Politik Beras

Harga beras, yang notabene makanan utama rakyat Indonesia, terus melambung tinggi sejak Januari lalu. Kenaikan tersebut membuat rakyat banyak, terutama yang berdaya beli rendah, menjerit.

Di sejumlah pasar, kenaikan harga beras mencapai 30 persen. Beras kualitas menengah naik dari harga Rp 9000 per kilogram menjadi Rp 12.000 per kilogram. Sedangkan beras premium naik dari Rp 11.000 menjadi Rp 15.000. Kenaikan yang cukup signifikan itu betul-betul memukul kantong rakyat miskin.

Pemerintah pun bereaksi. Namun, seperti biasa, mereka sibuk mencari alasan dan kambing hitam. Menteri Perekonomian Sofyan Djalil menuding adanya ‘invisible hand’ yang bermain di balik lonjakan harga beras. Sementara Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menuding mafia beras sebagai biang kerok kenaikan harga.

Presiden Joko Widodo pun angkat bicara. Usai mengunjungi gudang Bulog, Rabu (25/2/2015), Jokowi menegaskan bahwa Indonesia tidak kekurangan beras. Menurutnya, sekarang ini gudang Bulog masih menyimpan cadangan/stok sebesar 1,4 juta ton. Ia yakin, stok beras tersebut masih cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional hingga panen raya pada bulan maret mendatang.

Jadi, singkat cerita, pemerintah menganggap lonjakan harga beras saat ini terletak pada faktor distribusi. Ada pihak ketiga—entah mafia beras, tengkulak atau apapun namanya—yang berusaha mengeruk keuntungan berlipat ganda dengan memainkan harga beras. Karenanya, untuk menstabilkan kembali harga, pemerintah menempuh cara lama: operasi pasar.

Pada kenyatannya, operasi pasar yang digelar besar-besaran oleh pemerintah belum berhasil ‘menjinakkan’ harga beras. Di sejumlah daerah, seperti dilaporkan media massa, harga beras masih tetap bertengger di atas Rp 10.000,-. Menurut Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), operasi pasar tidak berjalan efektif dan tidak tepat sasaran. Beras murah yang dijual ke pasar belum menjangkau rakyat miskin. Selain itu, operasi pasar itu bersifat sementara dan jangkauannya terbatas.

Kita harus melihat persoalan beras ini lebih jauh, yakni soal politik beras. Politik beras ini menyangkut beberapa aspek: pertama, memastikan produksi beras memenuhi kebutuhan nasional; kedua, memastikan kesejahteraan produsen beras, yakni kaum tani; dan ketiga, memastikan harga beras bisa dijangkau oleh seluruh rakyat Indonesia.

Di sinilah letak masalahnya. Sejak beberapa tahun terakhir, produksi beras nasional tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan beras nasional. Akibat, Indonesia makin bergantung pada impor. Pada tahun 2014 lalu, produksi beras nasional hanya 44,29 juta ton atau turun 0,94 persen. Karenanya, sepanjang tahun 2014, pemerintah menugaskan Bulog untuk mengimpor beras dari luar negeri sebesar 500 ribu ton.

Penurunan produksi beras ini tidak melulu karena faktor cuaca. Tetapi karena beberapa faktor yang lebih mendasar. Pertama, penyusutan lahan pertanian karena alih-fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Setiap tahunnya lebih dari 100 ribu hektar lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi lahan non-pertanian. Penyusutan lahan ini juga dipicu oleh maraknya investasi asing.

Kedua, ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia makin mengerikan. Indeks Gini kepemilikan tanah juga meningkat tajam: dari 0,50 (1983) menjadi 0,72 (2003). Akibatnya, seperti pernah diakui Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN), Joyo Winoto, aset berupa tanah makin terkonsentrasi di tangan segelintir orang.

Ketiga, infrastruktur pendukung pertanian di Indonesia, seperti irigasi, bendungan, dan jalan, juga tidak memadai. Pengakuan Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyebutkan, sekitar 52 persen sarana irigasi di seluruh Indonesia dalam kondisi rusak. Sudah begitu, kaum tani Indonesia kurang didukung dengan modal dan teknologi modern.

Keempat, pendapatan mereka yang bekerja di sektor pertanian semakin mengecil. Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian tahun 2013 (SPP 2013) BPS menyebutkan, rata-rata pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian hanya berkisar Rp 12,4 juta per tahun atau Rp 1 juta per bulan. Sementara Survei Panel Tani Nasional (Patanas) mengungkapkan, sekitar 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil disumbang dari kegiatan di luar sektor pertanian, seperti ngojek, dagang dan pekerja kasar. Kehancuran pendapatan pekerja di sektor pertanian banyak disumbang oleh kebijakan pemerintah, terutama liberalisasi impor pangan. Kebijakan tersebut membuat produksi pertanian lokal tergilas oleh pangan impor.

Kombinasi dari berbagai persoalan di atas berdampak pada menyusutnya jumlah rumah tangga petani di Indonesia dan membengkaknya jumlah petani gurem dan tak bertanah. Menurut BPS, dalam kurun waktu sepuluh tahun (2003-2013), ada 5 juta petani di Indonesia yang beralih profesi. Sementara 85% dari petani di Indonesia adalah petani gurem dan tak bertanah.

Pertannyanya: jika lahan pertanian dan jumlah petani makin menyusut, bisakah swasembada beras terwujud? Jawabnya: tidak mungkin!

Memang, pada saat kampanye pemilu lalu, Jokowi-JK menjanjikan beberapa agenda untuk mendorong kedaulatan pangan: membagikan 9 juta hektare lahan ke petani; menambah kepemilikan lahan dari 0,3 hektare jadi 2 hektare per keluarga petani; perbaikan irigasi di 3 juta hektare sawah; membangun 25 bendungan; mencetak 1 juta hektare sawah baru dan 1 juta hektare lahan pertanian kering baru di luar Jawa-Bali; mendirikan bank pertanian; mendorong industri pengolahan; 1.000 desa berdaulat benih; dan 1.000 desa go organic. Namun, bagaimana realisasinya? Kita tunggu saja.

Namun, ada beberapa hal urgen yang perlu dijalankan untuk memastikan swasembada beras: land-reform untuk mendemokratiskan kepemilikan tanah; perbaikan infastruktur pertanian, dukungan modal dan teknologi bagi petani, serta jaminan pasar dan harga yang adil bagi petani.

Di samping berbagai hal di atas, hal lain yang perlu dikoreksi adalah tata-niaga beras di Indonesia. Rantai tata-niaga beras dari petani produsen ke konsumen sangat panjang. Sudah begitu, harga beras diserahkan kepada mekanisme pasar. Situasi inilah yang menggiurkan bagi pedagang dan spekulan untuk mencari celah guna mengeruk keuntungan. Maka jangan heran, kendati stok beras nasional dikatakan cukup, tetapi harga beras tetap saja naik-turun. Dan faktanya: kenaikan harga beras sekarang ini tidak berdampak pada petani. Ditambah lagi, pemerintahan Jokowi menghentikan penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin). Padahal, selama ini raskin berkontribusi dalam stabilisasi harga dan menolong keluarga berpendapatan rendah.

Bung Hatta pernah punya konsep menarik untuk mengatasi hal ini. Dalam kumpulan esainya, Beberapa Fasal Ekonomi, Bung Hatta mengajukan dua solusi: pertama, pemerintah menciptakan peraturan untuk mengontrol harga beras; dan kedua, menciptakan organisasi produksi dan distribusi—berbentuk koperasi—yang mengumpulkan hasil produksi petani dan mengatur distribusi/penjualannya di kota. Menurut kami, peran itu mestinya diambil-alih oleh Bulog dan bekerjasama dengan koperasi-koperasi rakyat.

Soal beras memang tidak bisa dianggap remeh. Sebagaimana diingatkan Bung Karno: soal pangan adalah soal hidup-matinya sebuah bangsa!

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid