“Saya Protes Pembatasan Sosial yang tak Adil, Saya Dipukuli Tentara”

Nasib malang menimpa Laurensius Wolo Sina Ritan, aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ceritanya, Laurensius membuka kios untuk berjualan di pelabuhan Lorens Say Maubere. Sebagai aktivis, kiosnya kerap dikunjungi oleh aktivis mahasiswa.

Hari kamis (3/4), aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) berbelanja di kiosnya. Namun, di sela-sela berbelanja, mereka berdikusi terkait situasi kabupaten Sikka, terutama terkait kebijakan pemerintah menyikapi pandemi virus korona.

Hasilnya, LMND akan menggelar rapat konsolidasi di kios Laurensius. Besoknya, pertemuan betul-betul terjadi. Namun, karena tertidur, Laurensius tak sempat mengikuti pertemuan tersebut.

Hasilnya, LMND dan sejumlah warga akan menggelar aksi protes untuk keputusan Pemerintah Kabupaten Sikka terkait pembatasan sosial guna mencegah penyebaran virus korona.

“Pemda Sikka, juga polisi dan TNI, membatasi aktivitas warga di luar rumah. Ada jam malam dan patroli keliling. Tapi, sayangnya, mereka tak membatasi kapal PELNI yang masuk,” ujar Laurensius.

Kebijakan inilah, menurut Laurensius dan aktivis LMND, sangat tidak adil. Di satu sisi, aktivitas warga dibatasi, sehingga kehilangan mata pencaharian. Sementara di sisi lain, kapal PELNI masih membawa orang masuk ke Sikka.

Rencananya, aksi protes itu akan digelar pada Senin (6/4/2020), bersamaan dengan kedatangan KM Lambelu dari Makassar. Padahal, Makassar termasuk salah satu daerah merah terkait penyebaran virus korona.

Hari Jumat (4/4), usai rapat di kiosnya, Laurens didatangi oleh intel Polres Sikka. Mereka mempertanyakan perihal konsolidasi mahasiswa dan rencana aksinya.

Malamnya, aparat dari Polres Sikka mendatangi kios Laurensius untuk berdiskusi. Diskusi informal ini juga diikuti oleh warga dan sesama pedagang di pelabuhan.

Pukul 22.30 WIB, diskusi itu selesai, Laurensius pun memberesi kiosnya. Namun, begitu ia hendak menutup kios, datang sejumlah orang menggunakan mobil avanza.

Mereka berteriak-teriak sambil menyuruh bubar dan menutup kios. Karena tak tahu duduk persoalan, Laurensius menjelaskan bahwa di kiosnya baru saja ada rapat dan baru-baru saja berberes-beres untuk tutup kios.

“Mereka anggota TNI AL. Mereka teriak-teriak sambil memukul pintu kios saya,” tutur Laurensius.

Begitu Laurensius membuka pintu kios, seorang anggota TNI AL melayangkan pukulan kayu ke kepalanya. Seketika, ia merasa kepalanya sangat sakit dan pening.

Pembatasan Sosial yang Tak Adil

Sejak pandemi korona, Pemkab Sikka mengambil sejumlah langkah pembatasan sosial, seperti pemberlakuan jam malam.

Mulai pukul 19.00 WIT, masyarakat dilarang berkeliaran bebas. Jika kedapatan, mereka akan didenda Rp 1 juta. Untuk memastikan jam malam itu, polisi dan tentara melakukan patroli keliling.

Namun, Laurensius menilai, kebijakan pembatasan sosial itu tidak disertai solusi, terutama bagi warga yang kehilangan pendapatan karena pembatasan sosial.

“Semua usaha saya sudah tutup, dari warung makan hingga barbershop. Lalu, saya mau memberi makan pada istri dan anak saya pakai apa,” katanya.

Selain itu, Laurensius memprotes tindakan aparat keamanan dalam menegakkan aturan jam malam yang terkesan sangat represif.

“Mereka seenaknya memukuli saya, tanpa tahu persoalan kenapa kios saya belum tutup. Ini kan melanggar hak azasi manusia,” jelasnya.

Ia justru mengeritik langkah Pemkab Sikka yang minim sosialisasi, langkah-langkah penapisan, hingga kesiapan infrastruktur rumah sakit dan tenaga medis.

Timur Subangun

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid