Akhir dari Pedro Castillo versus Fujimorismo

Awal Juni 2021, rakyat biasa di Peru bersukacita. Pedro Castillo, seorang guru sekolah dasar, terpilih sebagai Presiden Peru. Dia diharapkan bisa membawa perubahan politik setelah tiga dekade negeri itu dirusak oleh korupsi dan neoliberalisme yang brutal.

Harapan itu belum terwujud, pada 7 Desember 2022, Pedro Castillo dimakzulkan dari jabatannya oleh Kongres. Dia merupakan Presiden Peru ketiga sejak 2018 yang dimakzulkan di tengah jalan.

Beberapa saat sebelum Kongres menggelar sidang pemakzulan, Castillo mencoba melawan. Dia segera mengumumkan jam malam, membubarkan kongres, dan membentuk “pemerintahan darurat”.

Namun, alih-alih menyelamatkannya dari upaya pemakzulan, langkah Castillo justru merupakan “blunder politik”. Tindakannya dikutuk oleh semua pihak, dari Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi, Kongres, Ombudsman, dan tentara. Hampir semua Menteri kabinetnya mengundurkan diri. Majelis Konstitusi Peru menuding Castillo melakukan kudeta.

Proses politik bergerak cepat. Kongres Peru tetap menggelar sidang pemakzulan. Hasilnya: 101 anggota kongres mendukung pemakzulan, 6 anggota menentang, dan 10 anggota abstain.

Kongres Peru kemudian menunjuk Wakil Presiden sekarang ini, Dina Boluarte, sebagai Presiden. Dia merupakan perempuan pertama dalam sejarah Peru yang menjabat sebagai Presiden.

Konteks Politik

Sejarah Peru persis seperti disampaikan oleh Castillo saat pidato pengukuhannya: negeri yang sejak merdeka terbelah antara segelintir yang kaya dan mayoritas yang terpinggirkan.

Dalam 200 tahun Peru merdeka, mayoritas Presidennya berlatar militer. Selebihnya adalah aristokrat dan orang-orang kaya.

Hingga pada 1990, di tengah krisis politik dan ancaman gerilyawan kiri Shining Path, seorang capres “kuda hitam” memenangi Pemilu Peru. Alberto Fujimori, seorang minoritas Asia, berhasil mengalahkan orang Peru paling terkenal di dunia, sastrawan Mario Vargas Llosa.

Begitu berkuasa, Fujimori langsung menerapkan kebijakan neoliberal yang ekstrim. Orang-orang Peru menyebutnya “Fuji Shock”, yang menyebabkan harga BBM naik 3000 persen. Dia juga memprivatisasi pendidikan, kesehatan, dan dana pensiun.

Di bawah Fujimori, modal asing menyemut memasuki Peru, terutama ke sektor ekstraktif. Tak menunggu lama, PDB Peru tumbuh cepat: pernah mencapai 13 persen.

Tapi, seperti Orde Baru di Indonesia, yang menekankan stabilitas politik demi mengejar percepatan ekonomi, Fujimori membungkam demokrasi dan membangun dinasti keluarga: fujimori family.

Tahun 2000, dukungan politik Fujimori merosot tajam. Saat melakukan kunjungan resmi ke Asia, dia malah lari ke Jepang. Dari tanah air leluhurnya, Fujimori mengirim surat pengunduran diri lewat fax.

Pasca Fujimori, politik Peru tak membaik. Korupsi dan neoliberalisme masih berlanjut. Politisi seperti Alan Garcia, mantan Presiden yang terlibat korupsi, terpilih lagi pada 2006-2011.

Hingga, pada pemilu 2021, Pedro Castillo mengubah wajah politik Peru. Untuk pertama kalinya dalam sejarah negeri itu, seorang petani sekaligus guru di sekolah pedalaman, yang wajahnya mewakili rakyat biasa negeri itu, terpilih sebagai Presiden.

Selama kampanye pemilu, Castillo selalu memakai topi jerami lebar sebagai simbol petani dari tanah kelahirannya, Cajamarca. Dia juga selalu membawa pensil untuk menandai dirinya seorang guru dan mencintai pendidikan. Dan tak lupa slogannya: no más pobres en un país rico (tidak ada lagi orang miskin di negeri kaya).

Selama kampanye, Castillo menjanjikan konstitusi baru untuk menghapus konstitusi 1993 warisan Fujimori. Dia berjanji, konstitusi baru akan menjamin semua hak dasar rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, bahkan akses internet.

Dia juga berjanji untuk memerangi korupsi, menaikkan belanja sosial, dan menyelesaikan konflik agraria.

Dijegal Fujimorismo

Castillo menang pemilu di putaran kedua mengalahkan Keiko Fujimori, anak perempuan Alberto Fujimori, dengan selisih sangat tipis: 44 ribu suara.

Kemenangan Castillo banyak disumbang oleh menguatnya sentimen anti-fujimorismo yang memang sangat kuat di Peru pasca berakhirnya era Fujimori.

Anti-Fujimorismo sendiri mewakili spektrum politik yang luas, dari marxis-leninis (Perú Libre), kiri tengah (Frente Amplio dan Juntos por el Perú), dan liberal (Acción Popular dan Partido Morado). Mereka dipersatukan oleh sentimen anti-fujimorisme, tetapi berbeda-beda dalam perspektif politik.

Sebagai blok politik elektoral, anti-fujimorismo ini memang sangat kuat. Namun, karena basis ideologi dan perspektif politiknya berbeda-beda, mereka tak bisa diharapkan untuk menjadi blok politik untuk mendukung pemerintahan Castillo.

Di sisi lain, begitu Castillo dilantik sebagai Presiden, kelompok pendukung Fujimori (Fujimorismo) tetap tidak mau menerima pemerintahan Castillo dan berniat menggulingkannya.

Pada Oktober 2021, hanya tiga setelah Castillo dilantik sebagai Presiden, kelompok pengusaha yang dikomandoi oleh Geovani Rafael Diez Villegas mulai merancang aksi untuk menggulingkan Castillo, termasuk lewat aksi pemogokan para sopir.

Sebulan kemudian, Keiko Fujimori dan partainya di Kongres mulai menggalang upaya pemakzulan yang pertama. Sidang Kongres untuk pemakzulan berjalan. Hasilnya: mayoritas (76 suara) menolak pemakzulan.

Hanya 2-3 bulan berselang, Fujimori dan partainya kembali menggalang pemakzulan, tepatnya pada maret 2022. Kali ini tuduhannya korupsi. Namun, upaya pemakzulan kedua ini pun gagal.

Kegagalan Castillo

Tentu saja, guncangan politik dari sayap kanan membuat Castillo tidak bisa bekerja dengan tenang. Banyak agenda politiknya yang tertunda. Janji membuat konstitusi baru tak kunjung terwujud.

Kurang dari enam bulan pertama pemerintahannya, dia empat kali membentuk Kabinet. Dia terpaksa gonta-ganti Menteri lantaran dihujani kritik telah memilih orang-orang yang tidak kompeten.

Di sisi lain, pasca invasi Rusia ke Ukraina yang membawa dampak pada ekonomi global, situasi ekonomi Peru pelan-pelan memburuk. Inflasi naik tajam. Harga-harga naik, terutama harga pupuk dan bahan bakar.

Situasi ini dimanfaatkan oleh sayap kanan. Pada bulan Maret 2022, mereka mulai menggelar aksi protes jalanan. Para oligark Peru, yang mengontrol asosiasi sopir berbagai moda transportasi, mendorong pemogokan umum.

Dalam situasi itu, Castillo mulai bermanuver politik dengan melakukan banyak kompromi. Pada awal Februari 2022, Castillo menunjuk Héctor Valer, seorang katolik konservatif, sebagai Perdana Menteri. Tentu saja, pengangkatan ini untuk menetralisir oposisi kanan.

Namun, Valer tak menjabat lama: hanya 4 hari. Dia terpaksa mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri setelah isu kekerasan dalam rumah tangganya mencuat.

Pada awal Februari 2022, Castillo bertemu Presiden Brazil, Jair Bolsonaro. Media massa memperlihatkan foto mereka berdua yang tampak akrab. Bahkan Bolsonaro mengambil topi jerami Castillo dan menaruh di kepalanya.

Sejak itu banyak yang menuding Castillo sudah bergeser posisi politiknya dari kiri menjadi pragmatis. Dan entah kebetulan atau tidak, sejak itu Castillo tak pernah lagi mengenakan topi jerami lebarnya. Situasi itu juga yang membuat Castillo berseteru dengan partainya sendiri, Peru Libre. Puncaknya, pada Juni 2022, Castillo dipaksa mengundurkan diri dari Peru Libre.

Jadi, sejak Juni 2022, Castillo sudah kehilangan dukungan politik di parlemen. Blok anti-fujimorismo yang semula mendukungnya mulai bergeser dan menjauh.

Tidak mengherankan, ketika berhadapan dengan episode pemakzulan yang ketiga, Castillo sudah pesimis dan terpaksa mengambil langkah politik gegabah: membubarkan parlemen dan membentuk pemerintahan darurat. Sesuatu yang dipersepsikan oleh semua pihak sebagai tindakan kudeta terhadap konstitusi.

Hari itu, 7 Desember 2022, Castillo tak hanya dilengserkan dari jabatannya, dia juga ditangkap saat hendak melarikan diri ke kedutaan Meksiko. Sekarang ini, Castillo mendekam dalam penjara. Dia satu penjara dengan musuh politiknya, Alberto Fujimori.

Situasi politik Peru pasca Castillo masih sulit ditebak. Dina Boluarte, yang sekarang jadi Presiden, juga sudah dipecat dari Peru Libre lantaran wawancaranya bilang bahwa dirinya tak pernah serius memeluk ideologi partainya.

Dina nyaris tak punya basis dukungan politik yang konkret. Selain itu, dia juga sulit untuk bisa merangkul basis pendukung Castillo, yang sebagian menentang pemakzulan dan sebagian lagi menuntut pemilu baru.

Tentu saja, berakhirnya Pedro Castillo tak berarti akhir dari anti-Fujimorismo. Namun, sementara Fujimorismo relatif bersatu dan terkonsolidasi, blok anti-Fujimorismo justru terpecah-belah.

RAYMOND SAMUEL

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid