Kalasuba dan Dendang Man Dhoplang

Tak pernah bosan saya dengan sosok Paman Dhoplang, dan entah berapa kali saya telah mengabarkan kehidupan dan pandangan-pandangannya. Meskipun bagi saya yang mungkin seperempat marxis, seperempat poststrukturalis, seperempat kejawen, dan seperempat Islam, sesosok tua yang telah melewati banyak masa perang itu seakan lebih dispersif, terpecah-belah.

Dispersi adalah istilah dalam dunia filsafat untuk menggambarkan keadaan pemikiran pascamodern yang sangat bercorak lintas batas hingga tak gampang untuk membidiknya dalam satu kategori yang tunggal. Namun dengan kembali menyeksamai kehidupan Paman Dhoplang, yang kental dengan kejawaannya, dispersi itu ternyata hanyalah semacam “pangrasa” atau panging rasa.

Meskipun Paman Dhoplang tak pernah mengenal marxisme, namun ia paham benar bahwa pagelaran wayang selalu ditunjang oleh dua golongan besar yang saling berhadap-hadapan. Meskipun Paman Dhoplang tak pernah mengenal poststrukturalisme, namun ia paham benar bahwa dalam satu golongan wayang pun tak pernah terdapat suara yang tunggal. Meskipun Paman Dhoplang tak pernah paham tentang kejawen sebagaimana yang digambarkan oleh para antropolog Belanda, namun ia paham benar bahwa rasa orang Jawa tak pula berbeda dengan orang Amerika ketika melakoni sebentuk sujud. Meskipun Paman Dhoplang tak pula mengenal Islam sebagaimana para modin, namun ia paham benar bahwa ternyata menjelang ajal, yang baginya kerap diungkapkan dengan istilah “sonteg pisan anigasi”—bukanlah ilmu ataupun wawasan yang terbukti mampu menyelamatkan.

Bahkan pun secara ekonomis, dimana nyaris semua tetangganya mabuk oleh semangat “ekonomi berkemajuan,” lelaki tua yang sehari-harinya gemar memakai celana komprang hitam selutut itu tak pula nggumun. Alasannya ternyata sederhana saja, “kantong bolong,” bahwa sebuah pendapatan yang besar akan pula menyorong sebuah pengeluaran yang besar. Jadi, pada dasarnya tak ada yang berbeda secara prinsipil antara orang yang menurut pakar statistika berpendapatan kecil dengan orang yang berpendapatan besar.

Demikianlah Paman Dhoplang yang seolah-olah berseberangan dengan hasrat zaman yang menginginkan “kenaikan kelas.” Pada titik ini saya pun terngiang suara-suara muram yang mengiringi kepercayaan diri yang di bawa oleh modernisme, dari Charles de Montaigne hingga para postmodernis. Sejarah telah pula membuktikan banyak niat suci yang kemudian berakhir tragis, egalitarianisme Perancis dengan Robespierre-nya, komunisme dengan Stalin-nya, atau bahkan modernisasi Islam dengan al-Bana dan dua orang murid ternamanya: Sayyid Qutub dan Taqiyuddin.

Maka, ketika saya membayangkan diri sebagai seorang propagandis semangat “kenaikan kelas” ini, seakan-akan secara terpaksa sosok-sosok seperti Paman Dhoplang mesti ditinggalkan—yang barangkali dengan ungkapan pemanis yang mengiringinya: “jaminan negara.”

Namun, ada pula sikap Paman Dhoplang yang seolah-olah tak terlalu prihatin atas semangat dan suasana zaman yang sedang mendera, dimana oleh pujangga pamungkas Jawa, Ronggawarsita, diibaratkan seperti pohon yang sudah merunduk: “Cahyaning wahyu tumelung/ Tulus tan kena tinegor.”

Itulah yang disebut sebagai “kalasuba,” sebuah jangka zaman sesudah “kalabendhu,” zaman yang konon penuh dengan kebahagiaan dan kebanggaan.

Karkating tyas katuju

Jibar-jibur adus banyu wayu

Yuwanane turun-temurun tan enting

Liyan praja samyu sayuk

Keringan saenggon-enggon

 

Tatune kabeh tuntum

Lelarane waluya sadarum

Tyas prihatin ginantun suka mrepeki

Wong ngantuk anemu kethuk

Isine dinar sabokor

 

Satu hal yang seolah terkait dengan tuntutan keadaan zaman sekarang, di samping kalasuba menyajikan kesembuhan massif segala luka dan sakit, ia juga menyajikan martabat diri yang kembali menegak di luar: “Liyan praja samyu sayuk/ Keringan saenggon-enggon.”

 

(Heru Harjo Hutomo)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid