Di banyak negara di dunia, terutama di Eropa, pembagian spektrum politik itu biasanya sederhana: kiri, tengah, dan kanan. Spektrum kiri biasanya mencakup kaum sosialis, komunis, hijau, dan lain-lain. Sementara spektrum kanan diisi oleh kalangan nasionalis, liberal, dan konservatif. Dan, yang menarik, kelompok tengah—sering disebut catch-all party—lebih pragmatis dan tidak memerlukan ideologi yang ketat.
Di dalam sejarah Indonesia, kendati tendensi-tendensi itu diakui ada, tetapi pembagian spektrum politik kiri-kanan itu jarang digunakan. Kebanyakan pemetaan politik di Indonesia mengacu dua pemikir, yakni Clifford Geertz dengan politik alirannya dan Bung Karno dengan konsep tiga kekuatan (nasionalis, islamis, dan marxis).
Clifford Geertz, antropolog berkebangsaan Amkerika Serikat itu, yang paling pertama kali memperkenalkan istilah politik aliran itu untuk mengkategorisasikan spektrum politik di Indonesia. Geertz membagi masyarakat Jawa dalam tiga aliran: abangan, santri, dan priayi.
Kategorisasi ala Geertz cukup mempengaruhi pemikiran politik Indonesia sejak dulu hingga sekarang. Pada tahun 1950-an, misalnya, kategorisasi Geertz dipakai pula untuk menggambarkan spektrum politik Indonesia. PNI, misalnya, dianggap partainya kaum priayi (aristokrat/birokrat). NU/Masyumi menjadi partainya kaum santri. Sedangkan kelompok abangan (petani dan kalangan bawah) banyak tersebar di PKI dan lain-lain.
Memang, penggunaan kategorisasi Geertz untuk menggambar spektrum politik saat itu tidak sepenuhnya akurat. Banyak juga kaum abangan yang masuk ke PNI dan NU. Pada tahun 1920-an, banyak kaum santri menjadi pendukung SI-merah/PKI. Juga, pada tahun 1920-an, banyak petani, pedagang kecil, dan buruh menjadi penyokong PNI.
Pada tahun 1920, Bung Karno melalui risalahnya yang terkenal, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, yang mengelompokkan tiga aliran politik dalam pergerakan anti-kolonial di Indonesia: nasionalis, agamais, dan marxis. Tahun 1960-an, Ia mengembangkannya menjadi Nasakom: nasionalis, agamais, dan komunis.
Kategorisasi Bung Karno ada benarnya. Pada tahun 1920-an, memang spektrum organisasi politik di Indonesia bisa ditarik dalam tiga kategori itu: PKI, Sarekat Islam-merah (marxis); PNI, Indische Partij/Insulinde/Sarekat Hindia, dan Boedi Otomo (nasionalis); dan Sarekat Islam-putih, Muhammadiyah (Islamis/agamais).
Pada tahun 1950-an, pengelompokan itu tidak berubah, hanya organisasi politiknya yang bertambah. Kelompok marxis, misalnya, mengcakup PKI, Murba, Acoma, Partai Buruh dan PSI. Kelompok nasionalis meliputi PNI, Partai Indonesia Raya (PIR), PRN, PRIM, IPKI, dan lain-lain. Sementara di kubu agamais ada Masjumi, NU, PSII, PERTI, Parkindo, Partai Katolik, dan lain-lain.
Kategori Geertz adalah ketegori antropologis; keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat, dan budaya. Sedangkan Bung Karno menggunakan kategoris ideologis. Ia membagi kekuatan-kekuatan politik itu berdasarkan aspirasi ideologis yang dominan (nasionalis, agamais, dan marxis).
Tetapi, terlepas dari kategorisasi di atas, ada lontaran menarik dari Soe Hok Gie dalam bukunya, Di Bawah Lentera Merah. Pada bagian pendahuluan buku tersebut, Gie mengatakan, gerakan-gerakan yang muncul pada tahun 1920-an, setelah dikorek “kulit modern”-nya, masih kelanjutan dari kelompok-kelompok yang sudah ada dalam masyarakat tradisional.
Di sini, Gie mendekati kategori Geertz. Menurutnya, pemikiran-pemikiran gerakan-gerakan tersebut sangat dekat dengan pemikiran pra-abad 20. Misalnya, kata dia, bukan kebetulan kaum priayi masuk dalam Boedi Oetomo dan kaum santri masuk ke Sarekat Islam. Begitu pula dengan gerakan sosialistik di tubuh SI Semarang, yang dimotori Semaun, adalah terkait dengan saminisme.
Dengan menarik keterkaitan antara gerakan abad ke-20 dengan pemikiran tradisional masyarakat sebelumnya, Gie sebetulnya hanya mau menguatkan pandangannya, bahwa sebuah gerakan hanya bisa berhasil bila dasar-dasar dari gerakan tersebut punya akar-akar di bumi tempat ia tumbuh. Baginya, hanya ide yang punya akar ke bumi yang bisa tumbuh dengan baik.
Dengan kata lain, jika mengacu ke Gie, membesarnya partai-partai berbasis ideologi modern, seperti nasionalisme dan sosialisme, tidak terlepas dari kemampuan mereka mengadaftasi tafsiran ideologisnya dengan ide-ide yang hidup di tengah rakyat.
Di era orde baru, baik kategorisasi Geertz maupun Bung Karno pelan-pelan meredup. Hal itu tidak dilepaskan dari proyek politik orde baru yang memaksakan “penyeragaman” politik. Pertama, adanya pemaksaan fusi bagi partai-partai, yang notabene agak berbeda basis ideologinya. Misalnya, PDI (Partai Demokrasi Indonesia) merupakan hasil fusi dari PNI, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik. Sementara partai-partai islam (Masyumi, PSII, NU, Perti, dan lain-lain) dilebur ke PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Dan ada Golkar, yang tulang punggunya adalah birokrat dan aristokrat.
Kedua, pemberlakuan azas tunggal, yakni Pancasila, yang interpretasi ideologisnya juga tunggal: Pancasila versi Orba. Akibatnya, semua partai dan organisasi massa dipaksa—jika ingin tetap eksis—untuk menyeleraskan kecenderungan ideologisnya dengan ideologi orde baru. Artinya, pada masa itu, kendati ada tiga partai politik resmi, kecenderungan ideologisnya sama.
Ketiga, diberlakukannya politik massa mengambang, yang menjauhkan massa rakyat dari politik dan aspirasi ideologis. Proyek ini kemudian bermuara pada depolitisasi dan deideologisasi.
Dengan demikian, ketika rezim orde baru berkuasa, tidak ada lagi spektrum politik di Indonesia. Yang terjadi adalah keseragaman politik: orbaisme. Hal itu pula yang membuat proses politik di Indonesia saat itu tak lebih dari sebuah formalitas. Pemilu, misalnya, tidak bisa dianggap sebagai proses demokrasi, karena tidak ada kompetisi politik-ideologis di dalamnya. Lebih tepat disebut: formalitas politik untuk mengukuhkan legitimasi orde baru.
Nah, setelah reformasi bergulir, ada ruang kebebasan politik yang tercipta. Partai politik lahir bak jamur di musim hujan. Secara formal, pilihan ideologisnya beragam: nasionalis, nasionalis-religius, religus, dan lain-lain.
Ada beberapa fenomena yang patut dicatat di sini. Pertama, ada ketidak-sinkronan antara pilihan ideologis partai dengan tindakan politiknya. Sebagai misal, partai demokrat mengklaim berideologi nasionalis-religius, tetapi praktek politiknya sangat liberal. Kebijakan ekonomi-politiknya tidak mencerminkan nasionalisme. Banyak yang menyebut fenomena ini sebagai kecenderungan “partai catch-all”.
Kedua, kebebasan politik pasca reformasi sangat diskriminatif. Marxisme masih dianggap sebagai ideologi terlarang. Padahal, marxisme ini adalah pangkalnya aliran politik kiri. Akibatnya, meski kebebasan politik dianggap sudah luar biasa, tetapi partai kiri tetap susah eksis. Di sisi lain, ideologi sayap kanan jauh, seperti fasisme agama, di beri angin untuk tumbuh subur.
Secara logika, jika saya kiri dilarang hidup, sementara sayap kanan jauh diberi kebebasan hidup, maka perimbangan politik di Indonesia sangat berat ke kanan. Ini sebetulnya sangat berbahaya. Ketika sayap kiri sengaja dimatikan, maka perlindungan politik terhadap sektor-sektor tertindas, seperti buruh, petani, kaum miskin, golongan minoritas, LGBT, dan lain-lain, sudah pasti tidak ada. Sebab, pembela kelompok kaum tertindas itu memang hanya sayap kiri.
Akibatnya, kelompok ultra-kanan dengan bebas bertindak. Fenomena yang tampak kasat mata saat ini adalah menguatnya serangan ultra kanan terhadap golongan minoritas, baik minoritas agama maupun etnis. Hal ini sebetulnya sangat membahayakan Kebhinekaan kita dan keutuhan NKRI itu sendiri.
Sigit Budiarto, kontributor Berdikari Online
Editor: Kusno