Perempuan Sebagai Ibu Bangsa; Potret Sejarah Awal Pergerakan Perempuan

Ari jadi awewe kudu segala bisa, ambeh bisa hirup!
Menjadi perempuan harus mempunyai
banyak kecakapan agar mampu hidup!
Dewi Sartika, hal 38

Dalam sejarahnya, menjadi Ibu Bangsa adalah strategi yang sangat pelik bagi gerakan perempuan. Ketika gerakan perempuan bersinggungan dengan gerakan nasionalis, gagasan yang dominan adalah perempuan sebagai “iboe bangsa” dengan hoofdkwartier (markas utama perjuangannya rumah tangga). Bagaimana gerakan perempuan di awal perjalanan kehidupan berbangsa dan apa itu posisi politik “iboe bangsa”? Marilah kita simak tulisan yang merupakan ringkasan sejarah ini.

Di penghujung abad ke-19, ketika Kartini menulis tentang ketertindasannya sebagai perempuan Jawa, ia menyadari bahwa pembebasan bagi perempuan bisa terwujud bila terjadi perubahan pola pikir di kalangan masyarakat Jawa secara keseluruhan. Memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan adalah kerja pemberadaban suatu bangsa dan bukan semata-mata tugas perempuan. Kartini memang belum berpikir tentang Indonesia, tetapi dia sangat menyadari bahwa nasib “bangsa boemipoetra” saat itu sedang berada di bawah kekuasaan feodal dan kolonial.

Gagasan Kartini tentang pentingnya kemerdekaan berpikir dan berbuat bagi semua orang tanpa membedakan gender dan kelas untuk meningkatkan kualitas hidup suatu bangsa menjadi salah satu syarat kaum perempuan yang terlibat dalam gerakan nasional sejak awal abad ke-20. Kartini mendesakkan, bahwa prasyarat perjuangan pembebasan manusia harus mempertimbangkan pengalaman perempuan sampai wilayah yang paling privat, yakni lembaga perkawinan. Hal ini berbeda dengan dengan Tjoet Nja’ Dhien di Aceh, Nyi Ageng Serang di Jawa, atau Martha Chistina Tiahahu di Maluku, yang memperlihatkan bahwa perempuan dapat dipercayai untuk mengarungi dunia laki-laki.

Dengan kebijakan politik Etis pada awal abad ke-20, penguasa kolonial yang menganggap bahwa kaum bumiputra malas, bodoh dan tidak beradab membuka ruang-ruang pendidikan secara meluas dengan harapan rakyat Hindia Belanda akan menerima peradaban barat dan menjadi bagian Kerajaan Belanda dengan sukarela. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan oleh kaum bumiputra yang menganggap bahwa kemajuan berarti tumbuhnya gairah untuk berpikir merdeka, meninggalkan kepatuhan kepada penguasa kolonial dan terlibat dalam kerja-kerja melawan pembodohan, diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan.

Gagasan kemajuan kaum bumiputera terpelajar berpengaruh terhadap pandangan mereka tentang perempuan. Mereka tetap melihat peran utama perempuan adalah melahirkan dan merawat anak, tetapi kepedulian mereka akan perlunya satu generasi baru dengan kualitas moral dan intelektual yang lebih baik membuat mereka berpikir tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan sebagai ibu. Sementara, kaum perempuan terdidik melihat bahwa sistem kolonialisme dan tradisi feodal sudah menyebabkan kehidupan perempuan secara umum terpuruk. Di tingkat elit, perempuan semata-mata dijadikan perhiasan rumah tangga, tidak berpengetahuan, tidak memiliki wawasan, dan menjadi korban poligami. Di tingkat bawah, kemiskinan mendorong perempuan menerima kawin paksa sejak usia dini, yang bisa menggiring mereka pada perceraian tidak adil secara berulang, prostitusi dan pergundikan. Mereka berpendapat, dengan bekal pendidikan dan ketrampilan, perempuan akan mampu mengusahakan hidup sendiri dan tidak bergantung secara ekonomi pada laki-laki. Sedangkan pengetahuan kerumahtanggaan, kesehatan ibu dan anak, gizi, kebersihan akan membuat perempuan mampu merawat keluarga dengan lebih baik.

Semangat inilah yang mendorong perempuan-perempuan terdidik di beberapa tempat menyelenggarakan sekolah-sekolah bagi perempuan. Pada tanggal 16 januari 1904 sekolah perempuan pertama Sekolah Istri didirikan oleh Dewi Sartika. Delapan tahun kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kautamaan Istri dan meluas menjadi sembilan sekolah yang memberi perhatian terbesar pada anak-anak perempuan dari kalangan rakyat biasa. Di Kotogadang, Roehana Koeddoes mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia pada tahun 1911; dan di Manado Maria Walanda Maramis mendirikan Sekolah PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) pada 1917. Sementara itu ide Kartini dilanjutkan oleh C. Th. Van Deventer beserta istrinya dengan mendirikan Sekolah Kartini pada 1913 di Semarang. Di kalangan organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, pada tahun 1917 di Yogyakarta membentuk Aisyiyah yang menyelenggarakan sekolah berkurikulum modern bagi anak-anak perempuan dengan tekanan pada pendidikan agama. Sedangkan di Padang Panjang, Rahma El Joenoesia, pada tahun 1922, mendirikan pesantren perempuan yang diberi nama Dinijah Poetri.

Dukungan dari para lelaki yang aktif dalam pergerakan nasional menjadi penting, terutama menghadapi tantangan dari kalangan konservatif di kalangan bumiputra yang tidak melihat perlunya perempuan berkumpul, bertukar pikiran, menyatakan pendapat dan bekerja untuk masyarakat. Di samping itu perempuan juga membutuhkan bantuan dari laki-laki untuk mengenali dan memanfaatkan perangkat kerja modern, seperti organisasi, penerbitan dan pertemuan umum. Poetri Mardika yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912 pendiriannya didorong oleh Boedi Oetomo. Sementara surat kabar perempuan pertama, Poetri Hindia,yang diterbitkan oleh jurnalis R.M. Tirto Adhisoerjo di Bandung pada 1909, masih dipimpin dan diawaki oleh laki-laki. Baru tiga tahun kemudian, Rohana Koeddoes menerbitkan Soenting Melajoe (Bukittinggi) yang sepenuhnya dikelola perempuan. Dalam waktu kurang lebih 15 tahun organisai-organisasi  lainpun berdiri di berbagai kota dengan kegiatan, antara lain; menyelenggarakan pendidikan dan layanan kesejahteraan sosial bagi perempuan, memberi beasiswa kepada anak-anak perempuan berbakat, menyebarkan informasi tentang pendidikan, dan menerbitkan surat kabar mingguan untuk menyebarluaskan gagasan tentang kemajuan dan keadaban perempuan.

Kongres Perempuan Indonesia I di Jakarta 1928 dan II di Yogyakarta 1935 berulangkali menekankan pandangan tentang pentingnya keutuhan rumah tangga dengan perkawinan yang bahagia. Persoalan sosial seperti perdagangan perempuan, prostitusi, pergundikan, atau kawin paksa diperbincangkan dalam kerangka pentingnya membangun institusi perkawinan dan kerumahtanggaan yang sehat dan kuat demi kemajuan dan keadaban bangsa. Masalah poligami mulai menjadi tema, yang menurut Sitti Soendari, adalah merupakan masalah perempuan. Selanjutnya masalah poligami ini menjadi sumber perdebatan sepanjang sejarah gerakan perempuan, apakah poligami sesungguhnya sumber masalah atau bagian dari penyelesaian masalah bagi perempuan? Hal ini mendorong Kongres Perempuan Indonesia II membentuk Komisi Penyelidik Hukum Perkawinan di bawah pimpinan ahli hukum Maria Ulfah Santoso yang hasilnya disampaikan pada Kongres Perempuan III. Kesimpulannya adalah bahwa pada akhirnya masyarakat Indonesia akan sepakat bahwa poligami harus dihapuskan. Dari perdebatan tentang poligami dapat dipelajari bahwa soal pelembagaan perkawinan dan posisi perempuan di dalamnya menjadi masalah politik kebangsaan.

Organisasi-organisasi perempuan bukannya tidak menyadari sisi politis dari perjuangan mereka. Namun, kepelikan yang mereka alami saat berhadapan dengan adat dan agama membuat mereka memilih jalur-jalur aman dalam memperjuangkan kebutuhan dan hak-hak perempuan. Tuduhan dari kalangan Islam bahwa kaum nasionalis sudah berniat menghinakan Islam dan menceraiberaikan rakyat Indonesia dengan membicarakan poligami membuat kongres-kongres perempuan di masa sebelum kemerdekaan tidak berbicara tentang agama dan politik. Mungkin satu-satunya organisasi perempuan yang berani menerobos batasan gerak politik perempuan dan menolak poligami adalah Istri Sedar yang didirikan pada 1930 di bawah Soewarni Pringgodigdo. Soewarni menyatakan: “Perempuan Indonesia berhak atas keadilan dan kemerdekaan, dan poligami adalah penolakan sesungguhnya dari keadilan dan kemerdekaan.” Ketika Soekarno menyatakan bahwa gerakan perempuan pertama-tama harus mendukung kemerdekaan nasional sebelum menuntut hak-haknya, Soewarni berpendapat sebaliknya, bahwa kesetaraan perempuan menjadi prasyarat memenangkan kemerdekaan nasional.

Posisi politik sebagai ibu bangsa mencerminkan tentang keperempuanan dan kebangsaan yang sangat terkait dengan kemampuan biologis perempuan sebagai ibu dan peran sosialnya sebagai ibu rumah tangga. Rumusan ibu bangsa ini dapat dipahami sebagai strategi gerakan perempuan memperoleh tempat dalam pergerakan nasional tanpa menimbulkan banyak tentangan dari pihak laki-laki. Akan tetapi, dipihak lain, strategi ibu bangsa ini mengukuhkan pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Perempuan tetap dilihat sebagai makhluk domestik. Pembedaan ini membatasi dan membebani keterlibatan perempuan di ranah publik. Perempuan dapat terlibat dalam kegiatan politik selama mereka tidak melupakan tugasnya melahirkan keturunan baru dan mengurus rumah tangga. Pada Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung, tepatnya pada tanggal 22 Desember 1938, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu, muncullah semboyan “Merdeka Melaksanakan Dharma”, yakni menekankan pentingnya tugas perempuan sebagai ibu keluarga, ibu masyarakat dan ibu bangsa.***

Disarikan dari buku: Kita Bersikap, Empat Dasawarsa Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perjalanan Berbangsa yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan tahun 2009.

Siti Roebaida, pemerhati sosial dan aktivis perempuan

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid