Tuan Rumah “Demokrasi”?

Bali kembali menjadi tuan rumah diskusi selama tiga hari mengenai pelaksanaan demokrasi di asia. Acara bernama Forum Demokrasi Bali (Bali Democracy Forum/BDF) menghadirkan 29 negara. Di bagian pembukaan, Presiden SBY diberi kesempatan untuk menyampaikan petuah mengenai pengalaman demokrasi di Indonesia. Dengan bergaya seperti “penjual obat”, SBY membangga-banggakan demokrasi Indonesia sebagai ikon demokrasi di dunia.

Sementara di luar acara ini, Kepolisian Indonesia melakukan represi besar-besaran terhadap gerakan rakyat saat peringatan Hari Anti-korupsi. Di Palu, Sulawesi Tenggara, Polisi membubarkan secara brutal aksi mahasiswa dan menangkap 33 demonstran. Di Makassar, Polisi menggunakan peluru karet untuk membubarkan demo mahasiswa. Sementara di Jakarta, Polisi juga menggunakan kekerasan dan menangkap puluhan demonstran.

Demokrasi “SBY” memang tempatnya hanya di mulut, tidak pernah terlihat di alam nyata. Sejak Indonesia dianggap memasuki proses demokrasi, atau orang biasanya menyebutnya “transisi demokrasi, proses demokrasi bukannya menumbuhkan partisipasi politik, transparansi, dan kesejahteraan rakyat, melainkan demokrasi malah menyuburkan korupsi, politik uang dalam pemilu, diskriminasi, dan lain sebagainya.

Pemerintahan pasca reformasi telah memilih kendaraan demokrasinya, yaitu demokrasi liberal, dan itu diperbaharui dan dipermantap oleh SBY. Pada kenyataannya, demokrasi liberal ini tidak menghantarkan kita pada kemajuan, tetapi justru memukul mundur kehidupan politk, ekonomi, dan budaya kita.

Meskipun SBY di pilih langsung oleh rakyat, dan ia mengumpulkan suara 60%, tetapi dia tidak pernah menjalankan mandat dari rakyat. Sebagian besar keputusan politik SBY dijalankan atas petunjuk dari luar, dan hanya sedikit sekali yang dijalankan menurut aspirasi dari rakyat. Piranti-piranti yang menyusun sistim politik kita adalah produk dari luar, mulai dari sistim pemilu, sistim kepartaian, lembaga negara, dan lain sebagainya.

Sebagian besar produk perundangan kita disusun bukan atas kehendak rakyat, juga bukan oleh buah fikiran anggota parlemen, tetapi disusun dan dirancang dalam bentuk draft oleh lembaga-lembaga asing. Keputusan menjalankan pencabutan subsidi, privatisasi, deregulas, liberalisasi impor, dan lain sebagainya, tidak pernah melalui apa yang disebut konsultasi dengan rakyat, melainkan atas petunjuk trio lembaga imperialis: IMF, Bank Dunia, dan WTO.

Situasi di pemerintahan lokal juga begitu. Ada banyak sekali kasus perampasan tanah, penggusuran pemukiman rakyat, perampasan sumber air, dll, yang kesemuanya itu terjadi karena pemerintah tunduk kepada investor, bukan kepada mandat rakyat.

Di sini, berlaku apa yang disebut oleh intelektual progressif Amerika Serikat, Noam Chomsky, bahwa terdapat semacam “senat virtual”, terdiri dari penguasa setempat, korporasi multinasional, lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan internasional, dan konsultan asing, yang dapat mengambil keputusan apapun terhadap sebuah negeri.

Ambil contoh: kalaupun seluruh rakyat Indonesia menyatakan menolak kenaikan harga BBM, tetapi pemerintah akan tetap menaikkan harga BBM. Sebab, keputusan semacam ini sudah diputuskan oleh “senat virtual” tadi.

Tidak salah kemudian, jika ada yang menyebut SBY bukan Presiden Republik Indonesia, melainkan “Gubernur Jenderal Amerika Serikat” di Indonesia–seperti Gubernur Jenderal di jaman Hindia-Belanda dulu.

Tidak mengherankan pula, karena rejim berkuasa lebih memihak kepada kepentingan asing, yaitu imperialisme, maka mereka pun berdiri secara berlawanan dengan kepentingan nasional dan kepentingan seluruh rakyat. Ada berjuta-juta bukti untuk ini; mulai dari cara penguasa menyelesaikan aksi-aksi rakyat, menindas pemogokan buruh, menggusur rumah-rumah dan sarana produksi rakyat, politik diskriminasi dan stigma (Anti-komunis, anti-china, dan anti-minoritas), dan berbagai cara lainnya.

Makanya, ketika SBY berbicara soal sistim demokrasi, maka dia akan selalu menghubungkannya dengan “stabilitas”. Artinya, demokrasi bagi SBY adalah sebuah situasi dimana tidak perlawanan rakyat terhadap kebijakan neoliberalnya.

Akhirnya, sebagai penutup, dapat kita simpulkan bahwa, kalau rejim ini berteriak-teriak mengenai proses demokrasi, maka itu dapat diartikan sebagai perluasan kepentingan modal dan pelaksanaan represi terhadap rakyat di berbagai tempat.

[post-views]