari, Pilpres bukanlah arena untuk saling jegal dan saling menjatuhkan sehingga melemahkan bangsa. Sebaliknya, Pilpres harusnya menjadi arena demokrasi untuk memajukan kepentingan bangsa di atas kepentingan sempit atas nama golongan, suku, agama, partai, kedarahan, dan lain-lain.

Selain itu, seperti diingatkan oleh Bung Karno dan pelajaran dari berbagai pengalaman sejarah, imperialisme modern bisa dilawan dan ditaklukkan hanya dengan persatuan nasional. Artinya, bagi bangsa yang hendak keluar dari penjajahan imperialisme modern, persatuan nasional adalah tuntutan sejarah.

Karena itu, kita menyerukan agar gontok-gontokan diantara pendukung fanatik capres agar segera dihentikan. Kita perlu mengingatkan bahwa tugas mereka adalah mengawal program dari capresnya dan memastikan—kalau capresnya terpilih–bisa terlaksana.

Kita juga menuntut agar para Capres menghentikan berbagai bentuk deklarasi kemenangan yang mendahului pengumuman resmi KPU tanggal 22 Juli mendatang. Para capres itu harus ingat, kalau mereka memang menghargai kehendak dan kedaulatan rakyat, maka mereka juga harus punya kesabaran untuk menunggu hingga seluruh seluruh rakyat selesai dihitung oleh KPU.

Yang harus ditegaskan, siapapun yang terpilih kedepan, karena programnya berbasiskan pada cita-cita kemandirian nasional, harus dikawal dengan mobilisasi massa, masukan/usulan, dan kritik-kritikan  yang memajukan. Dan untuk itu, ada dua yang harus dipersiapkan: pertama, mewadahi antusiasme politik massa yang besar menjadi organisasi-organisasi rakyat: serikat buruh, serikat petani, serikat rakyat miskin, serikat pemuda, serikat pekerja seni, dan lain-lain; dan kedua, mengupayakan terus penyatuan kaum nasionalis dan mereka yang bersetuju dengan program kemandirian nasional, termasuk dua kubu capres yang bersaing, dalam kerangka mengawal program kemandirian nasional hingga pelaksanaannya.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid