Serangan Bom Jelang Konferensi Asia-Afrika 1955

Di bulan April 1955, sebuah konferensi penting berlangsung di Bandung, Indonesia. Konferensi yang dihadiri oleh 29 negara Asia dan Afrika menggagas cita-cita besar: dunia baru tanpa kolonialisme.

Saat itu, sebagian negara Asia dan Afrika sudah merdeka. Sebagian lagi masih terjajah. Belum selesai urusan penjajahan itu, dunia bertatap muka dengan ancaman perang dua adidaya: perang dingin.

Di pintu gerbang beragam persoalan itu, Indonesia dan sejumlah negara mengambil inisiatif. Harus ada pertemuan besar, dengan melibatkan negara-negara Asia dan Afrika, untuk membahas nasibnya dan perdamaian dunia.

Akhirnya, setelah dua-tiga kali pertemuan, Indonesia, Sri Lanka (Ceylon), Burma (Myanmar), Pakistan, dan India sepakat untuk menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 18-24 April 1955.

Rupanya, ada kejadian tak terduga tiba-tiba muncul menjelang pelaksaaan konferensi: serangan terorisme.

Pada 11 April 1995, Kashmir Princess, pesawat carteran milik India yang mengangkut delegasi Tiongkok dan sejumlah wartawan, meledak di udara dan jatuh di laut Natuna. Sebanyak 16 orang penumpangnya, termasuk 7 kader Partai Komunis Tiongkok (PKT), tewas. Sementara 3 orang awak pesawat, yaitu Anant Shridhar Karnik (teknisi), Dixit (Kapten), dan J.C. Pathak (Navigator), berhasil selamat.

Kejadian itu mengagetkan dunia. Segera setelah kejadian, Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengeluarkan pernyataan resmi. “Insiden yang sangat disayangkan ini bukanlah kecelakaan pesawat biasa, melainkan pembunuhan oleh organisasi rahasia Amerika Serikat dan Chiang Kai-Shek,” demikian cuplikan pernyataan Kemenlu RRT. 

Kemenlu RRT juga menuding agen rahasia AS (CIA) dan Chiang Khai-Shek (Kuomintang) berusaha mensabotase pesawat carteran yang dioperasikan oleh Air India itu untuk membunuh delegasi RRT. Target utamanya: membunuh Perdana Menteri RRT, Zhou Enlai. Selain itu, ada indikasi untuk menggagalkan Konferensi di Bandung. Seiring langkah dengan sikap pemerintahnya, media-media RRT, termasuk Xinhua, juga aktif berkampanye dengan isian propaganda yang sama.

Zhou Enlai luput dari serangan itu. Ia tidak berada dalam pesawat tersebut. Han Suyin dalam bukunya, Zhou Enlai: Potret Seorang Intelektual Revolusioner, menceritakan, “Dalam kesibukannya menjelang Konferensi Bandung, rupanya ia (Zhou Enlai) terkena penyakit usus buntu akut dan tinggal di rumah sakit beberapa hari lamanya.”

Karena sedang sakit, Zhou tak sempat ikut dengan rombongan yang menaiki Kashmir Princess.  Ia baru meninggalkan RRT pada tanggal 14 April 1955. Ia bertolak dari Kunming, Ibukota Provinsi Yunnan, RRT, menuju Yangon, Burma. Di sana ia sempat mengadakan pertemuan singkat dengan Perdana Menteri India Jawarhal Nehru dan Perdana Menteri Burma U Nu.

Tanggal 16 April, dengan menumpang pesawat KLM Belanda, Zhou berangkat dari Yangon ke Jakarta. Namun, karena kerusakan mesin, pesawat sempat singgah di Singapura. 

Dan akhirnya, hari itu juga, Zhou Enlai tiba di bandara Kemayoran, Jakarta. Hari itu Jakarta lagi diguyur hujan. Sukarno datang menjemput Zhou di Bandara Kemayoran memakai payung.

Tetapi ada cerita lain di balik kejadian itu. Pemerintah RRT mendeklasifikasi dokumen-dokumen terkait hubungan diplomatik tahun 1945-1955, termasuk kejadian pengeboman pesawat Kashmir Princess. Menurut dokumen itu, pemerintah RRT memang sengaja merahasiakan perjalanan Perdana Menteri Zhou. Ia baru meninggalkan RRT tanggal 14 April 1955–tiga hari setelah kejadian pengeboman. Lebih lanjut dokumen itu mengungkapkan, usaha merahasiakan perjalanan Zhou dimaksudkan untuk menyelamatkan hidupnya. 

Karena itu, banyak sejarahwan yang menyimpulkan bahwa Zhou, termasuk pemerintah Tiongkok, sudah mengetahui rencana serangan tersebut. Masalahnya, pemerintah RRT tidak berusaha menghentikan rencana sabotase itu. Malah memilih merahasiakan pemberangkatan Zhou.

Kemudian, sebuah artikel di Chinaunsensored berjudul Secret Behind the Explosion of the Aircraft Kashmir Princess menulis, pada 3 April 1955, PKT sudah mengendus rencana agen Kuomintang untuk mencelakai delegasi RRT. Lalu, pada 9 April, PKT sudah memperoleh info detailnya: agen kuomintang akan menghabisi delegasi RRT dengan memasang bom di pesawat.

Steve Tsang, seorang jebolan Oxford University, yang menulis artikel berjudul “Target Zhou Enlai: The Kashmir Princess Incident of 1955” di The China Quarterly, tahun 1994, juga menyimpulkan bahwa Zhou sudah mengetahui rencana tersebut. “Bukti sekarang menunjukkan bahwa Zhou mengetahui rencana itu sebelumnya dan dia diam-diam jadwal perjalanan. Masalanya, dia tak mencegah delegasi kader PKT yang lebih rendah untuk mengambil tempatnya,” tulisnya.

Lantas, siapa yang bertanggung-jawab atas serangan itu?

Steve Tsang memberi jawaban: agen Kuomintang di Taiwan menjadi biang keladi serangan itu. Untuk diketahui, Kuomintang adalah barisan politik yang tersingkir dari Tiongkok pasca kemenangan revolusi komunis di tahun 1949.

Dalam penelitiannya, Tsang menemukan bukti keterlibatan agen kuomintang di Hongkong dalam serangan bom itu. Menurutnya, kaum nasionalis kuomintang menempatkan agen khusus di Hongkong untuk menjalankan sabotase dan pembunuhan tersebut. Di sana, ada grup yang beranggotakan 90-an orang dibawah komando Mayor Jenderal  Kong Hoi-ping.

“Tim khusus di balik upaya pembunuhan Zhou Enlai ini adalah grup Lima Liaison dibawah komando Tsang Yat-nin,” kata Tsang. Namun, lanjut Tsang, grup itu langsung dibawah komando Wu Yi-chin, biro keamanan Kuomintang di Taiwan.

Di bulan Maret 1955, sebulan sebelum kejadian, Kuomintang merekrut Chow Tse-ming alias Chou Chu, seorang petugas kebersihan di Hong Kong Aircraft Engineering Co. Ia bekerja di bandara itu sejak tahun 1950. Dengan posisinya sebagai petugas keberhasilan di Bandara, Chou punya akses terhadap pesawat Air India.

Sebagai imbalannya, Kuomintang memberi hadiah sebesar HK$ 600,000 (kira-kira $78,000 AS)–angka yang sangat fantastis jaman itu. Selain itu, Kuomintang juga bersedia memberi tempat perlindungan yang aman di Taiwan kepada Chou pasca menjalankan aksinya.

Saat pesawat Kashmir Princess tiba di Hongkong, dan beristirahat 80 menit untuk mengisi bahan bakar dan boarding, Chou menjalankan aksinya. Ia berhasil memasang bom di pesawat. Setelah lima jam di udara, bom yang dipasang Chou meledak.

Pemerintah RRT juga menuding CIA/AS terlibat dalam serangan bom itu. Tudingan itu bisa diduga. Sejak revolusi 1945, Tiongkok dan AS selalu bersitegang. AS menciptakan banyak front untuk menghalau penyebaran komunisme di Asia Tenggara. 

AS sendiri melihat Konferensi Bandung sebagai ‘pertemuan komunis dan pro-komunis’. CIA juga percaya bahwa RRT akan memanfaatkan konferensi itu untuk membangun pengaruhnya di dunia. Sebagai responnya, CIA mengirim agen ke konferensi, dengan menyamar sebagai wartawan, untuk melihat langsung suasana dan mendapat hasil-hasil pertemuan. 

Sebelas tahun kemudian, tahun 1966, Komite Senat AS yang melakukan investigasi terhadap operasi CIA mendengar kesaksian soal rencana CIA membunuh seorang ‘pemimpin Asia Timur’ di Konferensi Bandung. Tahun 1977, William Corson, seorang pensiunan intelijen Marinir AS, menyebut pemimpin Asia Timur yang dimaksud adalah Zhou Enlai.

Penelitian Steve Tsang menyimpulkan bahwa CIA tidak terlibat dalam kejadian tersebut. Tetapi bukan berarti CIA tidak punya keinginan membunuh Zhou Enlai. Tahun 1954, Jenderal Lucian Truscott diangkat menjadi Wakil Direktur CIA. Segera setelah pengangkatannya, Truscott mengendus adanya rencana CIA membunuh Zhou. 

Rencananya, selama perjamuan akhir di Bandung, seorang agen CIA akan membubuhkan racun ke dalam mangkuk nasi Zhou, yang baru akan memperlihatkan reaksi racunnya setelah 48 jam. Artinya, kendati Zhou meneguk racun itu, tetapi reaksinya baru terasa setelah ia kembali ke tanah-airnya.

Namun, menurut Truscott, sebelum rencana itu dilakukan, Direktur CIA Allen Dulles memanggilnya dan memerintahkan untuk menghentikan rencana tersebut. Tidak jelas apa motif CIA untuk menghentikan rencananya tersebut.

Tetapi cerita tidak berakhir di sini. Harian partai Komunis Soviet, Pravda, mengangkat pengakuan John Discoe Smith, seorang mantan CIA yang membelot ke Soviet. Smith mengaku, selama dirinya menjadi agen, ia pernah mengirim bom untuk agen nasionalis Taiwan/Kuomintang. Ia juga menceritakan, pada tahun 1955, Jack Curran, seorang agen CIA di Kedubes India, memintanya membawa sebuah tas berisi bom kepada Wang Feng di hotel Maidens.

Singkat cerita, keterlibatan CIA dalam aksi Chou memasang bom di bandara Hongkong masih kabur. Tak ada jalinan langsung. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa CIA pernah punya rencana membunuh Zhou. Dan rencana itu batal di tengah jalan.

Zhou Enlai berhasil menghadiri KAA 1955 di Bandung dan pulang ke negerinya dengan selamat. Bahkan, dalam KAA 1955, Zhou tampil sebagai bintang. Han Suyin, dalam Zhou Enlai: Potret Seorang Intelektual Revolusioner, menyebut ‘konferensi Bandung sebagai kemenangan besar bagi pribadi Zhou Enlai dan sekaligus terobosan internasional bagi Tiongkok’.

RAYMOND SAMUEL

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid