Mengagumi Soekarno: Warisi Apinya, Jangan Abunya!

Akhir-akhir ini, terutama sejak runtuhnya Orde Baru, figur Sukarno kembali mencuat. Banyak orang yang merindukan dan mengaguminya. Tidak sedikit pula yang memujanya.

Dalam kampanye pemilu, foto Sukarno kadang ikut ‘nimbrung’ di baliho Caleg. Ada juga partai yang sengaja mengarak fotonya dalam kampanye. Tak hanya itu, tokoh-tokoh politik yang krisis identitas terkadang mencaplok gaya Sukarno, entah gaya pidatonya, cara berpakaiannya, dan mikrofon pidatonya, dan lain-lain.

Bahkan, sejak pemilu 2014, gagasan-gagasan Sukarno diadopsi menjadi bahan kampanye dan program politik. Kita menjadi akrab lagi dengan gagasan Trisakti. Pemerintahan Joko Widodo juga mengadopsi istilah penamaan, yaitu Nawacita, yang mirip dengan istilah di era pemerintahan Sukarno.

Itulah yang terjadi: Sukarno dipuja-puji setinggi langit, patungnya berdiri di sejumlah tempat, makamnya tidak pernah sepi pengunjung, dan lain sebagainya. Sementara ajaran Sukarno, terutama marhaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi, nyaris tidak tersentuh dan dielaborasi sesuai semangat zaman.

Lenin, pemimpin Uni Soviet yang terkenal itu, pernah memperingatkan bahaya ketika seorang tokoh revolusioner, yang sudah meninggal dunia, dipuja-puji berlebihan dan dibangunkan patung-patung suci. Biasanya, kata Lenin, ketika tokoh revolusioner masih hidup, ia dikejar-kejar dan ajarannya diharamkan. Namun, begitu meninggal dunia, maka klas penindas akan mengubah mereka menjadi patung-patung suci yang tidak membahayakan.

“..menyatakan mereka sebagai orang-orang suci, memberikan keharuman tertentu kepada nama-nama mereka untuk jadi penghibur bagi kelas-kelas tertindas dan untuk menipu mereka, bersamaan dengan itu mengebiri esensi ajaran revolusioner, menumpulkan ujung revolusionernya yang tajam, dan memvulgarkannya.”

Lenin, Negara dan Revolusi, 1917

Sukarno juga mengalami hal tersebut. Ketika masih hidup, para penjilat yang pura-pura mendukungnya, yakni militer dan kelompok nasionalis kanan, memaksa Sukarno menerima gelar Presiden Seumur Hidup. Akibatnya, hingga sekarang, gelar paksaan itu menjadi dalih bagi orang untuk mengaitkan Sukarno dengan otoritarianisme. Juga gelar-gelar yang lain, seperti Paduka Yang Mulia, Pemimpin Besar Revolusi, dan lain sebagainya.

Di masa Orde Baru, Sukarno dan ajarannya ditindas. Pada tahun 1966, MPRS yang dikomandoi oleh AH Nasution mengeluarkan Ketetapan (TAP), yakni Tap Nomor XXXIII/ MPRS/ 1966 tentang Pencabutan Kekuasaan Sukarno dan Tap MPR XXVI/ MPRS/ 1966 tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Kedua TAP MPRS itu sangat melecehkan Sukarno dan ajaran-ajarannya.

Tak hanya itu, melalui TAP MPRS nomor XXV tahun 1996, marxisme resmi dilarang. Padahal, marxisme punya kontribusi besar dalam memperkaya pemikiran politik progresif para pejuang kemerdekaan Indonesia, termasuk Sukarno. Marxisme berjasa besar dalam membentuk nasionalisme Indonesia yang kiri, yang punya komitmen besar terhadap kesetaraan dan keadilan sosial, sembari memagarinya dari bahaya chauvinisme dan fasisme.

Sukarno sendiri menganggap marxisme sebagai senjata analisa paling tajam untuk membedah keadaan ekonomi, sosial dan budaya sekaligus sebagai teori panduan untuk melancarkan aksi. Di kongres Partindo di Jakarta, 26 Desember 1961, Sukarno menegaskan bahwa marhaenisme adalah marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. Artinya, dengan pelarangan marxisme, ajaran marhaenisme pun kehilangan pijakan berpikirnya.

Sayang, ketika Megawati Sukarnoputri, anak sulungnya, menjadi Presiden dari tahun 2001 hingga 2004, semua TAP MPRS yang melecehkan Sukarno dan ajarannya itu tidak dicabut. PDI Perjuangan, partai yang selalu mengklaim sebagai pewaris ideologi Sukarno, juga sangat lunak ketika memperjuangkan penghapusan semua TAP MPRS tersebut.

Inilah masalahnya: sosok Sukarno diagung-agungkan, fotonya dipajang dan diarak di setiap pemilu, gaya pidatonya ditiru banyak elit politik, kata-katanya dikutip dimana-mana, tetapi pemikiran dan ajarannya diabaikan. TAP MPRS yang membelenggu ajaran Sukarno tidak pernah dicabut secara resmi.

Saya kira, yang penting dari historiografi seorang revolusioner bukan hanya soal perjalanan hidupnya, tetapi yang lebih penting adalah menyelidiki apa yang diwariskannya. Dengan begitu, kita sebagai “pelanjut angkatan” bisa memetik pelajaran darinya dan melanjutkan cita-citanya. Atau, seperti yang sering dikatakan Sukarno sendiri: “ambil apinya, bukan abunya.”

Bagi saya, ada dua hal penting dari warisan Sukarno dan relevan untuk sekarang ini: pemikiran/ajaran dan proyek cita-cita politiknya. Dan saya kira, yang paling ditakuti oleh musuh Sukarno sepanjang sejarah, yakni kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme, adalah dua hal tersebut: pemikiran dan proyek politiknya.

Tak bisa disangkal, pemikiran Sukarno berkontribusi besar dalam penyadaran dan mobilisasi kelas popular di Indonesia dalam kerangka melawan kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Hal ini tidak lepas dari kemampuan Sukarno memperkenalkan pemikiran-pemikirannya, baik melalui bacaan maupun pidato, dengan bahasa sangat sederhana dan gampang dicerna oleh rakyat jelata. Tak bisa disangkal, dari sekian banyak pemimpin revolusioner di Indonesia, Sukarno-lah yang memiliki pengikut terbanyak.

Ajaran Sukarno adalah marhaenisme, yakni sebuah azas politik yang menghendaki sebuah susunan masyarakat tanpa imperialisme dan kapitalisme. Namun, dalam kerangka mewujudkan cita-cita itu, marhaenisme berpijak pada dua pemikiran Sukarno yang lain, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sayang, inti-inti ajaran Sukarno ini jarang dielaborasi hingga sekarang, bahkan oleh partai dan gerakan politik yang ‘mendaku’ sebagai pewaris ajaran Sukarno.

Sukarno sendiri mengatakan, untuk memahami marhaenisme dengan tepat dan benar, ada dua hal mendasar yang mesti dikuasai terlebih dahulu: pertama, pengetahuan yang mendalam mengenai situasi dan kondisi Indonesia; dan kedua, pengetahuan yang mendalam mengenai marxisme. Tanpa menguasai dual tersebut, kata Sukarno, seseorang tidak akan memahami marhaenisme. Pertanyaannya kemudian, bagaimana orang belajar marhaenisme ketika marxisme masih menjadi barang terlarang di Indonesia?

Sukarno, yang meninggal 43 tahun yang lalu, juga mewariskan cita-cita besar bagi bangsa Indonesia, yakni proyek sosialisme Indonesia, yakni sebuah masyarakat yang di dalamnya tidak ada lagi kapitalisme dan  l’exploitation de l’homme par I’homme (penghisapan manusia atas manusia). Sukarno juga mewariskan cita-cita besar untuk seluruh umat manusia di dunia, yakni tatanan dunia baru tanpa tanpa ‘exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par nation’.

Sayang, karena interupsi oleh kudeta Soeharto yang disokong oleh kekuatan imperialis di pertengahan 1960-an, cita-cita itu tidak kesampaian. Justru, karena itu, tugas para “Sukarnois” sekarang adalah melanjutkan proyek cita-cita Sukarno itu.

Namun, untuk melanjutkan cita-cita itu, kita harus terbuka untuk mendiskusikan apa yang sudah dibangun oleh Sukarno dan yang belum, apa yang melenceng dan apa yang sudah tepat, apa yang perlu dikoreksi dan apa yang harus diperkuat. Saya kira, pendiskusian terbuka soal ini justru akan menjadikan proyek politik Sukarno menjadi hidup dan sesuai dengan konteks zaman.

Saya kira, inilah saatnya menghidupkan ajaran-ajaran Sukarno, dengan mengelaborasi dan mengembangkannya dengan perkembangan zaman. Sebab, seperti dikatakan Sukarno sendiri, “teori-teori haruslah diubah, kalau jaman itu berubah; teori-teori haruslah diikutkan pada perubahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut.” Ajaran Sukarno harus dikembalikan elang revolusionernya

Yang tak boleh juga dilupakan, cita-cita Sosialisme Indonesia ala Sukarno belumlah selesai, sehingga para pengikutnya harusnya terpanggil untuk melanjutkannya. Adalah tugas kita, kaum marhaenis atau penerus Sukarno, untuk memastikan cita-cita itu mencapai tujuannya.

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid