Syariah dan Perempuan Aceh

Di tengah kampanye untuk kesetaraan perempuan di segala bidang, termasuk dalam urusan politik, DPRK (setingkat DPRD) Kabupaten Bireun malah mengeluarkan desakan untuk mencopot seorang perempuan yang menjadi camat, Anisah. Dalam penjelasannya, seperti dikutip Tribunnews.com (7/10), DPRK mengacu kepada ketentuan syariah yang melarang pemimpin dari kelompok perempuan.

Bukan kali ini saja syariah dijadikan tameng untuk mengekang kaum perempuan. Sebelum ini, ada sejumlah larangan khusus terhadap kaum perempuan, seperti larangan menggunakan celana jeans.

Kenyataan-kenyatan di atas akan bertolak belakang dengan sejarah aceh dan cerita mengenai kepahlawanan para perempuannya di medan perang. Kita akan bertemu nama-nama besar dalam sejarah Aceh, diantaranya, Laksamana Malayahati, Cut Nyak Dien, Teungku Fakinah, Cut Meutia, Cutpo Fatimah, Pocut Meurah Intan, dan Pocut Baren.

Laksamana Malahayati disebut sebagai perempuan pertama yang memimpin armada laut kerajaan. Dia dikenal dengan kepiawaiannya memimpin pertempuran di laut, termasuk melawan pasukan portugis.  Dia memimpin sebuah pasukan yang bernama Inong Balee (perempuan janda) dan terkenal dengan keberaniannya. Bukan hanya itu, Malahayati juga dikenal sebagai seorang diplomat yang ulung.

Pendek kata, kisah perempuan Aceh bukan saja tentang bagaimana mereka terlibat dalam perlawanan terhadap kolonialisme, tetapi menjadi pemimpin dari perlawanan itu sendiri. Daerah lain tentu juga punya cerita seperti ini, namun tidak semenonjol cerita mengenai perempuan Aceh.

Aceh, yang terkenal dengan kekayaan sumber daya tambangnya, kini menjadi daerah perebutan modal asing dan perusahaan multi-nasional. Kekayaan alam yang melimpah tersebut tidak jatuh ke tangan rakyatnya, namun jatuh ke tangan segelintir perusahaan multinasional, seperti ExxonMobile dan PT. Arun.

Sayang sekali, di tengah kesulitan dan penderitaan rakyat akibat neoliberalisme, pihak penguasa di Aceh berusaha menggunakan syariah untuk membentengi protes dan perlawanan rakyatnya. Ada semacam simbiosis mutualisme atau persekongkolan antara kapitalisme neoliberal dan golongan fundamentalis di Aceh.

Ada banyak sekali perda-perda syariah yang, meminjam sejarahwan Taufik Abdullah, sangat menghina perempuan. Sejarah kepahlawanan perempuan Aceh menunjukkan bahwa perempuan itu tidak lemah, sehingga tidak perlu dilindungi dengan pemberlakuan perda-perda semacam itu.

Terkait dengan hal di atas, maka kita patut menyesalkan pernyataan Ketua DPRK Bireun, Ridwan Muhammad, yang melarang perempuan menduduki jabatan politik. Pernyataan itu bukan saja merendahkan martabat perempuan, tetapi juga bertolak-belakang dengan sejarah Aceh sendiri.

KH Said Agil Siradj pernah mengatakan, keberadaan pemimpin laki-laki bukan jaminan adanya pengayoman bagi rakyat, karena tidak sedikit pemimpin laki-laki yang justru menzalimi rakyatnya. “Belum tentu kalau pemimpin laki-laki akan menjamin bisa mengayomi rakyat. Tidak kurang-kurang pemimpin laki-laki yang zalim, sebut saja Firaun, Hitler, juga Saddam Husein,” kata Said Agil dalam sebuah diskusi (2004).

Selain itu, perda-perda syariah yang selama ini berfungsi menjadi “tameng” untuk membelenggu dan menghalangi pengembangan potensi perempuan, seharusnya dihapuskan saja.

Seharusnya, dengan potensi kekayaan alam yang melimpah, pemerintah Aceh berupaya memobilisasi seluruh rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk membangun negeri “serambi mekah” tersebut.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid