Soal Mutu Pendidikan Nasional

Pada tanggal 27 Januari 2012 lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran bernomor 152/E/T/2012 terkait publikasi karya ilmiah.

Dalam ketentuan baru ini, syarat kelulusan bagi mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 adalah publikasi karya ilmiah; Sarjana (jurnal ilmiah), Magister (jurnal ilmiah nasional), dan Doktor (jurnal ilmiah internasional).

Ide di balik proyek ini adalah perbaikan kualitas. Maklum, dalam soal publikasi karya ilmiah dan hasil penelitian, kiprah dunia akademis Indonesia terbilang rendah. Dengan program ini, diharapkan terjadi peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi di Indonesia.

Kami tentu saja mendukung ide-ide untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Akan tetapi, supaya program semacam itu tidak sekedar gembar-gembor belaka, maka kami memunculkan pertanyaan: apakah publikasi karya ilmiah bisa menjadi ‘patokan’ yang tepat untuk mengukur kualitas lulusan perguruan tinggi?

Bagi kami, publikasi karya ilmiah adalah hasil akhir dari proses pendidikan. Sebetulnya, bagi kami, jika mau memperbaiki kualitas pendidikan, maka tekanan perhatian pemerintah mestinya pada proses penyelenggaraan pendidikan itu sendiri: dukungan infrastruktur dan fasilitas yang memadai, metode pendidikan yang emansipatoris dan partisipatoris, dan kurikulum yang berkualitas dan mencerdaskan.

Pasalnya, kalau sekedar bertumpu pada publikasi karya ilmiah, kami rasa tidak ada jaminan untuk mencegah terjadinya praktek manipulasi: jual-beli artikel/karya ilmiah, plagiarisme, dan lain-lain. Sekarang ini, misalnya, tidak bisa dipungkiri bahwa terjadi praktek jual beli ijazah, karya ilmiah, jual-beli nilai, dan lain-lain.

Dengan demikian, kalaupun ada standarisasi berupa karya ilmiah, hal itu tidak akan berguna jikalau kualitas tenaga pengajar dan peserta didiknya tidak bermutu. Tidak mungkin berharap mahasiswa-mahasiswa itu bisa menulis dan menuangkan gagasan ilmiah, apabila mereka memang tidak punya kapasitas untuk itu.

Ada baiknya tekanan pemerintah diarahkan pada proses penyelenggaraan pendidikan itu sendiri: penyediaan infrastruktur dan fasilitas yang memadai, metode pendidikan yang emansipatoris dan partisipatoris, dan kurikulum yang berkualitas dan mencerdaskan peserta didik.

Nah, di sinilah masalahnya: infrastruktur pendidikan kita belum memadai. Banyak perguruan tinggi yang belum punya laboratorium, perpustakaan, pusat penelitian, pusat informasi, dan lain-lain. Bahkan, untuk penyediaan literatur, kampus-kampus di Indonesia masih kekeringan.

Begitu juga dengan metode pendidikan dan kurikulum. Kalau dunia pendidikan masih dikuasai neoliberalisme, maka sulit berbicara metode pendidikan yang emansipatoris dan partisipatoris, juga kurikulum yang berkualitas dan mencerdaskan.

Hal itu penting, seperti dikatakan oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam karyanya “Schooling in Capitalist America”, pendidikan di bawah kapitalisme akan bersifat imperative dengan tujuan klas kapitalis: kebutuhan produksi dan akumulasi.

Menurut Samuel Bowles dan Herbert Gintis, model kerja dalam sistim pendidikan kapitalis juga akan mengacu relasi produksi kapitalis. Dalam pandangan ini, bentuk-bentuk kesadaran dan perilaku yang dipupuk dalam sekolah kapitalis dirancang untuk mereproduksi klas yang sudah ada dan pengelompokannya.

Dengan demikian, sistim pendidikan kapitalis akan menolak berkembangnya gagasan yang mempertanyakan atau menolak gagasan sistim kapitalisme. Sistim pendidikan kapitalis akan memberangus fikiran-fikiran kritis dan emansipatoris. Yang dikembangkan dalam pendidikan kapitalis adalah kesadaran ‘mengabdi kepada sistim’: mencari pekerjaan yang bagus, menemukan teknologi yang bisa dijual, dan lain sebagainnya.

Jadinya, keluaran sekolah kapitalis adalah sejenis manusia—meminjam istilah Soe Hok Gie—seperti kerbau yang gampang ditarik atau dibawa-bawa kemana-mana tergantung tuannya menghendaki.

Dengan demikian, dalam sekolah kapitalis, tingkat kemampuan siswa yang diperlukan dan jenis pengetahuan mereka distandarisasi menurut keperluan mendesak dunia pasar tenaga kerja. Akhirnya, sekolah yang diutamakan adalah yang bersifat kejuruan dan terspesialisasi. Kurikulum, mata kuliah, dan jenis jurusan pun akan disusun sesuai dengan keperluan pasar tenaga kerja.

Padahal, seperti dikatakan ekonom besar Amerika, John Kenneth Galbraith, ‘manusia dunia ketiga mestinya lebih dulu menerima pendidikan umum, khususnya ilmu sosial, sebelum memasuki sekolah kejuruan’. Sebab, kata Galbraith, orang miskin memerlukan pendidikan umum untuk memahami relasi ekonomi, politik, dan sosial-budaya yang menyebabkan mereka miskin.

Karena itu, bagi kami, pembicaraan soal pendidikan bukan sekedar pada soal kuantitas dan kualitas, tetapi juga soal fungsi sosialnya: pendidikan harus memanusiakan-manusia, berkontribusi pada kemanusiaan, dan berguna dalam pembangunan bangsa dan negara. Kita perlu belajar kembali mengenai konsep-konsep pendidikan progressif yang sudah diperkenalkan pendiri bangsa, seperti konsep Ki Hajar Dewantara dan Tan Malaka.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid