Gerak Nusantara Sejahtera Usulkan RESTORATIVE JUSTICE Sebagai Jalan Keluar Penyelesaian HAM Berat Masa Lalu

Jakarta, Berdikari Online – “Masyarakat Indonesia hari ini membutuhkan jalan keluar yang tepat dalam proses penyelesaian pelanggaran kasus HAM Berat masa lalu,” demikian kata Revitriyoso Husodo selaku Ketua Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera ketika memimpin Siaran Pers yang berlangsung di gedung Komnas HAM RI (Jumat, 28 Juli 2023).

Untuk diketahui bersama, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, 3 kasus pelanggaran HAM telah diakui oleh negara dari 12 kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu di antaranya Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, dan Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999.

Bulan Juli sendiri tercatat sebagai bulan reformasi. Costnya dari kejadian tersebut tidak murah. Bukan hanya nyawa jadi pertaruhannya akan tetapi, persatuan nasional masyarakat Indonesia terkoyak akan tragedi tersebut.

“Perjumpaan antara Budiman Sudjatmiko, mantan aktivis PRD, dengan Prabowo Subianto beberapa waktu lalu yang turut menuai kritikan dari berbagai pihak tidak dapat dinyatakan secara eksplisit bahwa kasus pelanggaran HAM masa lalu selesai begitu saja. Akan tetapi, kami juga tidak bicara sebagai kelompok lain yang hanya memberikan opini, atau caci maki. Belum tentu di antara orang-orang tersebut juga terlibat langsung dalam kasus 1998,” sambung Bung Revi, sapaan akrab Revitriyoso Husodo.

“Saya sendiri juga terlibat dalam gerakan melalui Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, JAKER dan berhadap-hadapan langsung dengan aparat militer yang represif hingga menyaksikan kejatuhan Soeharto sebagai simpul kekuasaan Orde Baru. Saya tercatat dalam korban kekerasan yang dilakukan oleh alat represif Orde Baru. Bisa dicek data dari rumah sakit Carolus, dari antara 36 korban di dalamnya, saya salah satu korbannya,” tambahnya. “Saat ini kita berupaya untuk lebih dewasa dalam berpolitik; tidak kekanak-kanakan dan cengeng dalam menyikapi intrik nasional tersebut,” ujarnya juga.

Menurut Revi, pada situasi saat ini, persatuan nasional menjadi kata kunci menghadapi situasi ekonomi politik yang sedang diterpa krisis multidimensi. Sebagai warga negara, penyelenggara negara, hingga pihak militer juga harus memfokuskan upaya pembangunan ekonomi bangsa melalui industrialisasi nasional, hingga upaya pensejahteraan nasional, bukan lagi tersulut pertarungan antara sipil melawan negara/militer yang hanya berkutat di seputaran isu Hak Asasi Manusia (yang tak kalah pentingnya juga).

Dalam menghadapi krisis multidimensi secara nasional saat ini, dampak Pandemi Covid-19 yang berlanjut dengan krisis ekonomi dunia, krisis pangan, krisis energi, krisis mata uang, di samping ancaman perang dunia hingga menghadapi ancaman teknologi kecerdasan buatan yang semakin tidak terkendali, mestinya masyarakat Indonesia sudah lebih maju untuk menyikapi perihal tersebut.

“25 tahun sudah semenjak reformasi di Indonesia berjalan; tetapi proses penyelesaian Tragedi 1998 sampai dengan saat ini baru sedikit mendapat titik terang melalui pernyataan Presiden RI Joko Widodo sebelumnya pada tanggal 1 Januari 2023 bahwa Negara mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran HAM Berat termasuk 3 peristiwa besar yang di sebut diawal,” kata Revi lanjut.

Revi pun mengatakan bahwa sebagai bangsa yang besar, kita harus bertambah dewasa dalam bernegara. Namun juga harus tegas dalam menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam hal ini kita harus bersikap memaafkan namun tidak melupakan (forgiving but not forgetting). Kasus tragedi tindak kekerasan negara yang dilakukan oleh alat negara pada saat Tragedi 1998 telah memakan banyak korban dan bahkan sampai dengan saat ini belum juga usai. Sejak reformasi tragedi 1998, Indonesia sudah mengalami 5 (lima) kali pergantian Presiden: B. J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga sekarang Joko Widodo.

“Sampai saat ini, nasib Widji Thukul, Herman Hendrawan, Bimo Petrus dan lainnya belum jelas. Di mana keberadaan mereka?” tanya Revi “bahkan Yu Pon, istri Widji Thukul, salah satu dari keluarga korban penghilangan secara paksa sudah almarhumah tetapi pencarian dan penuntutan terhadap negara masih terus dilakukan. Luka bangsa ini tentu saja belum terobati,” gugat Revi, yang juga pernah menjadi Ketua Umum JAKER.

Selanjutnya Revi menyatakan bahwa untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat besar haruslah mengedepankan kearifan musyawarah dengan mengupayakan ISLAH NASIONAL bagi korban proses Reformasi 1998 dan pelaku pelanggar HAM, sehingga tragedi semacam ini tidak lagi terulang di waktu yang akan datang, maka perlu didorong proses penyelesaian dengan cara RESTORATIVE JUSTICE.

“Kami yang tergabung dalam Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera dalam mensikapi tragedi 1998 menginginkan adanya pengakuan dari Negara terhadap penghilangan nyawa secara paksa terhadap kawan-kawan kami serta pemulihan hak-hak para korban. Selain dari pada itu kami juga mengharapkan agar kejadian masa lalu tidak boleh terulang lagi. Sebagai bangsa yang besar, kami tidak menaruh dendam dan akan memaafkan. Tetapi, tidak akan melupakan agar anak cucu ke depan tidak akan mengulangi kesalahan sejarah yang serupa,” lanjut Revi.

Menurut Revi, pelanggaran HAM pada dasarnya telah menimbulkan kerugian yang harus diderita oleh korban maupun keluarga korban. Oleh karena itu, korban merupakan pihak yang harus mendapatkan pemulihan kerugian dari terjadinya pelanggaran HAM. Sebagai contohnya: Islah perdamaian yang terjadi di Serambi Mekah yang terjadi pada saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla sampai dengan saat ini berjalan dengan damai bahkan banyak perubahan yang signifikan di tanah Rencong tersebut.

Revi pun menyampaikan bahwa sistem Hukum Pidana Indonesia mengalami babak baru. RESTORATIVE JUSTICE adalah bentuk penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga korban/pelaku dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan; alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait. Prinsip dasar Restorative Justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian: pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya, (penyelesaian hukum diselesaikan di luar pengadilan); penyelesaian dapat berlangsung dengan mengedepankan musyawarah mufakat sesuai dengan landasan PANCASILA, sila ke-4.

“Tujuan utama dari Restorative Justice itu sendiri adalah pencapaian keadilan yang seadil-adilnya terutama bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya dan tidak sekedar mengedepankan penghukuman,” jelas Revi. “Restorative Justice adalah suatu pendekatan baru dalam bidang hukum pidana yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad dader straftecht”,” kata Revi lagi.

Menurut Revi, para ahli hukum telah memperkenalkan formula keadilan; khususnya dalam pendekatan HAM, ada 3 (tiga) aspek pendekatan untuk membangun sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum yaitu 1. Segi Struktur, 2. Segi Substansi, 3. Segi Budaya yang semuanya layak berjalan secara integral, simultan dan paralel.

(foto: Berdikarionline.com)

(Umbu Tamu Praing)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid