Warga Kampung Naringgul Terancam Hengkang Dari Tanahnya Sendiri

Rencana relokasi warga Kampung Naringgul RT 01/ RW 17, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat akan dilakukan  PTPN VIII Gunung Mas Nusantara Puncak. Alasannya untuk mengamankan dan  menyelamatkan aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan menata ulang areal pemukiman dan wisata sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di lokasi kawasan tanah HGU PTPN VIII Gunung Mas Nusantara Puncak sebagai pemegang izin HGU seluas 1.623.1869 hektar, yang terletak di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung. Menurut pengakuan PTPN VIII Gunung Mas Nusantara Puncak, Kampung Naringgul masuk ke dalam kawasan HGU yang dikelolanya sehingga sah untuk direlokasi berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 56/HGU/BPN/2004  tentang pemberian HGU atas tanah di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat tertanggal 6 September 2004.

Tetapi, jika ditinjau dari riwayat kesejarahan  penguasaan lahan tanah wilayah perumahan dan pemukiman  Kp. Naringgul RT 01/ RW 17, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua – Bogor,  areal lahan perumahan dan pemukiman Kp. Naringgul sudah mulai ditempati warga semenjak awal berdiri PT Gunung Mas  tahun 1910 semasa pemerintahan kolonial Belanda. Menurut cerita masyarakat yang berkembang secara mulut  ke mulut, generasi pertama Kampung Naringgul adalah sanak – famili ”Bapak Marhadi” yang merupakan buruh pekerja perkebunan Teh. Warga Kampung Naringgul pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda secara turun – temurun  menempati areal tanah tersebut sebagai Perumahan dan Pemukiman.

Pada tahun 1942, memasuki peralihan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda pada kekuasaan  Pemerintahan Fasisme Jepang, “Tuan Anthoni” mantan pemilik perkebunan berkebangsaan Belanda menghibahkan areal tanah Dusun Kiara Payung sebelum berganti nama menjadi Kampung Naringgul, kepada bekas kokinya”pasangan suami – isteri Uyut Aman dan Mak Iti”. Pasangan suami – isteri tersebut generasi kedua  penduduk asli Kampung Naringgul.  

Pada 1984,  Pak Iswaji ADM PTPN VIII Gunung Mas Puncak Bogor meminjam dengan melakukan  tekanan secara paksa terhadap  “Bapak Bawono” keturunan keluarga pemegang hibah areal tanah perumahan dan pemukiman yang juga bekerja di perkebunan sebagai buruh. Bapak Iswaji menawarkan areal perumahan dan pemukiman  Kampung Naringgul tukar tempat dengan areal tanah di Cimisblung yang masih hutan belantara karena areal tanah perumahan dan pemukiman Kampung Naringgul akan dijadikan lokasi emplasement PTPN VIII Gunung Mas. Bapak Bawono menolak tawaran pihak PTPN VIII Gunung Mas tersebut karena  memegang amanah para  pendahulu beliau untuk tidak meninggalkan atau memperjual – belikan. Areal tanah perumahan dan pemukiman tersebut harus terus ditempati oleh anak keturunan penduduk Kampung Naringgul; tidak boleh dialih-fungsikan dalam bentuk bangunan apapun atau diperjual – belikan kepada orang lain.

Karena tidak sanggup menghadapi tekanan bertubi – tubi dari pihak PTPN VIII Gunung Mas, secara terpaksa dan berat hati, Bapak Bawono menerima kesepakatan tanpa bukti tertulis di atas selembar kertas, membagi dua areal tanah perumahan dan pemukiman Kampung Naringgul: sebagian tetap menjadi areal perumahan sebagian  emplasement PTPN VIII Gunung Mas. Pada dasarnya bukan warga Kampung Naringgul yang mengokupasi kawasan wilayah HGU PTPN VIII Gunung Mas. PTPN Gunung Mas justru berbuat  sebaliknya mencaplok dan mengklaim secara sepihak areal tanah yang sudah ditempati secara turun – temurun oleh warga Kampung Naringgul.

Pada waktu Kementerian ATR/BPN mengeluarkan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri No. 12  Tahun 2017 dan Intruksi Presiden No. 2 tahun 2018, pada tahun 2019,  Warga Kampung. Naringgul mengajukan  lahan tanah  bangunan Perumahan – Pemukiman miliknya karena dianggap penting memiliki legalitas tanah dan bangunan rumah berupa sertifikat sebagai bukti kepemilikan atas tanah dan bangunan milik mereka. Namun, setelah diajukan  ke Dinas Kementerian ATR/ BPN Kabupaten Bogor,  bangunan rumah warga Kampung Naringgul  tidak bisa diajukan Program PTSL karena berdasarkan keterangan Dinas Kementerian ATR/ BPN Kabupaten Bogor Kampung Naringgul masuk ke dalam wilayah areal tanah kawasan HGU PTPN VIII Gunung Mas.

Menurut keterangan Ibu Iis, salah satu warga Kampung Naringgul, Pembayaran Pajak Tanah Kampung Naringgul dihentikan tahun 2013 oleh Bapak Haji Muhidin, Ketua RW  yang menjabat pada tahun 2013 tersebut karena Pajak Tanah warga Kampung Naringgul terkait Perumahan dan Pemukiman sudah dibayar oleh PTPN  VIII Gunung Mas. Bukti Surat Pembayaran Pajak Tanah (SPPT) pun satu – persatu diperlihatkan kepada warga yang membuat warga bingung dan bertanya – bertanya ada permainan apa antara Bapak Muhidin dengan Pihak PTPN VIII Gunung Mas? Warga merasa keheranan dan curiga:  ada sesuatu hal yang disembunyikan oleh Bapak Haji Muhidin selaku Ketua RW yang menjabat pada waktu itu.

PTPN VIII Gunung Mas sangat jelas  telah melakukan klaim – penyerobotan secara sepihak areal tanah Perumahan dan Pemukiman Kampung Naringgul; yang sebenarnya adalah pihak PTPN VIII Gunung Mas, statusnya  sebagai  peminjam  areal tanah Perumahan dan Pemukiman warga Kampung Naringgul untuk lokasi emplasement PTPN VIII Gunung Mas, tanpa uang sewa sepeserpun kepada pihak pemegang hibah areal tanah Kp. Naringgul. Diduga keras, PTPN VIII Gunung Mas melakukan praktek Mafia Tanah yang melibatkan oknum – oknum pejabat tertentu di Kabupaten Bogor, melakukan alih fungsi dan memperjual – belikan  areal tanah  Kawasan Tanah HGU yang dikelolanya untuk kepentingan  lainnya.   

Seabad lebih sudah, warga Kampung Naringgul menempati areal Perumahan dan Pemukiman kurang lebih 112 tahun. Terhitung semenjak  tahun 1910 sampai tahun 2022 sekarang. Warga Kampung Naringgul saat ini, sudah  memasuki generasi ke delapan.  Tercatat, jumlah penduduk Kampung Naringgul mencapai 235 kk, 675 jiwa manusia; mendiami areal lahan tanah Perumahan dan Pemukiman tersebut, terancam pergi diusir secara paksa dari kampung halaman dan  tanah kelahirannya sendirin. Semua ini disebabkan  klaim sepihak PTPN VIII Gunung Mas Nusantara Puncak yang mengagendakan Pembangunan Kawasan Agrowisata bekerja sama dengan PT Candi Sukuh dalam bentuk Kerjasama Kemitraan atau Kerjasama Operasi (KSO), yang merupakan agenda strategis pembangunan dan pengembangan investasi bisnis PTPN VIII Gunung Mas  di sektor agrowisata.

Apabila kita tinjau ulang permasalahan sengketa lahan antara Warga Kampung Naringgul dengan PTPN VIII Gunung Mas, secara  konstitusi negara dan secara histori penguasaan  areal tanah Perumahan dan Pemukiman  Kampung  Naringgul, posisi warga menempati dan tinggal, secara  alas hukum Konstitusi negara warga Kampung Naringgul sangat kuat yaitu mempunyai kekuatan hukum dengan berpedoman pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dan UUPA 1960 yang bunyi kalimat – kalimatnya adalah antara lain: Pasal 33 Ayat 3, UUD 1945,” bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Kemudian dalam UUPA tahun 1960 Pasal 15 ”memelihara tanah, termasuk menambah  kesuburan tanah serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap – tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.”

Kedua Undang – Undang negara tersebut membuktikan bahwa posisi dan kedudukan Warga Kampung Naringgul lebih berhak tetap menempati areal tanah Perumahan dan Pemukiman tersebut dibandingkan PTPN VIII Gunung Mas yang notabenenya adalah Perseroan atau Pelaku Usaha yang menyewa lahan tanah milik negara berupa izin Hak Guna Usaha (HGU) di sektor perkebunan dalam batas jangka waktu tertentu. Apabila masa berlaku izin HGU yang dipegang oleh PTPN VIII Gunung Mas selesai masa berlakunya dan jika  tidak diteruskan kembali oleh PTPN VIII Gunung Mas, diambil alih oleh Pemerintah. Bahkan, Warga Kampung Naringgul berhak mengusulkan Pengelolaan dan Kepemilikan Areal tanah Kawasan HGU kepada Pemerintah melalui Skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) Kebijakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini di sektor Agraria.

Pemerintahan Joko Widodo dalam melaksanakan penyelesaian sengketa dan konflik agraria telah mengeluarkan sebuah kebijakan dalam bentuk Perpres No. 86 Tahun 2018, sebagai payung hukum  bagi rakyat mengatasi sengketa lahan yang digarap atau ditempati masyarakat dan lahan – lahan tanah terlantar negara yang dikuasai rakyat, didistribusikan kepada rakyat agar  digunakan dan dapat dimanfatkan rakyat di bidang pertanian maupun non – pertanian dengan diberikan legalitas dalam bentuk sertifikat kepemilikan sebagai jaminan hukum dan perlindungan terhadap rakyat terkait sektor Agraria, sebagaimana pemasalahan yang sedang dialami oleh warga Kampung Naringgul yaitu menghadapi sengketa lahan dengan PTPN VIII Gunung Mas.

Sudah seharusnya, Kementerian ATR/BPN selaku Pemerintahan terkait, mengambil sikap dan tindakan tegas terhadap PTPN VIII Gunung Mas, mencabut Izin HGU PTPN VIII Gunung Mas di kawasan areal lahan tanah Kecamatan Cisarua dan Megamendung, khususnya Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua. PTPN VIII Gunung Mas Nusantara selama beroperasi mengelola kawasan areal tanah HGU di Kecamatan Cisarua  dan Kecamatan Megamendung, Bogor, khususnya Desa Tugu Selatan, tidak mendatangkan dampak positif bagi kehidupan warga masyarakat sekitar, di berbagai aspek kehidupan  sosial, ekonomi dan Lingkungan Hidup. PTPN VIII Gunung Mas Nusantara tidak menjalankan kewajiban dan tanggung jawab secara sosial kepada masyarakat setempat untuk meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan  dalam melakukan aktifitas usaha.

Wendy Hartono

(Ketua PW STN Jawa Barat)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid