Bung Karno: Kapitalisme Bangsa Sendiri?

I

Dalam suatu rapat umum saya pernah berkata, bahwa kita bukan saja harus menentang kapitalisme asing, tetapi harus juga menentang kapitalisme bangsa sendiri. Hal ini telah mendapat pembicaraan di dalam pers, dan saya pun mendapat beberapa surat yang minta hal ini diterangkan sekali lagi dengan singkat.

Dengan segala senang hati saya memenuhi permintaan-permintaan itu. Sebab soal ini adalah soal yang mengenai beginsel. Beginsel, yang harus dan musti kita perhatikan, jikalau kita mengabdi kepada rakyat dengan sebenar-benarnya, dan ingin membawa rakyat ke arah keselamatannya.

Supaya buat pembaca soal ini menjadi terang, dan supaya pembicaraan kita bisa tajam garis-garisnya, maka perlulah lebih dulu kita menjawab pertanyaan:

Apakah kapitalisme itu?

Didalam saya punya buku pembelaan saya pernah menjawab: kapitalisme adalah stelsel pergaulan hidup, yang timbul daripada cara produksi yang memisakan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme adalah timbul dari ini cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya meerwaarde tidak jatuh di dalam tangannya kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangannya kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, adalah menyebabkan kapitaalaccumulatie, kapitaal-concentratie, kapitaalcentralisatie, dan industrieel reserve armee. Kapitalisme mempunyai arah kepada verelendung, yakni menyebarkan kesengsaraan.

Itulah kapitalisme!—yang prakteknya bisa kita lihat di seluruh dunia. Itulah kapitalisme, yang ternyata menyebarkan kesengsaraan, kepapaan, pengangguran, balapan-tariff, peperangan, dan kematian,–pendek kata menyebabkan rusaknya susunan-dunia yang sekarang ini. Itulah kapitalisme yang melahirkan modern-imperialisme, yang membikin kita dan hampir seluruh bangasa berwarna menjadi rakyat celaka!

Siapa di dalam beginsel tidak anti kepada stelsel yang demikian itu, adalah menutup mata buat kejahatan-kejahatan kapitalisme yang sudah senyata-nyatanya itu. Tiap-tiap orang, yang mempunyai beginsel yang logis, haruslah anti kepada stelsel itu. Sebab, –sekali lagi saya katakan–, stelsel itu ternyata dan terbukti stelsel yang mencelakakan dunia.

“Ya,” orang menyahut. “tetapi kapitalisme bangsa sendiri?” kapitalisme bangsa sendiri yang bisa kita pakai untuk memerangi imperialisme? Apakah kita harus juga anti kapitalisme bangsa sendiri itu, dan menjalankan perjuangan kelas alias klassentrijd?”

Dengan tertentu disini saya menjawab: ya, kita juga harus anti kepada kapitalisme bangsa sendiri itu! Kita juga harus anti isme yang ikut menyengsarakan marhaen itu. Siapa mengetahui keadaan kaum buruh di industri batik, rokok-kretet, dan lain-lain dari bangsa sendiri, dimana saya sering melihat upah-buruh yang kadang-kadang hanya 10 a’ 12 sen sehari,–siapa mengetahui keadaan perburuhan yang sangat buruk di industri-industri bangsa sendiri itu—-, ia mustilah menggoyangkan kepala dan rasa-kesedihan melihat buahnya cara produksi yang tak adil itu. Pergilah ke Mataram, pergilah ke Lawean Solo, pergilah ke Kudus, pergilah ke Tulung Agung, pergilah ke Blitar,–dan orang akan menyaksikan sendiri “rahmat-rahmatnya” cara produksi itu.

Seorang nasionalis, justru karena ia seorang nasionalis, harulah berani membukakan mata di muka keadaan-keadaan yang nyata itu. Ia harus mengabdi kepada kemanusiaan. Ia harus memperhatikan perkataan-perkataan Gandhi yang saya sajikan tempo hari: nasionalismeku adalah kemanusiaan. Ia harus sosio-nasionalis,–yakni seorang nasionalis yang mau memperbaiki masyarakat dan yang dus anti segala stelsel yang mendatangkan kesengsaraan ke dalam masyarakat itu. Ia harus seorang Jawaharlal Nehru yang berkata:

“Saya seorang nasionalis. Tapi saya juga seorang sosialis dan republiken. Saya tidak percaya kepada raja-raja dan ratu-ratu, tidak pula kepada susunan masyarakat yang melahirkan raja-raja industri yang pada hakekatnya berkuasa lebih besar lagi daripada raja-raja di jaman sediakala. Saya niscaya mengerti, bahwa congress belum bisa mengadakan program sosialistis yang selengkap-lengkapnya.  Tetapi filsafat sosialisme sudahlah dengan perlahan-lahan menyerapi segenap susunan masyarakat di seluruh dunia. India niscaya akan menjalankan cara-cara sendiri, dan mencocokkan cita-cita sosialisme itu kepada keadaan penduduk India seumumnya.”

Tetapi, apakah ini berarti, bahwa kita harus memusuhi tiap-tiap orang Indonesia yang mampu? Sama sekali tidak. Sebab pertama-tama: kita tidak memerangi “orang”,–kita memerangi stelsel. Dan tidak tiap-tiap orang yang mampu adalah menjalankan stelsel kapitalisme. Tidak tiap-tiap orang yang mampu adalah mampu karena mengeksploitasi orang lain. Tidak tiap-tiap orang mampu adalah menjalankan cara produksi sebagai yang saya terangkan dengan singkat (dengan mencitat dari pembelaan) di atas tadi. Dan tidak tiap-tiap orang mampu adalah ikut atau hidup di dalam ideologi kapitalisme, yakni di dalam akal, fikiran, budi-pekerti kapitalisme. Pendek kata, tidak tiap-tiap orang mampu adalah jenderal atau sersan atau serdadu kapitalisme!

Dan apakah prinsip kita itu berarti, bahwa kita ini harus mementingkan perjuangan kelas? Juga sama sekali tidak. Kita nasionalis, mementingkan perjuangan nasional, perjuangan kebangsaan.

Hal ini saya terangkan dalam karangan saya yang akan datang.

II

Di dalam karangan saya yang lampau saya katakan, bahwa kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita dalam perjuangan kita mengejar Indonesia-merdeka itu tidak pertama-tama mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus mengutamakan perjuangan nasional. Memang kita, –begitulah saya tuliskan–, adalah kaum nasionalis, kaum kebangsaan, dan bukan kaum apa-apa yang lain.

Apa sebabnya kita harus mengutamakan perjuangan nasional di dalam usaha kita mengejar Indonesia merdeka? Kita mengutamakan perjuangan nasional, oleh karena keinsyafan dan perasaan nasional, adalah keinsyafan dan perasaan yang terkemuka di dalam suatu masyarakat kolonial.

Didalam sesuatu masyarakat selamanya adalah antithese, yakni perlawanan. inilah menurut dialektiknya semua keadaan. Tetapi di Eropa, di Amerika, antithese ini sifatnya adalah berlainan dengan antithese yang ada disesuatu negeri kolonial.

Pada hakekatnya, antithese dimana-mana adalah sama: perlawanan antara yang “diatas” dan yang “dibawah”, antara yang “menang” dan yang “kalah”, antara yang menindas dan yang tertindas. Tetapi di Eropa, di Amerika, dan di negeri-negeri lain yang merdeka, dua golongan yang ber-antithese itu adalah dari satu bangsa, satu kulit, satu ras. Kaum modal Amerika dengan kaum buruh Amerika, kaum modal Eropa dengan kaum buruh Eropa, kaum modal negeri merdeka dengan kaum buruh negeri merdeka, umumnya adalah dari satu darah, satu natie. Karena itulah maka disesuatu negeri yang merdeka antithese tadi tidak mengandung rasa atau keinsyafan kebangsaan, tidak mengandung rasa atau keinsyafan nasional, tetapi adalah bersifat zuivere klassenstrijd, –perjuangan klas yang melulu perjuangan klas.

Tetapi didalam negeri jajahan, didalam negeri yang dibawah imperialisme bangsa asing, maka yang “menang” dan yang “kalah”, yang “diatas” dan yang “dibawah”, yang menjalankan kapitalisme dan yang dijalani kapitalisme, adalah berlainan darah, berlainan kulit, berlainan natie , berlainan kebangsaan. Antithese didalam negeri jajahan adalah “berbarengan” dengan antithese bangsa, —samenvallen atau coїnsederen dengan antithese bangsa. Antithese didalam negeri jajahan adalah, oleh karenanya, terutama sekali bersifat antithese nasional.

Itulah sebabnya, maka perjuangan kita untuk mengejar Indonesia Merdeka, –jikalau kita ingin lekas mendapat hasil–, haruslah pertama-tama mengutamakan perjuangan nasional, yakni pertama-tama mengutamakan perjuangan nasional, kita anti segala kapitalisme, kita anti kapitalisme bangsa sendiri, –tetapi kita untuk mencapai Indonesia Merdeka, yakni untuk mengalahkan imperialisme bangsa asing, harus mengutamakan perjuangan kebangsaan.

Mengutamakan perjuangan kebangsaan, itu TIDAK berarti bahwa kita tidak harus melawan ketamakan atau kapitalisme bangsa sendiri. Sebaliknya! Kita harus mendidik Rakyat juga benci kepada kapitalisme bangsa sendiri, dan dimana ada kapitalisme bangsa sendiri, kita harus melawan kapitalisme bangsa sendiri itu juga! Tetapi MENGUTAMAKAN perjuangan nasional, –itu adalah berarti, bahwa pusarnya, titik beratnya, aksennya kita punya perjuangan haruslah terletak didalam perjuangan nasional. Pusarnya kita punya perjuangan sekarang haruslah didalam memerangi imperialisme asing itu dengan segala tenaga kita nasional, dengan segala tenaga-kebangsaan, yang hidup didalam sesuatu bangsa yang tak merdeka dan yang ingin merdeka! Pusarnya kita punya perjuangan sekarang haruslah didalam dynamisering, –yakni membangkitkan menjadi aksi dan perbuatan–, daripada rasa kebangsaan alias nationaal bewustzijn (kesadaran kebangsaan, ed.) kita, — nationaal bewustzijn yang hidup didalam hati sanubari tiap-tiap Rakyat sadar yang tak merdeka.

Jadi, siapa yang mengira, bahwa kita punya nasionalisme adalah nasionalisme yang suka “main mata” dengan borjuisme, ia adalah salah sama sekali. Kita hanyalah menjatuhkan pusar, titik berat, aksennya kita punya perjuangan didalam perjuangan nasional. Borjuisme harus kita tolak, kapitalisme harus kita lawan, –oleh karena itulah maka kita punya nasionalisme Marhaenistis. Sebab, hanya kaum Marhaen sendirilah yang menurut dialektik satu-satunya golongan yang sungguh-sungguh berantithese dengan borjuisme dan kapitalisme itu, dan yang dus bisa sungguh-sungguh menentang dan mengalahkan borjuisme dan kapitalisme itu. Hanya kaum Marhaen sendirilah yang menurut riwayat bisa menjalankan “pekerjaan-riwayat” alias “historische taak”, menghilangkan segala borjuisme dan kapitalisme di negeri kita adanya!

Memang! Marhaenistis nasionalismelah pula yang cocok dengan keadaan nyata yang didatangkan oleh imperialisme di Indonesia sini. Imperialisme Belanda, sedikit berlainan dengan imperialisme Inggris atau imperialisme Amerika, adalah lebih “memarhaenkan” masyarakat Bumiputera daripada imperialisme-imeprialisme yang lain. Imperialisme Belanda itu sejak mulanya datang di Indonesia sini, adalah berasas dan bersifat monopolistis, –merebut tiap-tiap akar perusahaan, pertukangan atau perdagangan atau pelajaran yang ada di Indoensia sini. Imperialisme Belanda itu adalah imperialisme yang lebih “kolot” daripada imperialisme-imperialisme yang lain. Tidak ada sedikitpun warna modern-liberalisme padanya, sebagaimana yang tampak pada imperialisme-imperialisme yang lain. Politiknya adalah politik menggagahi semua lat perekonomiaan di Indonesia sini, menggagahi segala “economisch leven” (kehiduoan ekonomi) di Indonesia sini.

Kini masyarakat Indonesia adalah “masyarakat kecil”, masyarakat yang hampir segala-galanya kecil. Kini masyarakat Indonesia buat sebagian yang besar sekali hanyalah mengenal pertanian kecil, pelajaran kecil, perdagangan kecil, perusahaan kecil. Kini masyarakat Indoensia adalah 90% masyarakat kekecilan itu, –masyarakat Marhaen yang hampir tiada kehidupan ekonominya sama sekali. Oleh karena itulah, maka Marhaenistis nasionalisme adalah satu-satunya nasionalisme yang cocok dengan sifatnya masyarakat Indonesia itu, cocok dengan keadaan nyata, cocok dengan realiteit di Indoensia itu. Dan oleh karena itulah pula, maka juga hanya Marhaenistis nasionalisme sajalah yang bisa menjalankan historische taak mendatangkan Indonesia-Merdeka dengan secepat-cepatnya, — historische taak yang sesuai juga dengan historische taak-nya menghilangkan segala borjuisme dan kapitalisme adanya!

Jawaharlal Nehru, didalam pidatonya dimuka National Congress yang ke 44, sebagai yang telaah kita kutip tempo hari, mengakui dengan terus terang seorang Sosialis, yang anti segala kapitalisme. Tetapi Jawaharlal Nehru itu pula adalah seorang Nasionalis, —the second uncrowned king of India, raja kedua dari India yang tak bermahkota–, yang membangkitkan segala tenaga Rakyat India yang tak bermahkota–, yang membangkitkan segala tenaga Rakyat India kedalam suatu perjuangan nasional yang mati-matian. Nasionalisme Jawaharlal Nehru adalah nasionalisme India yang Marhaenistis, suatu Sosio-Nasionalisme yang ingin menghilangkan semua kapitalisme, menyelamatkan seluruh masyarakat India.

Nasionalisme yang demikian itulah nasionalisme kita pula.

Fikiran Ra’jat, 1932.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid