Langkah Mundur Reformasi Regulasi dalam RUU Cipta Kerja

Pemerintah sudah menyerahkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (12/2/2020).

Selanjutnya, RUU yang terdiri dari 79 UU tersebut, dengan 15 bab dan 174 pasal, akan melalui mekanisme di DPR untuk disahkan di Rapat Paripurna.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyebut proses penyusunan hingga penyerahan draft RUU Cipta Kerja tidak terbuka dan tidak partisipatif.  

Hal tersebut melanggar salah satu prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan, seperti diatur dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu asas keterbukaan.

“Harusnya Pemerintah dan DPR menyebarluaskan draft RUU Cipta Kerja sejak tahap penyusunan,” kata Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK, Fajri Nursyamsi, di Jakarta, Jumat (14/2/2020).

Selain itu, lanjut dia, tidak tersedianya kanal resmi untuk mengakses RUU Cipta Kerja menyebabkan ruang partisipasi publik tertutup.

Sebaliknya, proses penyusunan draft RUU Cipta Kerja hanya melibatkan segelintir elit, yaitu Kepala Daerah dan asosiasi pengusaha.

“Padahal, dalam Pasal 96 ayat (1) UU 12/2011, partisipasi masyarakat itu merupakan hak,” jelasnya.

Tiga Langkah Mundur

Lebih lanjut, Fajri menyebut tiga langkah mundur dalam proses reformasi regulasi di Indonesia terkait RUU Cipta Kerja.

Yang pertama, kata dia, draf RUU Cipta Kerja berpotensi melanggar dua asas dalam pembentukan perundang-undangan, yaitu asas kejelasan rumusan dan asas dapat dilaksanakan.

“RUU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan rumusan karena dalam perumusannya, pencantuman pasal perubahan langsung digabungkan dengan pasal lama sehingga menyulitkan siapapun yang membacanya,” terangnya.

Sementara, terkait tenggat waktu untuk penyesuaian antara peraturan pelaksana dari UU existing dengan UU Cipta Kerja hanya 1 bulan, juga tidak masuk akal.

“Melakukan perubahan peraturan pelaksana dari 79 UU dalam kurun waktu 1 bulan merupakan sebuah mandat yang sama sekali tidak realistis,” jelasnya.

Yang kedua, kata dia, banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja ini (terdiri dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah) menunjukkan tidak sensitifnya pembuat UU akan kondisi regulasi saat ini.

“Sekarang saja sudah hiper-regulasi,” tegas dia.

Yang ketiga, lanjut dia, substansi pengaturan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi serta melanggar ketentuan UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Menurutnya, setidaknya ada dua pasal yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi.

Di pasal 170 disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) dapat digunakan untuk mengubah UU. Padahal, dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12/2011 disebutkan, PP memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-undang.

“Sehingga PP tidak bisa membatalkan maupun mengubah UU,” tegasnya.

Kemudian, pada pasal 166 RUU Cipta Kerja disebutkan Peraturan Presiden (Perpres) bisa membatalkan Peraturan Daerah.

Hal itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV yang menyebutkan bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid