Perayaan Hari Ulang Tahun Daerah (HUTDA) ke-26 Kabupaten Buol tahun ini mengusung tema “Membangun Masa Depan untuk Buol Agamis, Agropolitan, Maju, dan Berkelanjutan”. dengan Semangat Gotong Royong. Tema ini tampak indah dan penuh cita-cita, namun di balik kalimat yang harmonis itu, tersimpan pertanyaan mendasar: sejauh mana cita-cita itu benar-benar hidup dalam kebijakan dan arah pembangunan Buol hari ini?
Selama dua dekade lebih, Buol telah menapaki perjalanan panjang dari kabupaten baru menjadi daerah yang berupaya menata diri. Namun pembangunan Buol tidak boleh berhenti pada pembangunan fisik semata jalan, kantor, dan infrastruktur tanpa menyentuh persoalan mendasar: kesejahteraan rakyat, keadilan agraria, ruang hidup masyarakat adat, serta masa depan generasi muda.
Buol yang agamis tidak cukup dimaknai hanya dengan seremoni keagamaan atau simbol-simbol moral. Keagamaan harus tercermin dalam keadilan sosial di mana tidak ada rakyat yang dizalimi oleh kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir kelompok. Sementara Buol yang agropolitan seharusnya berarti petani menjadi subjek utama pembangunan, bukan korban dari ekspansi perusahaan besar yang menguasai tanah dan sumber daya.
Kata berkelanjutan juga tidak boleh menjadi kamuflase pembangunan yang menyingkirkan ekologi. Hutan, sungai, dan tanah Buol bukan hanya sumber ekonomi, tetapi warisan kehidupan bagi generasi mendatang. Jika pembangunan mengorbankan lingkungan, maka masa depan yang dibangun hanyalah ilusi.
Dan terakhir, semangat gotong royong nilai luhur bangsa yang kini mulai terkikis oleh individualisme dan kepentingan politik jangka pendek. Gotong royong mestinya bukan hanya jargon dalam upacara, melainkan praksis sosial yang mempersatukan masyarakat dalam mengelola sumber daya, menyelesaikan konflik, dan memperjuangkan haknya bersama.
Buol memasuki usia ke-26 bukan hanya untuk merayakan, tapi untuk merefleksikan. Apakah semangat gotong royong benar-benar hidup dalam kebijakan publik? Apakah anak muda Buol diberi ruang untuk berkreasi dan berkontribusi membangun daerahnya? Apakah suara petani, nelayan, dan rakyat kecil didengar dalam arah pembangunan?
Membangun masa depan Buol tidak bisa hanya dengan tema besar, tapi dengan tindakan nyata: keberpihakan pada rakyat, keberanian menghadapi ketimpangan, dan komitmen menjaga tanah serta budaya Buol dari ancaman komersialisasi.
HUTDA ke-26 harus menjadi momentum untuk menegaskan kembali arah pembangunan: Buol milik rakyat, bukan milik perusahaan. Buol dibangun dengan gotong royong, bukan dengan kepentingan sempit.
Agung Trianto, Penulis adalah salah satu Pemuda Buol


