Pernyataan Jokowi bahwa Presiden boleh kampanye dan berpihak dalam Pemilu sesuai Undang-Undang baru-baru ini meresahkan sejumlah Cendikiawan. Sedemikian resahnya sehingga mereka berbondong-bondong curahkan sikap, perasaan dan syak wasangka di penghujung masa kampanye ini. Sungguh suatu pra duga bersalah sehingga beberapa dari mereka berani memastikan bahwa cawe-cawe Jokowi bertujuan untuk kepentingan pribadi dan keluarga terkhusus putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.
Kalau kita lacak kembali ke bulan Mei 2023 lalu Jokowi sudah menyatakan akan cawe-cawe dalam Pemilu dengan landasan momentum yang harus diambil bangsa Indonesia untuk keluar dari negeri berpenghasilan menengah (middle income). Indonesia sangat berpotensi keluar dari jebakan itu dan membuat loncatan menjadi negara maju, dan kuncinya adalah hilirisasi.
Penulis pernah sedikit berseloroh mengatakan, sebagai pengusaha mebel Pak Jokowi itu pasti sangat paham dan sudah mengalami sendiri bahwa menjual produk mebel lebih menguntungkan daripada menjual kayu gelondongan. Nah, pemikiran itu yang diproyeksikan ke dalam skala negara dengan segala kekayaannya.
Dukungan Jokowi terhadap Prabowo terutama atas dasar itu, bahkan sebelum ada Gibran bergabung. Prabowo sepemikiran bahwa segala kekayaan alam harus dikelola di dalam negeri dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana sering beliau kemukakan dalam berbagai kesempatan.
Menurut informasi dari beberapa sumber dan yang penulis dengar sendiri dari Pak Prabowo, Jokowi cenderung ingin mempertemukan Prabowo-Ganjar sebagai pasangan, karena akan menjadi kekuatan nasional yang kokoh dalam menghadapi berbagai tantangan strategis ke depan.
Terlepas bahwa pada akhirnya Gibran yang dipilih dan disepakati sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo, dan kemunculannya yang fenomenal membawa semangat optimisme kaum muda, nama Gibran saat itu hanya muncul sebagai alternatif di tengah pilihan-pilihan yang semakin terbatas. Penentuan namanya pun melalui beberapa kali pertemuan para pimpinan Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Fakta-fakta di atas bertentangan dengan keresahan yang berujung insinuasi terhadap Jokowi bahwa cawe-cawe-nya tersebut didorong oleh kepentingan pribadi, nepotisme, atau membangun dinasti politik. Mengapa kaum Cendikiawan seakan lupa atau menutup mata terhadap latar belakang tersebut untuk membuat kesimpulan yang lebih positif dan optimistik bahwa hal yang menjadi perhatian utama Jokowi adalah kepentingan strategis bangsa Indonesia? Dengan demikian, bukankah wajar muncul kesimpulan bahwa kritik terhadap Jokowi tidak lepas dari kepentingan kompetisi elektoral?
Dalam pandangan kami, dasar konsepsi terkait hilirisasi ini yang perlu dipahami dan disepakati terlebih dahulu sebelum membahas hal-hal lain. Mengapa?
Pertama, kebijakan hilirisasi adalah hal besar dan membawa dampak ekonomi-politik global. Contoh, kebijakan melarang ekspor nikel untuk kepentingan hilirisasi ditentang oleh Uni Eropa dan gugatannya dimenangkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Ini baru satu jenis komoditi, sementara kelanjutan yang direncanakan oleh pasangan Prabowo-Gibran adalah memperluas hilirisasi tersebut ke 21 sektor dan ratusan komoditi. Kelanjutan dari hilirisasi berupa industrialisasi akan membawa kemajuan yang luar biasa.
Kedua, sejauh ini tidak ada tawaran program alternatif untuk membawa Indonesia meloncat jauh ke depan selain hilirisasi. Pengalaman negara-negara yang lebih maju membuktikan bahwa hilirisasi dan industrialisasi sesuai perkembangan teknologi dan peradaban adalah satu-satunya cara untuk maju. Keragu-raguan, ketidaktegasan, bahkan penolakan terhadap hilirisasi sering didengar dari berbagai pihak termasuk dari kubu Paslon yang berkompetisi.
Ketiga, demokrasi merupakan alat atau instrumen untuk menegakkan kedaulatan rakyat dalam kerangka mencapai tujuan nasional sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Cara untuk mencapai tujuan nasional tersebut, salah satu yang terpenting adalah hilirisasi. Demokrasi yang ada saat ini memang tidak sempurna, tapi harus diakui sudah jauh lebih baik dibandingkan era Orde Baru. Sebagai instrumen, kritik terhadap jalannya demokrasi harus dipahami sebagai proses penyempurnaan terhadap bentuk partisipasi atau kedaulatan rakyat, tetapi tidak sembari melupakan tujuan nasional serta konsepsi untuk mencapainya.
Jokowi memang berpihak, terutama terhadap program yang secara valid dapat dikatakan sebagai langkah kunci pembawa kemajuan bangsa. Keberpihakan terhadap Paslon Prabowo-Gibran hanya konsekuensi dari visi besar tersebut. Sayangnya visi besar ini yang kerap diabaikan oleh narasi “kiamat demokrasi”, “darurat konstitusi”, dan “matinya etika” oleh sebagian ‘kelas menengah terpelajar’ yang oleh rakyat biasa mulai terdengar hanya sebagai kebisingan elektoral.
Dominggus Oktavianus : Sekjen PRIMA – Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran
Foto : Presiden Jokowi saat gunakan hak pilih di Gambir. (Foto: BPMI)


