Kumpulan Sajak “Pancang” karya Astaman Hasibuan yang dilahirkan di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 17 Maret 1940 ini, dimulai dengan kemarahan dan tuduhan pada jenis manusia yang tak punya “Mata Hati”:
Jendral-jendral yang tak punya mata hati Kemana kau mencari mentari
Mengapa? Astaman menjawabnya dengan hampir seluruh sajak yang terkumpul dalam “Pancang” ini. Pada Mata Hati sebagai sajak pembuka, Astaman menulis:
Tanyakan pada air sungai Berapa banyak yang terkubur di dasarnya Ketika mula kuasa jendral-jendral membunuhi Putra-putra bangsa ini Air sungai tak pernah menghitung Atau memang tak terhitung Nelayan tak melaut Perut ikan jadi pusara... Mayat-mayat hanyut sampai di muara, ... Mentari bukanlah, mata hati Tapi mata hati dialah mentari Apapun alasannya Apapun yang menjadi dalih ...
Pada sajak Kelokan Parang Bengkok, Astaman menjawab:
Lembah, di bawah jalan raya jadi saksi Dulu ketika benih kebencian dengan kebohongan ditabur Di sini dieksekusi, tanpa peradilan Laki-laki dan perempuan Yang dituduh melakukan perebutan kekuasaan Pada pemerintahan yang sah …
Walau menurut Astaman:
jenderal-jenderal itu mati dibunuh, ditembaki perajurit-perajuritnya sendiri dan pemerintahan soekarno dirampas jenderal Soeharto…
Lagi, pada sajak Bermain Bola, kita seakan diyakinkan oleh Astaman bahwa manusia yang tak punya Mata Hati itu benar-benar ada:
Cerita itu, tak ada yang percaya, tak mungkin pernah ada Padahal di sini di asahan yang ramah tamah Kala Pancasila dijadikan berhala Kala dosa, diangkat jadi pahala Kala angkara murka, merampas singgasana Di penghujung enam lima Ada yang bermain bola dengan kepala manusia ....
Kita barangkali sering mendengar kekejian yang brutal pada kemanusiaan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali pasca G 30 S 1965, tapi di sini, Penyair Astaman menjadi saksi atas kekejian di Asahan.
Untuk semua yang telah berlalu hingga demokrasi yang berjalan ketika para jenderal dituntut diadili pada sajak Demokrasi, Astaman masih bertanya:
Mengapa masih berlaku kemunafikan Mengapa mesti diskriminasi? Dibutakankah semua mata hati? Demokrasi boleh untuk siapapun, tanpa kecuali
Sebab, bagi Astaman:
Jendral-jendral itu mati, bukan ditembaki petani Jendral-jendral mati di Jakarta Petani dibunuh di bandar betsi Jendral-jendral jadi penguasa
Astaman pun sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi bukan untuk orang-orang seperti dirinya:
Layang-layang putus di negeri orang
Dosa mereka, kuasanya jenderal
…
Sang jenderal yang berbintang lima
Tak lagi tinggal di istana
Meski begitu
Masih banyak sandungan
Tunggu, jangan pulang dulu
…
Demokrasi katanya untuk semua
Kecuali untuk kita,
Yang hampir-hampir tak berbangsa..
Astaman terus menorehkan rasa gusar, marah, dan kecaman atas ketidakadilan akibat peristiwa 1965. Kumpulan Sajak Pancang yang terdiri dari 40 puisi ini bagaikan peluru-peluru yang ditembakkan pada kekuasaan yang tak punya Mata Hati; terbit tahun 2002 oleh Pusat Pendidikan Populer, Medan, 4 tahun sesudah Sang Jendral Besar Soeharto dipaksa mundur.
Terbitnya buku ini dan buku-buku sejenis lainnya yang semarak di tahun 2000-an itu nampak menyambut datangnya era demokrasi, era kebebasan: seakan-akan situasi akan dibalikkan menuju Revolusi Demokratik pasca tumbangnya Orde Baru. Roemandung Drastiya Emyert mengantarkan buku ini dengan harapan:
Hanya para penipu berbaju palsu yang tetap bersikap keras kepala membenarkan pembunuhan atas diri anak-anak, perempuan dewasa atau bocah yang sebelumnya diperkosa, dihina, lantas tanpa peradilan dibunuh setelah dicap komunis atau di-PKI-kan. Di awal Orde Baru, banyak membunuh tidak hanya mendapat acungan jempol bahkan mendapat gelar pahlawan penegak Orde Baru, perintis Eksponen ’66, sampai sekarang masih ada yang tepuk dada dan berbangga diri karena tegas dan tegar mempertahankan diskriminasi lewat TAP MPRS No 25/ 1966. Sejarah tidak mungkin dihapus oleh para pembohong.”
Tapi jelas, harapan Roemandung Drastiya Emyert dan kaumnya itu masih jauh panggang dari api. Setelah Orde Baru jatuh, MPR hasil reformasi masih berketetapan untuk mempertahankan TAP MPRS No 25 tahun 1966. Ketetapan ulang ini bisa dilihat pada ketetapan MPR RI No I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI tahun 1960 sampai dengan tahun 2002 Pasal 2 dengan “catatan”: kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Tetapi, Astaman Hasibuan sebagai penyair sungguh mempunyai mata hati yang tajam. Untuk itulah ia memberi judul kumpulan sajak ini Pancang. Ia tahu perjuangan menghapus diskriminasi yang berlaku pada golongan komunis di Indonesia masih panjang dan berliku. Ia hanya ingin memberi tanda dan mendirikan monumen Lingga untuk perjalanan yang pernah dilalui dan sebuah ruang dan waktu bisa sedikit berdoa dengan lega sebagaimana motto yang ditorehkan Pramoedya Ananta Toer mengawali epos besarnya tentang kebangkitan kesadaran nasional pada “Bumi Manusia”:
Han, memang bukan sesuatu yang baru jalan setapak ini
Memang sudah sering ditempuh
Hanya yang sekarang perjalanan pematokan
Pram pun menutup epos kebangkitan kesadaran nasionalnya pada “Rumah Kaca” dengan harapan sebagaimana Kidung Magnificat ya Kidung Maria:
Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles. (Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka yang Terhina)
…
Pancang memulai kerja
Tak ada pancang mengakhiri
Dialah tonggak
Dialah masa kini dan nanti
Karena dialah zaman baru
Dan pancang itu ada, mustahil tiada
Begitu keyakinan Astaman Hasibuan, sang penyair dari Medan Sumatera Utara.**
AJ Susmana, penggiat Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) dan Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid