Soekarno Dan Tiga Tingkat Pergerakan Perempuan

Sangat sedikit pemimpin politik laki-laki yang mau menghabiskan waktu untuk mengulas soal gerakan perempuan. Dan Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, yang berhasil melakukan itu. Bahkan, begitu pentingnya gerakan perempuan di mata Soekarno, ia menelurkan sebuah buku berjudul “Sarinah”.

Buku “Sarinah” selesai cetak November 1947. Kata Soekarno, buku ini berisi bahan-bahan yang disampaikannya saat kursus wanita di Jogjakarta. Kursus itu diselenggarakan dua minggu sekali. Bagi Soekarno, pemahaman soal perjuangan perempuan tidak bisa dianggap enteng.

Ia jengkel kepada mereka yang mengabaikan pentingnya membahas persoalan perempuan. Soekarno bilang, “kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika (antara lain) kita tidak mengerti soal-soal wanita.” Sebab, bagi Soekarno, soal wanita adalah soal masyarakat.

Saya sudah membaca buku “Sarinah” itu. Menariknya, di dalam buku tersebut, Soekarno mengulas tiga tingkatan dalam pergerakan perempuan. Di sini, Soekarno menggunakan tingkatan, bukan kategorisasi atau pengelompokan.

Baiklah, saya berusaha mengelaborasi tiga tingkatan pergerakan perempuan versi Soekarno tersebut.

Tingkat pertama, perempuan berusaha menyempurnakan “keperempuanannya” (Soekarno menggunakan tanda kutip di bukunya). Kelihatannya, “keperempuanan” di sini dapat diartikan sebagai cara-pandang umum masyarakat—tentunya dalam masyarakat patriarchal—mengenai kodrat perempuan, seperti memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya.

Soekarno merujuk pada pengalaman perempuan barat. Di sana, katanya, muncul perserikatan atau klub-klub perempuan, terutama di kalangan perempuan klas atas, yang tujuannya mempersiapkan perempuan lebih matang dalam berumah-tangga. Klub-klub itu mengajari perempuan ilmu memasak, menjahit, memelihara anak, bergaul, kecantikan, estetik, dan lain-lain.

Meskipun sudah mendirikan perkumpulan, dan anggotanya seluruhnya perempuan, tetapi mereka belum menyinggung soal hak-hak perempuan. Mereka tidak menyinggung sedikitpun patriarkisme dan ekses-eksesnya.

Kalaupun mereka mendirikan sekolah bagi perempuan, lagi-lagi itu tidak lebih sebagai bentuk “pembekalan” agar perempuan siap berkeluarga. “Sekolah-sekolah mereka tak ubahnya sekolah-sekolah berumah-tangga di zaman sekarang. Mereka mendidik wanita agar laku di kalangan pemuda bangsawan dan hartawan,” ungkap Soekarno.

Pelopor gerakan ini, tulis Soekarno, adalah Madame de Maintenon di Perancis dan A. H Francke di Jerman. Gerakan ini, ungkap Soekarno, tidak memberikan penyadaran kepada perempuan. Gerakan ini masih tunduk pada hukum patriarchal, yang merendahkan martabat kaum perempuan.

Tingkatan kedua, pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, khususnya dalam melakukan pekerjaan dan hak pilih dalam pemilu. Gerakan ini sering diberi label “emansipasi perempuan”.

Bagi Soekarno, kelahiran gerakan tingkat kedua ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme. Ia menjelaskan, perubahan corak produksi, dalam hal ini dari feodalisme ke kapitalisme, turut mengubah anggapan-anggapan (cara-pandang) di dalam masyarakat, termasuk cara pandang terhadap perempuan. Kapitalisme butuh menarik perempuan keluar rumah agar menjadi buruh di pabrik-pabrik kapitalis.

Pelopor gerakan tingkat kedua ini adalah Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams di Amerikat Serikat; Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose Lacombe, dan Theorigne de Mericourt di Perancis. Sekalipun, harus diakui, diantara mereka ini punya metode berjuang yang berbeda.

Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams, misalnya, ketika penyusuna konstitusi AS pada tahun 1776, mereka menuntut agar kaum perempuan diberi pengakuan dan tempat di dalamnya, seperti hak mendapat pendidikan dan terlibat dalam kekuasaan politik.

Di Perancis, gerakan perempuan berwatak lebih radikal. Perempuan-perempuan Perancis mengambil bagian dalam Revolusi Perancis (1789). Madame Roland, seorang perempuan kalangan atas, yang pemikirannya banyak mempengaruhi pemimpin politik Perancis. Ia menuntut partisipasi perempuan yang lebih luas.

Kemudian ada Olympe de Gouges, mewakili perempuan kalangan bawah, yang tulisan dan pemikirannya secara tajam menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Soekarno memuji Olympe de Gouges sebagai perempuan radikal dan militan, yang berani menentang pemerintahan teror Robespiere.

Pergerakan ini lebih banyak bertumpu pada “persamaan hak” dalam segala hal, termasuk dalam urusan politik. Dalam ekspresi gerakannya, kata Soekarno, lebih banyak mempersoalkan dominasi laki-laki.

Namun, Soekarno menganggap gerakan ini sebagai tipe gerakan perempuan borjuis. Sebab, bagi Soekarno, sekalipun nantinya segala ruang itu dibuka bagi perempuan, termasuk politik, tetap saja yang menikmati hanya perempuan klas atas dan menengah. Sedangkan perempuan kebanyakan, yakni dari kalangan rakyat jelata, tidak bisa berpartisipasi.

Bagi Soekarno, selama relasi produksi tidak berubah, maka perempuan kalangan bawah tetap saja sulit berpartisipasi penuh dalam politik. Persamaan hak saja tidaklah cukup, jikalau perempuan masih terhisap di dalam relasi produksi kapitalistik. Maka, lahirlah gerakan perempuan tingkat ketiga: gerakan perempuan sosialis.

Tingkatan ketiga ini, yakni pergerakan perempuan sosialis, di mata Soekarno, merupakan penyempurnaan terhadap gerakan perempuan. Di sini, gerakan perempuan tidak sebatas menuntut persamaan hak alias penghapusan patriarkhi, tetapi hendak merombak total struktur sosial yang menindas rakyat—laki-laki dan perempuan.

Soekano banyak merujuk pada ahli teori Marxis, Frederick Engels, dalam buku berjudul “Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara”. Karena itu, Soekarno beranggapan, penindasan perempuan tidak bisa dilepas dari relasi produksi. “Semakin penting kedudukan perempuan dalam produksi, maka semakin penting pula kedudukannya di dalam masyarakat,” katanya.

Soekarno juga banyak dipengaruhi oleh Clara Zetkin dan newsletter propagandanya, Die Gleichheit. Soekarno memahami perlunya menyeleraskan perjuangan pembebasan perempuan dan perjuangan untuk sosialisme. Dia berpendapat, perempuan yang bekerja, seperti juga laki-laki yang bekerja, menderita di bawah jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Karena itu, kepentingan keduanya identik, yakni menghapuskan kapitalisme dan mendatangkan sosialisme.

Terkait partisipasi perempuan di parlemen, Soekarno berusaha menarik perbedaan antara feminis liberal dan gerakan perempuan sosialis: “kaum feminis dan suffragette itu menganggap hak perwakilan itu sebagai tujuan akhir, sedangkan wanita sosialis menganggapnya hanya sebagai salah satu alat semata dalam perjuangan menuju pergaulan hidup baru yang berkesejahteraan sosial (sosialisme).”

Dalam konteks Indonesia, Soekarno soekarno menganggap gerakan perempuan sebagai aspek penting bagi kemenangan revolusi menuju sosialisme. Ia mengutip pendapat Lenin: “Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tidak mungkin kita capai.”

Rudi Hartono, Pimred Berdikari Online

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid