Apa Pijakan Polri Untuk Penegakan Hukum Dalam Konflik Agraria?

Salah satu fungsi kepolisian adalah sebagai stabilisator keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Karena itu, kehadiran polisi dalam konflik agraria juga dalam kerangka penegakan kamtimbas itu.

“Itu sudah sesuai dengan ketentuan hukum. Jadi, BPN punya produk hukum. Sedangkan kepolisian sebagai penegak hukum,” kata Drs Maryono, pejabat kepolisian yang menghadiri diskusi bertajuk “Meninjau Ulang Posisi Polri Dalam Konflik Agraria” di kantor KPP PRD, Rabu (8/8/2012).

Maryono menjelaskan, dalam penanganan konflik di lapangan pun polisi sudah punya prosedur (SOP) tetap, yakni negosiasi, pencegahan, dan pembubaran paksa.

Sayangnya, kata Maryono, sekalipun sudah ada SOP yang baku, tetapi masih sering terjadi konflik di lapangan atau jatuhnya. “Apa  yang dilakukan oleh BPN atau Polri itu dilanggar oleh lapisan bawah. Artinya, lapisan bawah ini tidak menghargai adanya hukum di situ,” tegasnya.

Sertifikat versus Konstitusi

Maryono mengaku, polisi selama ini mengacu pada sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah. Katanya, penerbitan sertifikat sudah sesuai prosedur. “Ada surat pengantar RT/RW, kades/lurah, camat. Baru kemudian disahkan oleh BPN. Itulah yang disebut produk hukum,”  tegasnya.

Namun, cara pandang Maryono ini dianggap sangat normatif. Sebab, seperti diterangkan Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN), Yoris Sindhu Sunarjan, hak rakyat atas tanah tidak bisa dikesampingkan oleh sertifikat atau diukur dengan kepemilikan sertifikat.

“Bayangkan, ada rakyat yang sudah mengusai tanah itu puluhan tahun. Tiba-tiba ada kebijakan pemerintah menyerahkan tanah itu ke pengusaha. Itu bermodalkan sertifikat yang dibuat oleh BPN. Itu mengabaikan hak rakyat atas tanah sebagaimana diatur konstitusi,” kata Yoris.

Apalagi, kata Yoris, proses penerbitan HGU di Indonesia banyak yang bermasalah. Katanya, karena ada kepentingan modal atas tanah, maka BPN cenderung menjadi alat legitimator untuk merampas tanah-tanah rakyat.

Seharusnya, ujar Yoris, landasan hukum penangan agraria di Indonesia adalah konstitusi, yakni pasal 33 UUD 1945. Di situ, katanya, ditegaskan kedaulatan rakyat atas sumber daya alam, termasuk tanah.

Namun, polisi tetap bersikukuh pada pendekatan normatif. Bagi polisi, sertifikat sudah merupakan produk hukum yang sah. “Landasan hukum kita adalah sertifikat. Itulah yang kita tegakkan,” kata Maryono.

Pendekatan Represif

Terkait pendekatan refresif, Maryono juga menegaskan, polisi tidak akan menggunakan pendekatan represif sepanjang kondisi kamtibas itu tidak mengancam kepentingan orang lain, seperti pengrusakan barang atau mengancam keselamatan orang lain.

Ditanya soal indikator eskalasi untuk penggunaan pendekatan represif, Maryoto menjawab, “itu dinilai ketika massa mulai bertindak beringas dan membahayakan orang lain.”

Namun, bagi Ridha Saleh dari Komnas HAM, polisi tidak bisa mengabaikan hak rakyat atas tanah. Karena itu, bagi dia, pendekatan represif dalam penanganan konflik agraria tidak bisa dibenarkan.

Ridha mendesak kepolisian untuk mengutamakan pendekatan persuasif dan dialog. “Intelijen harus lebih difungsikan agar polri tahu betul akar persoalan,” katanya.

Hal senada diungkapkan oleh Yoris. Baginya, sudah saatnya penyelesaian konflik agraria diselesaikan dengan jalur negosiasi. Ia mengusulkan pembentukan semacam Panitia Nasional Penyelesaian Konflik Agraria.

Panitia ini, kata Yoris, akan melibatkan partisipasi semua pihak, seperti pemerintah, akademisi, serikat atau organinisasi petani, dan masyarakat.

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid