Teror dan Politik Ingatan

Kamis pagi, 25 Oktober 2012, pukul 08.30,  seorang pengendara motor menemukan sebuah tas hitam yang terbuka dengan gulungan kabel di dalamnya tergeletak di pinggir jalan Tarakan, Poso. Beberapa menit kemudian, puluhan polisi berkumpul di lokasi dengan senjata lengkap siaga di tangan, beberapa menggunakan telepon genggam, mungkin untuk menghubungi mereka yang lebih menguasai keadaan saat itu, Densus 88. Jalanan macet dengan kerumunan orang dari jarak jauh, suasana mencekam, ketakutan menyebar, beberapa orang bergegas pulang menegaskan hari ini tidak akan masuk kantor dulu. Kasak kusuk kerumunan menyebutkan benda tersebut bom. Berita disebarkan melalui pesan singkat, telepon atau dari mulut ke mulut, melintasi daerah dan wilayah dengan cepat bahkan sangat cepat sebelum akhirnya diketahui tas hitam itu milik seorang tukang listrik yang saat peristiwa itu berlangsung sedang memanjat tiang listrik untuk memperbaiki antenna salah seorang warga. Melegakan. Melegakan, namun menit itu telah cukup signifikan mempengaruhi kehidupan warga di hampir seluruh wilayah Kabupaten Poso. Mempengaruhi, bukan hanya karena peristiwa ini bukan yang pertama. Pada saat itu peristiwa-peristiwa lama diingatkan kembali dalam ingatan kolektif tentang konflik yang sebelumnya pernah terjadi di wilayah itu: Konflik Poso. Karena itu, tulisan ini akan membicarakan peristiwa-peristiwa di Poso saat ini dalam rangkaian politik ingatan dan dampaknya bagi perdamaian yang sejati di Poso.

Teror dan kekuasaan

Membicarakan konflik Poso,  berada dalam lingkaran yang berjalin berkelindan mengenai torehan masa lalu, menata kehidupan di masa kini dan harapan damai di masa depan. Ketika sebuah peristiwa kekerasan terjadi, masa lalu, masa sekarang dan masa depan adalah lingkaran pembicaraan yang dibicarakan seolah-olah sebuah garis lurus. Pembicaraan  pembicaraan mengenainya adalah pembicaraan mengenai sejarah suatu periode kehidupan dimana ingatan-ingatan tentang kekerasan tidak bisa diabaikan.

Demikian pula yang sedang terjadi, dan sedang dilanjutkan dengan cara yang sistematis dalam sebulan terakhir di Kabupaten Poso. Peristiwa penembakan misterius yang menewaskan Noldy (27 tahun) warga Desa Sepe, peristiwa penembakan Hasman (36 tahun) warga Desa Masani, hilangnya dua polisi yang kemudian ditemukan tewas, peledakan bom di Kawua dan Pos Polantas Poso, pembakaran pastori gereja, susul menyusul dengan  penemuan beberapa barang mencurigakan di beberapa tempat yang diduga bom, beredarnya selebaran ancaman disertai beredarnya pesan singkat berisi lokasi-lokasi yang menjadi target peristiwa selanjutnya, menjadi rangkaian peristiwa yang me- retrieve (memanggil kembali) ingatan kolektif tentang konflik Poso. Aparat keamanan, pemerintah, para tokoh agama dan tokoh masyarakat, para tokoh perdamaian sepakat pada bahasa yang sama: teror. Media massa lokal dan nasional beramai-ramai bukan hanya sepakat tapi menyebarluaskan bahasa yang sama: teror.

Disini letak persoalan utama yang pertama. Teror sebagai sebuah kata hanya punya satu makna: mengekalkan ketakutan. Hal ini ditunjukkan oleh reaksi pengendara motor yang melihat tas hitam tersebut, juga sebaran pesan singkat, telepon dan dari mulut ke mulut. Ketakutan yang luar biasa itulah yang mendorong pengendara motor ini melaporkan ke Polisi apa yang ditemukannya tanpa pikir panjang. Tas hitam dengan kabel menjadi penanda teror.  Lalu, penanda teror (tas hitam tersebut) dengan sendirinya menjadi teror (entah terbukti sebuah bom atau tidak). Ini dikarenakan sebagai kata yang mengekalkan ketakutan, penggunaan kata teror menjadi kata yang meneror psikologi warga lalu menyebarkan ketakutan. Dalam hal inilah kata teror sendiri mencapai tujuan katanya: membuat semua orang merasakan kekerasan. Ketika diucapkan dalam susunan kalimat yang panjang atau pendek, kata teror menjadikan ketakutan itu menjadi milik bersama tanpa batas-batas menyisakan ruang kritis. Ironisnya (atau sebaliknya, mungkin demikian tujuannya) ini dimulai oleh berbagai pernyataan resmi pemerintah daerah, aparat keamanan baik pusat maupun daerah tentang serangkaian peristiwa di Kabupaten Poso yang menghubungkannya dengan aksi terorisme.

Wacana tentang terorisme di Poso menjadi titik persoalan utama yang berikutnya. Dalam wacana terorisme, setiap orang diseret hanya pada sebuah pemahaman yang sudah ditentukan oleh  kekuasaan (baca: negara) tentang siapa teroris, apa, bagaimana, mengapa, dan seterusnya.  Dalam wacana terorisme kita menyaksikan kekuatan fasis bahasa untuk menjadi “pelembagaan subyektifitas” (St. Sunardi, 2002). Artinya, lewat wacana teroris orang menyerahkan subyektivitasnya tentang terorisme untuk ditentukan oleh kekuasaan, dalam hal ini negara (baca: kepolisian). Maka dalam konteks Poso, dengan sangat mudah aksi teror tersebut di atas diarahkan pada kelompok tertentu, apalagi ketika disertai dengan menjelaskan metode tertentu yang digunakan oleh kelompok yang dituduh sebagai teroris, menghubungkan antar peristiwa, dan kemudian disertai dengan menunjuk lokasi tertentu sebagai sarang teroris. Dalam hal inilah, wacana terorisme adalah peng-kode-an tanpa intervensi dan resistensi yang melahirkan ketaatan pada kekuasaan yang memaksa. Ketaatan ini kemudian memaksa setiap orang menyetujui (saja), mendukung bahkan mendorong penyelesaian semua peristiwa-peristiwa yang terjadi (bom, penembakan, pembunuhan dan sebagainya) kepada kekuasaan, yaitu polisi atau TNI.  Pada akhirnya, semua hanya sibuk membicarakan, mengarahkan kekuatan pada satu wacana tersebut.

Ketika terorisme menjadi wacana yang menghegemoni dalam berbagai peristiwa di Poso seperti saat ini, dua hal yang terjadi. Pertama, pengerahan kekuatan militer. Pengerahan kekuatan militer bukan saja mendapat legitimasi karena kata teror dan terorisme melembaga pada kesepakatan obyektif-sosial dimana lembaga satu-satunya yang diimajinasikan (di-stereotipe-kan) dapat menyelesaikannya adalah kepolisian dengan segala perangkatnya (Densus 88, penjinak bom) dan lalu Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Pihak kepolisian dan BNPT ketika menyebutkan pelaku teror adalah jaringan lama terduga kelompok teroris sedang menggunakan sistem bahasa ini untuk mengerahkan kekuatan dengan berbagai strategi militer. Bahkan,  evakuasi warga Dusun Tamanjeka-pun dilakukan untuk apa yang disebut operasi besar Densus 88. Evakuasi warga Dusun Tamanjeka ini bisa jadi dilakukan karena rencana operasi militer ini telah dengan sistematis menimbulkan rasa tidak aman dan rasa tidak nyaman bagi mereka. Operasi khusus ini direncanakan akan melibatkan 650 personil Polisi dan 3 kompi atau 300 personil TNI. Kehadiran sekitar 1008 tentara yang (entah kebetulan atau tidak) akan mengadakan latihan militer bersama  di  wilayah Poso telah dengan sendirinya menambah situasi yang seakan chaos. Intensitas meninggi ketika Hutan Tamanjeka, akan menjadi wilayah front pertempuran. Teror dengan semua sistem bahasanya telah menggerakkan kekuatan kekuasaan.

Politisasi Ingatan

Kata teror mengekalkan ketakutan kolektif, terutama pada masyarakat di wilayah bekas konflik kekerasan. Karena itu, hal kedua yang terjadi, agenda politik apapun dari kelompok manapun dari sistem bahasa ini (teror) telah  mengaktivasi (mengaktifkan kembali) ingatan masyarakat tentang konflik Poso. Proses aktivasi ingatan ini terjadi secara sistematis dan berulang-ulang melalui berbagai pernyataan pemerintah daerah dan aparat keamanan, bahkan tokoh masyarakat dan para tokoh perdamaian serta disebarluaskan oleh media massa.

Proses aktivasi dilakukan pada tiga hal yaitu konflik yang pernah berlangsung, operasi militer, dan proses damai. Warga, terutama di Poso, diingatkan kembali pada luka karena konflik yang dialami warga Poso (apapun agamanya). Proses mengingat kembali ini tidak mengacu pada periodesasi peristiwa kekerasan sebelumnya di Poso tetapi dikacaukan, dihubungkan saling terkait dalam satu bahasa konflik dan teror,  dimana agama menjadi akarnya.  Pilihan bahasa Kepala BNPT yang menjelaskan Poso dipilih menjadi latihan terorisme karena sering terjadi konflik antar penduduk yang berbeda agama, menghubungkan semua periode sejarah konflik Poso bukan hanya mengabaikan proses-proses perdamaian yang sudah dilakukan oleh masyarakat akar rumput tetapi juga menganggap proses perdamaian antar masyarakat akar rumput itu tidak pernah terjadi. Pernyataan ini juga menunjukkan hegemoni wacana konflik Poso sebagai konflik antar agama masih dipakai sebagai satu-satunya akar konflik, mengabaikan adanya kepentingan ekonomi politik yang sering disampaikan sebagai oleh para pegiat sosial sebagai wacana alternative.

Metode penyelesaian dengan pengerahan kekuatan militer juga telah mengaktivasi ingatan warga pada kehadiran pasukan militer (Polisi dan TNI) pada tahun-tahun sebelumnya. Pada peristiwa kekerasan di Poso sebelumnya telah tercatat 8 jenis operasi militer dengan jumlah personil terbanyak mencapai 5000 personil dan yang terkecil 1500 personil yang meninggalkan deretan instalasi militer berdekatan dengan hampir semua pusat eksploitasi sumber daya alam di sepanjang Kabupaten Poso dan dua kabupaten pemekarannya, Morowali dan Tojo Una-una. KPKP-ST, sebuah organisasi perempuan di Poso, juga mencatat jumlah kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, pemerkosaan, hamil lalu ditinggalkan,  meningkat tajam dalam periode-periode tersebut. Catatan kekerasan yang hanya bisa diingatkan tanpa diselesaikan, seringkali bahkan tidak dibicarakan. Sementara itu, metode teror melalui bom, penembakan dan pembunuhan misterius, juga telah mengaktivasi ingatan luka warga Poso akan berbagai peristiwa yang sebelumnya sudah terjadi secara massif yang selain menyebabkan kematian juga menyingkirkan warga dari tanah-tanahnya yang mengungsi karena ketakutan dan ancaman yang menyebar.

Alih-alih menenangkan warga, pesan dan pernyataan-pernyataan para tokoh agama, tokoh perdamaian, dan pemerintah daerah, menekankan bahasa yang sama: teror. Gaya bahasa yang digunakan berbeda misalnya agar warga berhati-hati dan waspada, agar meningkatkan pengamanan warga, melaporkan hal yang mencurigakan, atau menyampaikan daftar peristiwa kekerasan untuk kemudian mendorong respon yang serius oleh pemerintah pusat termasuk kepolisian. Namun sistem bahasa yang diproduksi dan digunakan sama. Media massa baik cetak, elektronik, jejaring sosial, pesan pendek, menjadi bagian utama yang ikut menyebarkan dan menguatkan proses aktivasi ingatan ini.

Produksi bahasa teror dengan sendiri telah mempolitisir ingatan warga tentang konflik Poso, dan tentang situasi yang mereka mengerti sedang terjadi. Produksi bahasa teror telah mendorong, memaksa warga menyingkirkan ingatan mereka tentang bagaimana mereka masih saling menolong, melindungi saat konflik dan pasca konflik terjadi; cerita tentang proses-proses perdamaian akar rumput yang selama ini telah terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang tidak pernah dibicarakan di media massa. Bahasa teror yang diproduksi dan disebarkan, lalu dikuatkan berulang-ulang cenderung menguasai imajinasi masyarakat sehingga hampir dengan sengaja menyesuaikan bahasa mereka dengan bahasa yang disediakan oleh penguasa.

Hal ini terjadi karena ingatan merupakan produk sosial, akan tetapi dalam banyak hal diproses secara individual dan sebagai pengetahuan diinternalisasi dalam individu. Ingatan individual hanyalah bagian dari ingatan bersama. Ingatan bersama sering dianggap sebagai “puncak” dari ingatan-ingatan individual. Hal itu disebabkan karena sebuah peristiwa menjadi ingatan kolektif ketika interpretasinya (dan ruang komunikasinya,hanya) berada di tangan otoritas dan hirarki dalam kelompok, agama, para tua-tua (Halbwachs, 1992). Dalam hal konflik kekerasan, kendali atas otoritas dan interpretasi ingatan bisa jadi berada di tangan penguasa, kaum elit komunal, dan kaum cendekiawan (terutama para sejarahwan), kaum agamawan (dimana laki-laki notabene mayoritas).  Ketika kendali otoritas dan interpretasi ditangan penguasa, kaum elit komunal dan kaum cendekiawan (terutama para sejahrawan), maka terjadi, terdapat proses peringkasan dan pengabaian fragmen-fragmen unik yang terdapat pada ingatan individual. Ingatan kolektif menyerap kepelbagaian ingatan individual atau kelompok kecil ke dalam tema ingatan bersama yang lebih besar. Dalam hal ini terjadi seleksi bahkan pelupaan atas ingatan-ingatan tertentu untuk kepentingan membangun narasi besar yang dianggap bisa atau demi “membangun kesepakatan-kesepakatan” dengan kepentingan kelompok masing-masing  dan  terhubung dengan ‘bahasa’ yang sama. Sehingga bisa dikatakan dalam konstruksi sosial, ingatan individu terabaikan atau ditindas, menghilang dan dihilangkan, dan tidak dibicarakan. Alhasil, berbagai fenomena kekerasan dan pengalaman yang demikian rumit, disingkat menjadi narasi yang sistematis, memiliki sebab akibat, dan jelas siapa yang menjadi pelaku dan korban, siapa the good and the bad guys-nya.

Dalam hal inilah, meskipun warga Tamanjeka menolak dengan tegas wilayahnya dikatakan oleh pemerintah dan kepolisian sebagai basis latihan teroris, namun hegemoni wacana yang diproduksi oleh kekuasaan dan disebarkan melalui media massa menenggelamkannya, perlahan menyingkirkan cara warga berpikir tentang wilayah mereka sendiri, bahkan bukan tidak mungkin kemudian meragukan apa yang mereka pikirkan. Ini ditunjukkan dengan keputusan untuk mengungsi sementara ketiak wilayah mereka akan menjadi front pertempuran. Di lain pihak, warga  Kelurahan Bukit Bambu yang mayoritas Kristen menerapkan jaga malam untuk menjaga kampung dari apa yang mereka sebut serbuan kelompok teroris. Jaga malam ini dilakukan bahkan bersama-sama dengan warga Kelurahan Sayo, yang nota bene muslim. Di berbagai tempat di Kabupaten Poso, upaya komunikasi melalui pesan singkat oleh banyak perempuan akar rumput dari berbagai desa yang menyampaikan pesan perdamaian dilakukan setiap hari untuk meyakinkan bahwa kitorang (kita bersama-sama) akan saling melindungi, bahwa tidak akan ada lagi konflik. Silahturahmi antar warga muslim dan Kristen tetap terjaga bahkan menguat. Namun, upaya saling melindungi, membantu , menjaga keharmonisan ini ditenggelamkan oleh bahasa dominan yang disebarkan oleh media massa. Dalam konteks inilah bahasa menciptakan kekuasaan untuk melakukan hal yang diperlukannya (pengerahan kekuatan militer, ketakutan) serta mendorong kekerasan yaitu penundukkan. Gramsci menyebutnya sebuah proses penguasaan kesadaran. Sebuah hegemoni.

Tentang Ruang Harapan dari Ingatan Akar Rumput

Ketakutan yang menjalar dalam sistem bahasa teror tidak hanya milik masyarakat tetapi juga aparat keamanan. Pengerahan kekuatan militer pada satu titik menunjukkan bagaimana militer dengan sendirinya sedang menghidupkan ketakutan mereka sendiri. Pada ruang inilah terdapat celah yang memungkinkan bahasa dan ingatan masyarakat akar rumput memungkinkan untuk dibicarakan. Memungkinkan untuk dibicarakan, karena tindakan represif apapun selalu memiliki ruang oposisi, ruang untuk melawan, untuk menggambarkan cara baca yang lain. Fenomena munculnya peletakan barang yang sengaja dililit mencurigakan dan ditempatkan dengan sengaja di ruang publik oleh seorang anak Sekolah Menengah Kejuruan di Tentena, juga di ruas jalan Napu-Poso, yang telah merepotkan ratusan pasukan polisi dan Densus 88, telah menggambarkan cara baca yang berbeda terhadap berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di Kabupaten Poso. Seorang masyarakat saat menyaksikan penemuan barang oleh anggota Densus yang ternyata bukan bom mengatakan“ kalau saya bikin dos yang isinya barang pecah belah diletakkan di satu tempat pasti bisa bikin kacau ratusan polisi”. Cara membaca yang berbeda (dan nyeleneh) ini telah menggunakan sistem bahasa yang sama dengan kekuasaan untuk melakukan kritik terhadap metode penyelesaian persoalan kekerasan di wilayah pasca konflik ini. Disatu pihak aktivitas sehari-hari masyarakat yang berlangsung normal dimana komunitas muslim, Kristen dan hindu tetap saling berinteraksi dan bekerja sama menggambarkan cara baca yang berbeda dengan apa yang disebutkan oleh Kepala BNPT. Yaitu cara baca bahwa kami (masyarakat Poso) tidak terlibat konflik antar kami (yang berbeda agama). Beberapa masyarakat Poso menegaskan “ini  konflik vertikal”.

Cara baca yang berbeda pada akhirnya memungkinkan membuat ruang negosiasi pada bahasa yang hegemonik. Cara baca yang berbeda ini memungkinkan ruang transformasi masyarakat dalam konflik kekerasan menata kehidupannya dalam bahasa dan ingatan mereka sendiri. Karena jika tidak, ketika bahasa dan ingatan menjadi milik kekuasaan, maka perdamaian di Poso tidak pernah bisa ditentukan oleh masyarakat Poso sendiri. Ketika perdamaian di Poso tidak ditentukan oleh masyarakat Poso, ukuran perdamaian tergantung pada kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan. Dalam hal inilah penting suara masyarakat akar rumput juga diangkat, dibicarakan, diperjuangkan.

Lian GogaliPenulis dan Peneliti, tinggal di Poso, Sulawesi Tengah

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid