Perjuangan Agraria Petani Kumpeh Jambi

Konflik Agraria terus merebak. Pasaman Sumbar, Rempang Riau, Gorontalo, Lampung, Seruyan terupdate di media nasional. Sebenarnya jika dipublikasikan secara massif, aksi massa rakyat (petani) menuntut soal-soal agraria tak akan ada habisnya. Setiap hari, berita pergolakan di lapangan agraria, mulai dari desa sampai kota, tak akan habis disiarkan. Entah berupa pengusiran petani dari lahan, petani dikriminalisasi, petani tertembak mati dan banyak lagi peristiwa yang menimpa mereka akan terus muncul.

Petani anggota Serikat Tani Nelayan (STN) di Tiga Desa Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi yang tergabung dalam Empat Kelompok Tani Hutan (KTH) telah melakukan aksi jalan kaki ke kantor Kementerian LHK RI pada November 2022. Mereka menuntut Hak Kelola atas tanah (hutan) sesuai program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Aksi tersebut mendapatkan respon baik dari Kementerian LHK RI dalam bentuk mendapatkan akses kelola Perhutanan Sosial (PS) di eks HGU PT. Riky Kurniawan Kertapersada (PT RKK).

Menjelang 1 tahun perjuangan Petani Kumpeh, Perhutanan Sosial yang dijanjikan itu tak kunjung kongkrit karena sikap kementerian yang bersinggungan dengan Reforma Agraria tidak satu sikap; tidak memiliki koordinasi yang baik dalam usaha realisasi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Salah satunya redistribusi tanah untuk rakyat (petani). Ini merupakan ancaman program Prioritas Nasional sebagai basis menjalankan Program Strategis Nasional (PSN).

Kementerian LHK RI yang mengurus TORA di lapangan Perhutanan Sosial dan Kementrian ATR/BPN RI di luarnya belum menunjukkan kerja baik dalam merealisasikan program TORA. Akibatnya bermunculan konflik agraria yang membuat kegaduhan nasional terlebih menjelang Pemilu 2024 serta masa berakhirnya jabatan Presiden Joko Widodo.

Kegaduhan itu tidak hanya berupa kekerasan fisik, penembakan, pemenjaraan/kriminalisasi, pengusiran petani dari lahannya, tapi jauh lebih luas seperti tidak kunjung berdaulatnya Indonesia atas pangan.

Objek usulan Perhutanan Sosial yang diajukan Empat KTH itu sendiri seluas 2391 Hektar. Di dalamnya ada 306 Hektar areal HTI PT. WKS sejak tahun 2004. Tahun 2008 muncul HGU PT. RKK seluas 682 Hektar yang terdiri dari 306 Hektar hutan merupakan HGU HTI PT. WKS dan areal penggunaan lain (APL) 376 Hektar (HGU diatas Izin HTI).

PT RKK telah menanam Sawit melebihi HGU di dalam hutan seluas 2085 Hektar. Tindakan ini merupakan kejahatan perkebunan yang merugikan negara dan PT. WKS menggugat PT. RKK di pengadilan dan menang di semua tingkat persidangan.

Sementara itu Empat KTH mengajukan Hak Kelola Perhutanan Sosial di objek seluas 2085 Hektar dan eks HGU PT RKK seluas 306 Hektar yang merupakan areal HTI PT. WKS yang di caplok PT. RKK kepada Kementerian LHK RI.

Sekarang, posisi pengajuan sedang menunggu verifikasi teknis oleh Kementerian KLH RI yang terhambat karena belum dibatalkannya eks HGU PT. RKK oleh Kementerian ATR/BPN RI. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah dalam Psl 14,15, Psl 31,32,33 menyebutkan HGU hapus karena dibatalkan oleh Menteri berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap seperti eks HGU PT. RKK.

Lambatnya Kementerian ATR/BPN RI melakukan pembatalan eks HGU PT. RKK membuat satu Sopir dan enam petani anggota KTH dipenjara karena dituduh melanggar Psl 363 KUHP (pencurian dengan pemberatan) di lahan Sawit yang diklaim salah satu Koperasi di Muaro Jambi yang merupakan plasma dari PT. RKK. Penangkapan dan pemenjaraan tersebut tentunya salah prosedur karena lahan tersebut masuk izin HTI PT. Wira Karya Sakti (PT.WKS) dan masuk lahan hutan di bawah Kementerian LHK RI.

Sementara itu Koperasi plasma PT. RKK tetap melakukan pemanenan Sawit yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Hal inilah yang memicu Empat KTH dan warga melakukan pendudukan di eks HGU PT. RKK serta melakukan panen Sawit.

Koperasi merasa dirugikan dan melakukan laporan, sedangkan yang seharusnya melakukan laporan adalah PT WKS sebagai pemilik izin HTI yang dicaplok oleh PT. RKK dan Kementerian LHK RI. Sawit yang ditanam PT RKK merupakan lahan hutan seluas 2085 Hektar di bawah penguasaan KLHK RI.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, kalahnya PT RKK di Pengadilan secara otomatis juga koperasi plasma ini batal dan tidak boleh melakukan aktifitas perkebunan; begitu juga dengan pihak lain (lahan menjadi status quo).

Akan tetapi laporan Koperasi Fajar Pagi ternyata ditindaklanjuti oleh Polda Jambi hingga berujung penangkapan dan pemenjaraan satu Sopir dan enam Petani tersebut. Tindakan ini tidak bisa dibenarkan; seakan penuh konspirasi sehingga upaya upaya hukum seperti Prapradilan di PN Jambi pun dilakukan tetapi langkah prapradilan ditolak PN Jambi dengan mengabaikan fakta-fakta yang diajukan dalam persidangan.

Kita tahu perjuangan agraria selalu dihadapkan dengan persoalan hukum seperti kriminalisasi dan lain-lain. Karena itu untuk memperkuat perjuangan agraria Petani Kumpeh perlu dilakukan beberapa tindakan:

pertama, perjuangan politik gerakan tani dalam bentuk  aksi massa menuntut ke Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK RI, Istana Negara, Gedung DPR RI dan kantor pemerintahan lainnya selama 60 Hari (16 Oktober hingga 16 Desember 2023) dengan target Kementerian ATR/BPN RI mencabut HGU PT. RKK dan Kementerian LHK RI menerbitkan SK Perhutanan Sosial untuk Empat KTH,

kedua,   perjuangan keadilan atas hukum yaitu perlunya mengedepankan restorative justice.

Polda Jambi dalam menangani konflik agraria seharusnya bisa bercermin ke Polda Sumut yang pernah melakukan restorative justice atas kasus pencurian Sawit PTPN IV oleh warga.

Restorative Justice merupakan prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan sebagai instrumen pemulihan.

Jakarta, 15 Oktober 2023

Ahmad Suluh Rifai
Ketua Umum PP STN

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid