Pendidikan Ala Kolonial

Berbagai kampus di Indonesia sedang bersiap-siap melakukan penyambutan mahasiswa baru. Namun, agak berbeda dengan sebelum-sebelumnya, para calon mahasiswa baru tahun ini sedang berhadapan dengan sebuah horor, yaitu mahalnya biaya masuk dan biaya kuliah di perguruan tinggi, termasuk perguruan tinggi negeri (PTN).

Faktanya, angka partisipasi usia kuliah di Indonesia masih sangat rendah. Di Indonesia, pada tahun 2008, tingkat partisipasi pendidikan tinggi baru mencapai 17,26 persen, lebih rendah dari Philipina yang mencapai 28%, atau Malaysia yang sudah mencapai 40%.

Ada persoalan besar di sini, bahwa ada banyak pemuda dan pemudi yang berkehendak untuk masuk ke perguruan tinggi, namun perguruan tinggi di Indonesia “terlalu mahal” untuk anak-anak petani, buruh, rakyat miskin kota, dan lain sebagainya.

Sebagai akibatnya, karena terlalu banyak yang tertolak oleh Universitas/perguruan tinggi, maka para pemuda-pemuda potensial ini terlempar ke dalam pasar tenaga kerja murah, masuk ke industri-industri ber-upah murah.

Ini situasi yang sangat berbahaya. Tanpa kemajuan teknik dan berpikir, suatu bangsa akan sulit untuk mengejar kemajuan, apalagi kesejahteraan sosial. Dengan jumlah 4,5 juta mahasiswa pada tahun 2008, misalnya, adalah jumlah sangat minimum untuk menjadi “obor kemajuan” bagi 200-an juta rakyat Indonesia saat itu.

Terkait hal itu, kami menganggap ada dua problem besar terkait peran mahasiswa untuk kemajuan nasional; pertama, biaya pendidikan perguruan tinggi yang semakin mahal, menyebabkan “bangku” universitas hanya dapat diakses segelintir orang. Kedua, ada kecenderungan kurikulum pendidikan hanya mengarahkan mahasiswa untuk menjadi tenaga kerja murah, misalnya dengan kurikulum ilmu terapan dan sekolah kejuruan.

Tidak salah kemudian, kami menganggap pendidikan Indonesia saat ini sangat mirip dengan jaman kolonial, yaitu mendidik pribumi untuk sekolah rendahan, sekedar bisa baca dan tulis, untuk dilepas ke industri-industri mereka. Lihatlah kebijakan politik etis, dimana anak-anak pribumi hanya diberi kesempatan pada sekolah-sekolah rendahan, yang tujuannya sekedar untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah dan tenaga administrasi rendahan.

Ini berlanjut di alam neoliberal saat ini, dimana pendidikan tinggi begitu sulit diakses oleh mayoritas rakyat, sehingga sebagian besar pemuda-pemudi terlempar ke pasar tenaga kerja yang murah itu. Sebagai contoh, pemerintah mulai memprogramkan penggratisan pendidikan untuk SD dan SMP, namun pendidikan untuk jenjang SMA dan perguruan tinggi semakin mahal dan tak terjangkau. Ini sama persis dengan kebijakan pendidikan jaman kolonial.

Soekarno pernah berkata, setiap mahasiswa Indonesia harus punya “dedication of life” bagi rakyat, bagi kemakmuran dan kesejahteraan bangsanya. Tidak jauh-jauh, Soekarno pun merunuk kepada perjuangan Tjipto Mangunkusumo, seorang dokter yang akhirnya terlibat dalam perjuangan pembebasan nasional Indonesia. Ada pula Wahidin Soedirohoesodo, dokter lulusan STOVIA yang juga terlibat dalam pergerakan dan memajukan kesehatan rakyat.

Kolonialisme memang selalu menggunakan keterbelakangan, kebodohan, dan mentalitas inlander guna menjaga kelangsungan sistim penghisapannya. Untuk memutus mata-rantai itu, bangsa ini membutuhkan pemuda-pemuda cerdas dan progressif, yang sanggup menjadi pembawa “obor” pencerahan untuk kemajuan bangsanya.

Untuk itu, tidak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus memurahkan biaya pendidikan di seluruh jenjang, termasuk SMA dan perguruan tinggi. Pemerintah harus memfasilitasi pengiriman pemuda-pemuda kita untuk belajar pengetahuan dan teknologi di negeri yang sudah berhasil. Dalam aspek kurikulum, kami berharap ada perombakan agar pengetahuannya bisa menghasilkan manusia cerdas dan mau mendedikasikan hidupnya kepada rakyat.

Sebagai penutup, kami hendak mengutip Lenin; ‘Berhemat-hematlah berekonomi dalam hal apa pun, kecuali untuk keperluan pendidikan.’

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid