Sosialisme Menari Di Jalanan Havana

Senyum hangat menyambut saya di bandara internasional Jose Marti, Havana. Miguel, teman saya yang asli Kuba, sudah menunggu di pintu keluar terminal. Ia menanyakan kabar saya, lalu mengajak saya berjalan menuju mobilnya di parkiran.

Di sepanjang perjalanan, Miguel banyak bercerita mengenai reformasi ekonomi yang sedang dijalankan Raul Castro, adik kandung dari legenda revolusi dan pemimpin revolusioner Kuba, Fidel Castro. “Saya setuju dengan paket reformasi itu,” kata Miguel.

Saya tidak terlalu menanggapi cerita Miguel, selain karena kurang mengikuti perkembangan politik Kuba, juga karena mataku tertuju pada banyaknya orang yang berdiri di pinggir jalan. “Oh, mereka sedang mencari tumpangan. Di sini, semua kendaraan dianggap kendaraan umum,” kata Miguel.

Tidak terasa, saya dan Miguel sudah sampai di rumahnya. Miguel di tinggal di Centro Habana, sebuah distrik di kota Havana. Miguel Camilo, anak seorang pemilik penginapan di Centro Habana, adalah salah satu mahasiswa Kuba yang mendapatkan bea siswa untuk belajar di Kanada.

Keluarga Miguel sangat sederhana. Di rumah mereka yang lumayan besar, dimana sebagian kamarnya disewakan, ada banyak orang asing yang menginap. Camilo, ayah Miguel, adalah seorang pengagum setia Fidel Castro dan Che Guevara.

Semangat Rakyat Kuba

Orang mungkin terkesan dengan keindahan kota Havana, tetapi yang paling mengesankan bagi saya adalah manusianya. Saya bukan seorang sosialis atau pengikut dari sebuah ideologi kiri manapun. Tapi, terhadap patriotisme rakyat Kuba, saya siap angkat topi.

Jorge Rodríguez, seorang sopir Coco Taxi (sejenis angkutan umum yang mirip dengan Bajaj di Jakarta), menceritakan dengan bangga kemajuan-kemajuan yang dicapai rakyat Kuba setelah 52 tahun pasca revolusi. “Kami bangga dengan revolusi, karena anak-anak kami bisa bersekolah tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun,’ katanya.

Cerita-cerita seperti ini disampaikan Rodríguez kepada turis-turis lainnya, terutama kepada turis eropa. “Cerita yang berkembang di Eropa selalu mendiskreditkan kami dan pencapain dari revolusi,” katanya.

Rodríguez tidak sendirian. Sebagian besar rakyat Kuba sangat bangga dengan negerinya dan mereka tidak ragu-ragu untuk meneriakkan “Patria O Muerte”.

Selama seminggu saya berjalan-jalan di Havana, saya tidak menemukan adanya pengemis ataupun kejahatan. “Di sini, hampir tidak ada kekerasan dan kejahatan. Semua orang berpartisipasi untuk menciptakan situasi aman,” kata Rodríguez.

Saya merasa kagum dengan orang seperti Rodríguez. Dia begitu bangga dengan negerinya, meskipun berada di tengah kesederhanaan. Kuba, yang seharusnya bisa berkembang lebih jauh, selama puluhan tahun diembargo secara kejam oleh Amerika Serikat dan sekutunya.

Rakyat Kuba hidup sangat bersahaja dan sederhana. Setiap hari, di pinggir jalan dan taman-taman, orang kuba selalu menyanyi dan menari.

Suatu hari, karena terlalu panas, saya memilih berdiri di emperan gedung. Tidak lama berdiri di situ, seorang anak menghampir saya dan meminjamkan payungnya. Karena terfikir dengan kebiasaan anak-anak penyedia jasa payung saat hujan di Jakarta, saya pun menarik 1 CUC (mata uang untuk turis) dari kantong saya dan menyerahkannya kepada anak itu. Anak itu mengangkat kedua tangannya tanda menolak. Belakangan, berdasarkan cerita Miguel, anak-anak di Kuba dilarang mengemis kepada turis asing.

Keindahan Kota Havana

Kota Havana terbagi menjadi dua: havana tua dan havana baru. Di Old Havana, anda akan dibuat kagum oleh deretan bangunan tua peninggalan kolonialisme Spanyol.

Di temani oleh Miguel, saya menyempatkan diri untuk melihat-lihat bangunan tua kota old Havana, seperti katedral, mansion-mansion kuno, dan museum-museum. Zanja Real–kanal-kanal yang dibangun semasa penjajahan Spanyol–masih terlihat jelas di bawah bawah bangunan tua itu.

Saya sempat diajak ke hotel Ambos Mundos. Di hotel ini, kata Miguel, penulis terkenal Amerika, Earnest Hemingway, pernah menginap dan tinggal lama selama di Kuba.

Salah satu kelebihan Havana adalah keberadaan taman-taman kota dan hutan tengah kota dengan pepohonan yang rimbun. Taman-taman seperti ini sudah jarang di temui di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Karena kesuksesan pemerintah dan rakyat Kuba menjaga situs tua itu, UNESCO telah menetapkan Havana sebagai salah satu warisan dunia.

Dan, tak pelak lagi, karena keindahan dan pesona kota Havana ini, penulis besar Ernest Hemingway pernah menulis: “Havana adalah salah satu kota terindah di dunia, lebih indah dari Venesia atau Paris.”

Sosialisme

Seperti sudah saya jelaskan di atas, bahwa saya bukan seorang sosialis ataupun pendukung ideologi kiri manapun. Saya tidak mengetahui seperti apa yang dimaksud sosialisme itu.

Jauh sebelum ke Kuba ini, saya sudah mendengar cerita sukses negeri penghasil cerutu ini di bidang kesehatan dan pendidikan.

Di bidang pendidikan, misalnya, ketika revolusi baru menang tahun 1959, Kuba baru mempunyai tiga Universitas. Tetapi, pada tahun 2010, Kuba sudah mempunyai 69 Universitas yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten.

Pada saat bersamaan, Kuba juga menerapkan pendidikan gratis kepada seluruh anak didik di semua jenjang pendidikan. Dengan jumlah penduduk sekitar 11 juta, sejuta diantaranya adalah sarjana.

Di bidang kesehatan, Kuba mendapat pengakuan dari WHO sebagai salah satu negara dengan tingkat pemeliharaan kesehatan terbaik di dunia. Bahkan, menurut laporan WHO, usia harapan hidup orang-orang kuba mencapai 78 tahun. Bandingkan dengan usia harapan hidup orang Indonesia yang masih sangat rendah: 67 tahun.

Nestor Sandino, seorang buruh pabrik cerutu Upmann H di kota Havana, mengaku sangat puas dengan capaian revolusi sosialis saat ini. Baginya, kendati kehidupan mereka tidak semewah di barat, tetapi kemajuan sosial dan pembangunan manusianya patut dibanggakan.

Bung Karno Dan Rakyat Kuba

Pada tahun 1960, setahun setelah revolusi, Bung Karno berkunjung ke Kuba. Roberto Cobas, yang ketika itu masih anak-anak, menceritakan bagaimana iring-iringan mobil Bung Karno berjalan pelan di jalanan kota Havana.

“Kami hanya diberitahu, bahwa Soekarno adalah pemimpin anti-kolonialis dari asia dan sahabat rakyat Kuba,” katanya.

Bung Karno mengunjungi Kuba pada 13 Mei 1960. Setahun sebelumnya, Che Guevara, atas nama pemerintah Kuba, juga mengunjungi Indonesia dan sempat jalan-jalan ke candi Borobudur.

Dan, untuk mengingat hubungan bersahabat Indonesia dan Kuba, Pemerintah Kuba menerbitkan prangko dengan gambar Bung Karno dan Fidel Castro pada bulan Juni tahun 2008 lalu.

Menjelang detik-detik kejatuhan Bung Karno, tepatnya tanggal 26 januari 1966, mengirimkan surat kepada Fidel Castro, yang saat itu masih menjabat Perdana Menteri. Dalam surat singkat itu, Bung Karno menceritakan bagaimana dampak Gestok terhadap revolusi Indonesia. “Sekian dahulu kawanku Fidel!” tulis Bung Karno di kalimat penutup suratnya.

Ya, di Indonesia, fikiran-fikiran Bung Karno lambat laun ditinggalkan. Tetapi di Kuba, sebagaimana hasil diskusi saya dengan beberapa orang Kuba, pembangunan Kuba sangat ditekankan kepada kemandirian ekonomi. Hal ini sangat mirip dengan gagasan Bung Karno beberapa puluh tahun yang lalu tentang “Berdikari”–berdiri di kaki sendiri.

Tentu saja, setiap bangsa punya jalannya sendiri, dan rakyat Kuba sedang menjalani jalan mereka itu.

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid